Suara.com - Penarikan mundur militer Prancis dari Mali ditakutkan membuka ruang bagi kelompok jihadis untuk berkonsolidasi di barat Sahel, terutama ketika jejaring teror internasional mulai melirik Afrika sebagai jantung pergerakan.
Kekhawatiran merebak di kawasan Sahel usai Prancis mengumumkan bakal menarik pasukannya dari Mali pada pertengahan tahun 2022, Kamis (17/2).
Presiden Emmanuel Macron dalam keterangan persnya, menuduh pemerintahan transisi di Mali, yang dibentuk usai kudeta 2021, tidak serius memerangi terorisme.
"Kemenangan atas teror adalah mustahil jika tidak didukung oleh negaranya sendiri,” kata dia dalam KTT keenam Uni Eropa dan Uni Afrika di Brussels, Belgia.
Sejak 2012 hingga kini, Prancis menempatkan pasukannya di lima lokasi yang tersebar di kawasan timur Mali.
Misi berkekuatan sekitar 2.400 serdadu itu ditugaskan menyusutkan ruang gerak tujuh kelompok jihad, yang kebanyakan berafiliasi dengan al-Qaida di Maghrib (AQIM) atau Islamic State di Sahara Besar (ISGS).
Langkah mundur Paris dikecam organisasi bantuan, Oxfam, sebagai "pengakuan yang buruk atas sebuah kegagalan,” tulis mereka, Kamis (17/2).
Oxfam juga mengingatkan, lebih dari 2,1 juta penduduk Mali terpaksa mengungsi karena perang, sementara 13 juta lainnya membutuhkan bantuan kemanusiaan dalam waktu dekat. Juru bicara militer Prancis, Kolonel Pascal Ianni, mengatakan "bukan junta Mali yang menendang kami keluar. Kami sendiri yang mundur karena tidak bisa bekerja dalam kondisi seperti ini.”
Dia mengaku proses penarikan mundur akan berlangsung rumit, dan sebabnya membutuhkan hingga enam bulan.
Baca Juga: Buntut Ujaran 'Bermusuhan', Mali Usir Dubes Prancis
"Kelompok ekstremis pastinya akan mengganggu kami, menyerang kami. Jadi kami harus tetap bertempur, agar bisa memindahkan perlengkapan dan pasukan dengan aman", tambahnya.