Suara.com - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengusulkan perubahan mekanisme pemilihan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Titi mengemukakan, mekanisme pemilihan anggota KPU dan Bawaslu tidak perlu melalui proses seleksi panjang, melainkan disarankan ditunjuk langsung presiden dengan persetujuan DPR. Usulan itu disampaikan, lantaran tidak terlepas dari sorotan dia terkait proses uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper tes terhadap 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu di Komisi II DPR.
Melalui akun Twitter pribadi miliknya @titianggraini, ia mengatakan ada dua hal yang membuat seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027 menjadi antiklimaks. Suara.com telah mendapatkan izin dari Titi untuk mengutip pernyataannya tersebut.
Pertama, yakni terkait keterwakilan perempuan yang stagnan. Di mana Komisi II hanya menetapkan seorang perempuan sebagai anggota KPU maupun Bawaslu. Padahal dikatakan Titi, UU tentang Pemilu telah mengatur bahwa keanggotaan KPU atau Bawaslu harus memperhatikan paling sedikit 30 persen prempuan.
Hal kedua, yaitu adanya kesamaan daftar nama anggota terpilih dari hasil kesepakatan di Komisi II usai fit and proper test dengan daftar nama yang beredar lewat pesan berantai.
"Kedua, hasil yang diketok Komisi II DPR pada dini hari 17 Februari adalah sama persis dengan nama-nama yang beredar jauh sebelum pelaksanaan fit proper test berlangsung (hanya penulisan urutan yang berbeda)," kata Titi mengutip dari Twitter pribadinya, Jumat (18/2/2022).
"Saya menerima daftar itu pada 11 Februari atau tiga hari sebelum fit proper test. Bagaimana menjelaskan ini pada publik?" lanjut Titi.
Titi mengungkapkan, semua pihak memahami para calon sudah maksimal dalam mempersiapkan diri untuk fit and proper test. Ia melanjutkan, para calon membuat paparan dan belajar ekstra agar bisa mjawab pertanyaan para anggota Komisi II DPR.
Namun persiapan dan kerja keras para calon akan terasa percuma, apabila ternyata pihak yang menseleksi mereka justru sudah memiliki kesepakatan siapa saja calon yang akan terpilih. Bahkan sebelum pelaksanaan fit and proper test.
"Kalau ternyata sudah ada kesepakatan yang dibuat mendahului fit proper test, lalu di mana tanggung jawab etis dan moral pada para peserta juga publik?" tanya Titi.