Suara.com - PPP disebut-sebut ingin mendorong Ketua Umum Suharso Monoarfa menjadi kepala otorita ibu kota negara (IKN). Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin memandang hal itu mustahil terwujud.
Ia mengatakan, Presiden Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif untuk menunjuk kepala otorita tidak semudah itu dapat didikte pihak manapun, termasuk itu datang dari PPP yang merupakan partai di koalisi.
"Kan gak mungkin Jokowi didikte oleh PPP. Dia akan tentukan sendiri sesuai keinginannya. Jadi kecil kemungkinannya tunjuk menteri yang rangkap jadi kepala otorita IKN," kata Ujang kepada wartawan, Senin (21/2/2022).
Ujang berujar, menjadi lucu apabila Jokowi benar-benar menunjuk Suharso yang merupakan Menteri PPN itu untuk rangkap jabatan memimpin IKN.
Baca Juga: Analis: PPP Kelihatan Ingin Ketumnya, Suharso, Menjadi Kepala Otorita IKN
Belum lagi, gelombang protes yang akan datang dari sesama partai di koalisi, jika Jokowi terbilang nekat menunjuk Suharso maupun menteri lain terutama yang berlatar belakang partai politik sebagai kepala otorita.
"Kalau Suharso dipilih dan rangkap jabatan gimana logikanya? Kepala otorita itu pejabat setingkat menteri, lalu yang diangkat menteri. Lucu. Dan jika Suharso diangkat itu akan memicu protes partai-partai koalisi Jokowi lah," kata Ujang.
Karena itu, menurut Ujang akan menjadi risiko tinggi bagi Jokowi bila meminta salah satu pembantunya di kabinet untuk merangkap jabatan.
"Nanti PDIP minta, begitu juga Gerindra, Golkar dan lain-lain. Itu akan perang di internal koalisi," kata Ujang.
Sebelumnya, Ujang melihat ada maksud lain dari pernyataan Sekretaris Fraksi PPP di DPR Achmad Baidowi yang menyebut Presiden Jokowi bisa menunjuk menteri untuk rangkap jabatan sebagai kepala otoritas di ibu kota negara.
Baca Juga: Politikus PPP Sebut Menteri Bisa Rangkap Kepala IKN, Politikus PKS: akan Jadi Contoh Buruk
Ujang menilai maksud itu ialah bisa jadi untuk mendorong Ketua Umum PPP Suharso Monoafa sebagai kepala otorita. Mengingat saat ini Suharso juga memiliki jabatan di kabinet, yakni sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepla Bappenas.
"Kelihatan arahnya ke sana. PPP kelihatan ingin ketumnya Suharso menjadi Kepala Otorita IKN," kata Ujang dihubungi, Minggu (20/2/2022).
Ujang menilai tidak ada yang salah dari keinginan tersebut. Namun begitu, ia menilai keinginan PPP tidak aka sejalan dengan Jokowi selaku pemegang hak prerogatif.
"Itu kan keinginan PPP dan namanya juga usulan dan usaha, sah-sah saja. Namun kelihatannya keinginan PPP tersebut akan bertepuk sebelah tangan," kata Ujang.
Sebab dikatakan Ujang Jokowi kemungkinan akan menunjuk figur lain di luar kabinet. Dalam arti kain, Jokowi tidak akan memilih sosok dari menteri atau ketum parpol sebagai kepala otorita IKN.
"Akan pilih orang yang sevisi dan dekat dengan Jokowi. Soal siapa orangnya, yang tahu hanya Jokowi," ujar Ujang.
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi PPP di DPR Achmad Baidowi mengatakan kepala otorita ibu kota negara bisa dirangkap menteri yang ditunjuk Presiden.
"Sesuai ketentuan Pasal 9 ayat 1 bahwa kepala dan wakil kepala otorita IKN diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Dan dalam pasal 4 ayat 1 (b) bahwa status badan otorita IKN adalah pemerintah daerah khusus setingkat kementerian. Maka, jabatan kepala otoritas IKN bisa dirangkap oleh menteri," kata Baidowi, Minggu (20/2/2022).
Sedangkan wakil kepala IKN, kata Baidowi, bisa dipilih dari figur di luar kementerian.
"Namun hal itu tergantung pilihan dari presiden apakah menunjuk kepala badan ororitas IKN atau menunjuk salah satu menteri untk merangkap kepala badan otorita IKN. Yang jelas peluang itu sangat terbuka jika melihat ketentuan UU IKN," kata Baidowi.
Terkait siapa saja menteri yang bisa ditunjuk, kata Baidowi, tergantung Jokowi.
"Siapa menteri yang dimaksud? Semuanya tergantung keputusan presiden. Bisa Mendagri, Menteri PPN, Menkopolhukam atau menteri yang ditunjuk," ujarnya.
Baidowi mengatakan setelah UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN resmi diundangkan maka pemerintah wajib menyusun aturan pelaksana agar bisa diimplementasi.
Adanya gugatan terhadap UU 3/2022 di Mahkamah Konstitusi, menurut Baidowi, tidak menghentikan keberlakuan UU tersebut sebelum ada putusan MK.
"Maka pembuatan aturan teknis bisa langsung dilakukan tanpa harus menunggu putusan MK," kata dia.