Suara.com - Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa manfaat Jaminan Hari Tua di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa diambil setelah pekerja memasuki pensiun atau di usia 56 tahun, membuat sebagian orang khawatir dan ingin segera mencairkannya.
Rizal seorang pemegang kartu BPJS Ketenagakerjaan ikut mengantre di kantor BPJS Ketenagakerjaan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (16/2/2022).
Semenjak mendengar ada aturan baru tentang pencairan BPJS Ketenagakerjaan, Rizal yang sekarang mengaku sudah tidak bekerja, ingin segera menarik uangnya.
Dia khawatir baru bisa mencairkan uangnya saat usia 56 tahun, padahal sekarang sudah tidak bekerja.
“Katanya bulan Mei terakhir, saya nggak tahu uangnya mau dibuat apa harus ditahan-tahan,” kata Rizal dalam laporan Kaltim.suara.
Rupanya banyak orang yang berpikiran sama dengannya. Terbukti, nomor antrean di kantor BPJS Ketenagakerjaan sudah habis sebelum tiba gilirannya. Dia harus datang lagi besok.
Program jangka panjang
Setelah pemerintah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, muncul pro dan kontra.
Di tengah polemik, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengingatkan Program Jaminan Hari Tua bertujuan untuk kepentingan jangka panjang demi menyiapkan para pekerja di usia yang sudah tidak produktif atau dalam masa tua.
"Sesuai namanya Program JHT adalah merupakan usaha kita semua untuk menyiapkan agar para pekerja kita di hari tuanya, di saat sudah tidak bekerja, mereka masih dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik," ujar Ida Fauziyah.
"Sejak awal memang Program JHT ini dipersiapkan untuk kepentingan jangka panjang."
Untuk kepentingan jangka pendek sudah terdapat beberapa program lain seperti yang terbaru Jaminan Kehilangan Pekerjaan untuk membantu para pekerja yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja.
Terkait ketentuan JHT diberikan kepada peserta yang mencapai usia 56 tahun, Ida mengatakan ketentuan itu tidak berlaku untuk peserta yang meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap.
Bagi peserta yang meninggal dunia maka dapat diklaim oleh ahli waris dan untuk yang dalam kondisi cacat total tetap maka klaim dapat diajukan setelah adanya penetapan catat total tetap.
Dia juga mengingatkan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional bahwa klaim dapat dilakukan sebagian dengan jangka waktu tertentu.
Klaim dapat dilakukan ketika peserta telah mengikuti Program JHT paling minimal 10 tahun dengan besaran yang dapat diambil adalah 30 persen dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah atau 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.
Sisa manfaat JHT yang belum diambil dapat dilakukan pada usia 56 tahun.
"Apabila manfaat JHT kapanpun bisa dilakukan klaim 100 persen maka tentu tujuan Program JHT tidak akan tercapai," kata Ida.
Ditolak buruh
Buruh menolak pembelakuan permenaker itu. Ribuan buruh dari berbagai serikat pekerja wilayah Jabodetabek akan unjuk rasa untuk menolak, kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal.
Partai Buruh melalui KSPI, kata Said Iqbal, telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencabut kembali Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
KSPI juga meminta agar diberlakukan kembali Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang mengatur bahwa pekerja atau peserta BPJS Ketenagakerjaan dapat mengambil atau mencairkan dana JHT paling lama satu bulan setelah di-PHK, mengundurkan diri atau pensiun dini dari perusahaan.
"Jaminan Hari Tua atau jaminan sosial dalam bentuk tabungan ini sangat dibutuhkan oleh buruh baik yang ter-PHK maupun mengundurkan diri karena ingin berwiraswasta, atau pensiun dini menghabiskan usia di kampung dengan menggunakan dana JHT itu," kata Said.
Tinjau ulang
Dengan adanya penolakan di masyarakat, anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay berpendapat bahwa pemerintah harus meninjau ulang Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
“Saya melihat bahwa Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Diskusi publik itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja,” kata Saleh.
Ia mengatakan apabila hasil diskusi publik ternyata menyebut bahwa permenaker ini merugikan para pekerja, maka pihaknya akan mendorong agar permenaker ini dicabut.
"Harus dibuka ruang untuk diskusi. Tidak baik kalau suatu kebijakan strategis tidak melibatkan pihak-pihak terkait.”
Saleh mengatakan bahwa dia belum mendapat keterangan yang jelas dan lengkap terkait Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
Dalam rapat-rapat dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan, perubahan tentang mekanisme penarikan jaminan hari tua tidak dibicarakan secara khusus. Bahkan dapat dikatakan belum disampaikan secara komprehensif.
"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah disounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita bisa menjelaskan,” katanya.
Terkait Permenaker 2 Tahun 2022, menurut Saleh, harus dipastikan agar tidak merugikan para pekerja. Sejauh ini, ia mendengar masih banyak penolakan dari asosiasi dan serikat pekerja.
Adapun isu yang melandasi penolakan tersebut adalah Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang menyatakan dengan tegas bahwa JHT diberikan kepada peserta atau penerima manfaat ketika sudah mencapai usia 56 tahun.
Pada peraturan sebelumnya, yakni Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, peserta atau penerima manfaat dapat memperoleh JHT ketika peserta berhenti bekerja yang diakibatkan pengunduran diri, pemutusan hubungan kerja atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Saleh khawatir penolakan masyarakat terhadap Permenaker Nomor 2/2022 akan menyebabkan tidak efektifnya kebijakan tersebut.
"Saya dengar, alasan pemerintah adalah agar tidak terjadi double claim. Di satu pihak ada jaminan kehilangan pekerjaan, di pihak lain ada JHT. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi JHT ke tujuan awalnya," katanya.
Masalahnya, tutur dia, JKP itu payung hukumnya adalah UU Cipta Kerja.
“Apakah sudah bisa diberlakukan? Bukankah Permenaker ini dikeluarkan setelah putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat? Kalau misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja?” katanya.
Selain itu, ketua Fraksi PAN ini melihat bahwa kebijakan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 kurang sosialisasi. Apabila Kemenaker telah mengedukasi masyarakat terkait JKP dan menjelaskan keunggulan JKP, maka masyarakat akan mendukung.
Minim kesadaran perencanaan keuangan
Perencana Keuangan Safir Senduk mengatakan polemik yang muncul terkait program Jaminan Hari Tua lebih disebabkan terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai konsep JHT, serta minimnya kesadaran akan pentingnya perencanaan keuangan di masa datang.
Padahal program JHT yang dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan memberikan manfaat cukup besar bagi pekerja yang bisa menjadi penguat fondasi masyarakat yang tidak lagi memiliki penghasilan ketika memasuki usia pensiun.
“JHT adalah salah satu program sosial yang memberikan proteksi kepada pekerja sehingga dalam kondisi apapun pencairan klaim harus dilakukan ketika masyarakat memasuki usia tua. Namanya saja JHT, memberikan jaminan bahwa hari tua kita aman. Kalau sebelum hari tua sudah bisa kita ambil namanya JHM (Jaminan Hari Muda),” kata Safir Senduk dalam laporan Antara.
Dengan demikian, menurutnya, dari sisi financial planning, perubahan skema pencairan JHT yang disusun pemerintah melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT sudah tepat.
Ia menjelaskan program JHT berbeda dibandingkan dengan tabungan konvensional seperti rekening bank yang bisa dicairkan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan nasabah.
Safir pun menyadari penolakan dari kalangan pekerja berdasar pada hilangnya penghargaan yang diterima ketika mengalami pemutusan hubungan kerja di tengah usia produktif. Terlebih mayoritas pekerja tidak memiliki simpanan jangka pendek yang bisa diakses dalam situasi mendesak.
Akan tetapi pemerintah telah memberikan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang bisa memberikan perlindungan bagi kalangan pekerja saat dikenai PHK dan berfungsi sebagai jaring pengaman sosial.
"JKP bisa memberikan klaim kepada pekerja. Seharusnya dengan adanya program ini tidak ada lagi permasalahan karena manfaat yang diberikan pemerintah melalui program ini cukup besar,” katanya.
JHT adalah program wajib bagi peserta penerima upah dengan iuran per bulan sebesar 5,7 persen dari upah yang diterima. Dari jumlah tersebut, pekerja membayar iuran sebesar 2 persen, sedangkan 3,7 persen dibayarkan oleh pemberi kerja atau perusahaan.
Ketika memasuki hari tua, manfaat yang diterima oleh pekerja dari JHT berupa uang tunai bersumber dari iuran yang telah dibayarkan selama menjadi peserta ditambah dengan hasil pengembangan dana tersebut.
Menurut Safir Senduk, dengan menggunakan asumsi upah per bulan sebesar Rp5 juta per bulan, maka iuran yang dibayarkan untuk program JHT sebesar Rp285.000 per bulan atau Rp3,42 juta per tahun.
Apabila pekerja menjadi peserta JHT pada usia 25 tahun dan dinyatakan pensiun ketika usia 56 tahun, artinya pekerja tersebut membayar iuran selama 31 tahun dengan total dana yang dibayarkan mencapai Rp106,02 juta.
Dengan mempertimbangkan adanya perubahan saldo awal tiap tahun serta imbal hasil yang diterima setelah iuran tersebut diinvestasikan ke berbagai instrumen oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka manfaat yang diperoleh pekerja saat hari tua berdasarkan penghitungan Kalkulator JHT mencapai Rp248,55 juta.
Adapun, instrumen investasi yang dijadikan penempatan dana kelolaan JHT di antaranya adalah Surat Berharga Negara dan deposito perbankan, dengan tingkat imbal hasil rata-rata di kisaran 5 persen-7 persen.