Suara.com - Kelompok buruh mengatakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tidak bisa menggantikan manfaat yang sebelumnya didapatkan dari Jaminan Hari Tua (JHT).
JKP disediakan pemerintah sebagai 'bantalan' bagi pekerja yang terkena PHK sebelum usia pensiun. Skema itu mencakup bantuan uang tunai selama enam bulan dan pelatihan kerja.
Sebelumnya, pekerja dapat mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) satu bulan setelah di-PHK atau mengundurkan diri. Peraturan terbaru Kementerian Ketenagakerjaan menetapkan JHT baru bisa diambil 100% setelah pekerja menginjak usia pensiun, yaitu 56 tahun.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan manfaat yang diberikan JKP sangat terbatas dibandingkan JHT. Misalnya, JKP hanya diperuntukkan bagi pekerja yang di-PHK.
Baca Juga: Menaker Temui Pimpinan Serikat Pekerja dan Serikat Buruh Terkait JHT
"Kalau orang misalnya mengundurkan diri, pensiun dini kan enggak dapat JKP. Terus dari mana dia ngambil uangnya?" katanya kepada BBC News Indonesia.
Baca juga:
- Jaminan hari tua baru bisa diambil umur 56 tahun disebut 'kebijakan otoriter' dan 'seharusnya diubah'
- Sejumlah kelompok buruh serukan pembahasan RPP UU Cipta Kerja dihentikan karena gugatan di MK masih berlangsung
- Dugaan korupsi dana investasi BPJS Ketenagakerjaan 'mirip kasus Jiwasraya', bukti 'lemahnya pengawasan OJK'
Pemerintah mengklaim bahwa manfaat uang tunai dari JKP lebih besar dari JHT. Namun seorang pengamat ketenagakerjaan menyebut klaim itu 'tidak jujur'.
Penolakan terhadap peraturan baru tentang JHT terus berlanjut. Pada Rabu (16/02) ribuan buruh berdemonstrasi di depan kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan BPJS Ketenagakerjaan, menentang peraturan baru tentang JHT.
Apa itu JKP, dan apa bedanya dengan JHT?
JKP adalah jaminan sosial yang iurannya dibayar oleh pemerintah serta rekomposisi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Baca Juga: Tuntut Cabut Aturan JHT, Ribuan Buruh Geruduk Kemnaker
Menurut PP No. 37 tahun 2021, manfaat JKP berupa uang tunai diberikan setiap bulan selama enam bulan, dengan rincian 45% dari upah untuk tiga bulan pertama dan 25% dari upah untuk tiga bulan berikutnya.
Upah yang digunakan sebagai dasar penghitungan adalah upah terakhir pekerja yang dilaporkan perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan, dengan batas atas Rp5 juta.
Selain uang tunai, pekerja juga mendapatkan akses informasi pasar kerja dan bimbingan karier. Seorang pekerja dapat menerima manfaat JKP tiga kali selama usia kerjanya.
Sedangkan JHT adalah "tabungan wajib" yang iurannya dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja. Ia dibayarkan tunai sekaligus saat pekerja menginjak usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total.
Sebagian dana JHT dapat dicairkan oleh pekerja secara terbatas setelah 10 tahun menjadi peserta.
Berbicara kepada perwakilan buruh, Rabu kemarin, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah menjelaskan bahwa Permenaker No. 9 Tahun 2015 membolehkan JHT dicairkan sebelum usia pensiun karena waktu itu ada "kekosongan regulasi yang mengatur orang kehilangan pekerjaan".
Setelah membuat peraturan tentang JKP, yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja, pemerintah ingin mengembalikan hakikat JHT sebagai jaminan sosial hari tua, imbuhnya.
Lebih lanjut Ida mengatakan, program sudah berjalan dengan dibayarkannya modal awal dan iuran peserta dari pemerintah sebesar Rp 6triliun dan Rp823 miliar.
"Untuk manfaat JKP lainnya, Kemnaker juga sudah menyiapkan akses informasi pasar kerja lewat Pasker.ID serta menyiapkan lembaga-lembaga pelatihan untuk melaksanakan pelatihan re-skilling maupun up-skilling," kata Ida dalam pernyataan yang dirilis di akun Instagram Kemenaker, Rabu (16/02).
Mengapa buruh menolak?
Said Iqbal dari KSPI mengatakan JKP tidak bisa menjadi penyangga atau buffer bagi pekerja yang di-PHK karena tidak ada jaminan mereka bisa mendapatkan pekerjaan lagi setelah enam bulan. JKP juga tidak bisa diberikan kepada pekerja yang mengundurkan diri untuk pensiun dini atau memulai usaha sendiri.
Selama ini, kata Said, JHT menjadi tumpuan hidup bagi banyak pekerja dan lazim digunakan sebagai modal usaha.
"JHT itu penyangga untuk buruh bisa bertahan hidup; atau yang ingin mengundurkan diri, atau ingin pensiun dini ... JHT juga bisa digunakan untuk modal usaha," ujarnya.
Said juga mempertanyakan berapa lama modal awal pemerintah untuk JKP bisa bertahan. Menurut data pemerintah sendiri, dua tahun lalu angka PHK sudah menembus tiga juta. Tahun ini, dengan situasi pandemi, diperkirakan melebihi empat juta.
"Kalau tiap orang dapat dua juta, kali empat juta [yang ter-PHK], jadi Rp8 triliun. Itus aja sudah minus," kata Said.
Menanggapi keluhan itu, Staf khusus Kementerian Ketenagakerjaan Dita Indah Sari menjelaskan bahwa manfaat uang tunai dari JKP bisa lebih besar dari rata-rata manfaat JHT untuk jangka pendek.
Dita mengatakan, menurut data dari BPJS Ketenagakerjaan, 66% pencairan JHT selama ini nilainya di bawah Rp10 juta, atau rata-rata Rp7,5 juta.
Sementara menurut perhitungan pemerintah dalam skema JKP, pekerja yang telah bekerja selama dua tahun dengan gaji Rp5 juta bisa mendapat Rp10,5 juta setelah enam bulan.
"Jadi kalau dari segi manfaat, rata-rata masih lebih tinggi JKP, dan dibayarkan setiap enam bulan," katanya kepada BBC News Indonesia.
Dita menegaskan bahwa JKP bukan pengganti upah, melainkan dana bridging atau bantalan sebelum pekerja yang di-PHK mendapatkan pekerjaan baru.
Mengenai pekerja yang mengundurkan diri untuk memulai usaha, Dita mengusulkan agar mengakses bantuan program wirausaha yang disediakan Kementerian dan Pemda. "Pakai skema Bansos, jangan pakai skema Jamsos, karena itu kantongnya beda, peruntukannya beda," ujarnya.
Bagaimanapun, pada era gig economy dan di bawah Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap membuat posisi pekerja semakin rentan, beberapa pekerja muda khawatir tidak semua korban PHK bisa mendapatkan JKP.
"Kepesertaan JKP baru bisa diakses setelah dia bekerja selama 12 bulan. Artinya kalau enam bulan kita bekerja kemudian di-PHK, besar kemungkinan kita tidak akan mendapatkan manfaat dari JKP itu," kata Bimo Aria Fundrika, pengurus Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi, Sindikasi, yang anggotanya kebanyakan adalah pekerja muda.
Pengamat ketenagakerjaan, Hadi Subhan, menilai hitung-hitungan pemerintah yang membandingkan JKP dengan JHT "tidak jujur" karena contohnya adalah pekerja yang baru bekerja selama dua tahun.
"Bagi yang sudah bekerja selama lebih dari itu, bahkan sampai puluhan tahun, uang tunai dari JHT akan jauh lebih besar," kata Hadi.
Menurut Hadi, JKP semestinya tidak dikait-kaitkan dengan JHT karena itu dua hal yang tidak ada hubungannya sama sekali.
"Pertama, JHT itu kan uangnya buruh sendiri co-sharing dengan pengusaha sama sekali tidak ada uang pemerintah. Sedangkan JKP itu diaku sebagai uang pemerintah tapi kan sebenarnya rekomposisi dari iuran JKK dan JKM.
"Jadi yang satu punya buruh, yang satu punya pemerintah. Bagaimana mungkin yang punya buruh akan diatur oleh pemerintah," kata Hadi.
Hadi sebenarnya menganggap JKP akan berdampak positif dalam jangka panjang dan membuat pemerintah lebih proaktif dalam mengawasi perusahaan yang semena-mena melakukan PHK karena akan menambah beban pemerintah. Namun, dalam situasi ekonomi pasca-pandemi yang rentan, hal itu malah bisa merugikan pekerja.
"Saat ini tidak menguntungkan di sisi pekerja, dan tidak perlu dikaitkan dengan JHT," ujarnya.