Suara.com - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari fraksi Golkar, Ace Hasan Syadzily, mendorong jaksa penuntut umum atau JPU melakukan upaya banding atas vonis majelis hakim terhadap terdakwa pelaku kasus kekerasan seksual terhadap 13 santri, Herry Wirawan.
Herry Wirawan divonis hukuman penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim PN Bandung dalam sidang yang diselenggaran Selasa (15/2) kemarin. Majelis Hakim juga membebankan restitusi, atau ganti rugi, kepada KemenPPPA terhadap anak dari para korban pemerkosaan terdakwa sebesar Rp331 juta.
"Kami mendukung jika jaksa melakukan upaya banding jika belum ada keputusan yang sifatnya inkrah. Maka kita dorong supaya bagaimana jaksa melakukan banding ke pengadilan tinggi, sehingga termasuk hukuman yang sifatnya restitusi tersebut itu ya bisa dibatalkan," kata Ace di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/2/2022).
Ace mengatakan, putusan hakim terhadap Herry tidak memuaskan banyak pihak. Apalagi jika mengacu apa yang telah diperbuat Herry sangat berlapis.
Baca Juga: Banten Darurat Pelecehan Seksual, Aktifis Perempuan Nasional Singgung Kapasitas Aparat
Menurutnya, jika berkaca dari apa yang telah diperbuat Herry maka hukuman yang pantas yakni kebiri.
"Dari mulai tindakan kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan tentu tindakan tersebut sangat membuat anak menjadi sangat traumatik, dan lain-lain sebagainya. Jadi yang seharusnya dilakukan di dalam vonis itu landasannya adalah UU Perlindungan Anak, salah satunya adalah soal selain penjara seumur hidup juga adalah kebiri kimia," ujarnya.
Selain itu, Ace juga berharap seharusnya dalam putusan hakim bisa memperhatikan aspek-aspek korban. Menurutnya, hal itu sangat penting juga dilakukan.
"Memang salah satu hal yang perlu dipikirkan sesunggguhnya adalah bagaimana hukuman tersebut juga memperhatikan aspek korban. Bukan hanya aspek hukumnya yang menjadi perhatian publik, tetapi juga aspek rehabilitasi terhadap korban," tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak angkat suara terkait vonis tersebut yang berbeda dengan tuntutan jaksa. Pada sidang tuntutan, jaksa menuntut pelaku dihukum mati dan kebiri.
“KemenPPPA menghormati putusan penjara seumur hidup meski putusan Hakim tidak sama dengan tuntutan JPU. Saya mengharapkan setiap vonis yang dijatuhkan hakim dapat menimbulkan efek jera, bukan hanya pada pelaku, tapi dapat mencegah terjadinya kasus serupa berulang," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/02).
Menteri Bintang menyampaikan bahwa biaya ganti rugi itu masih akan menunggu hingga persidangan terdakwa mencapai incracht atau berkekuatan hukum tetap.
"Terhadap penetapan restitusi masih menunggu putusan yang incracht dan saat ini KemenPPPA akan membahasnya dengan LPSK," ucapnya.
Meski begitu, menurut Menteri Bintang, putusan Hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum. Dalam kasus ini, KemenPPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.
Merujuk pada Pasal 1 UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, bukan dibebankan kepada negara.
Di samping restitusi, Majelis Hakim juga menetapkan sembilan orang korban dan anak korban diserahkan perawatannya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat, dengan dilakukan evaluasi secara berkala.