Suara.com - Lapor Covid-19 memperingatkan pemerintah agar "tidak terlalu percaya diri" dengan situasi pandemi belakangan ini, karena perkembangan gelombang omicron belum bisa diperkirakan.
Peringatan ini disampaikan di tengah pernyataan Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan yang berencana melakukan "pelonggaran-pelonggaran" kebijakan "dengan monitoring yang ketat."
Lapor Covid-19 juga mengatakan pemerintah perlu memperkuat kebijakan kongkret seperti meningkatkan testing dan tracing serta perlindungan tenaga kesehatan
Di lapangan, seorang tenaga kesehatan yang dikontak BBC News Indonesia mulai mengeluhkan beban kerja karena di tempatnya bekerja tenaga kesehatan yang terinfeksi Covid-19 sudah mencapai 50%.
Baca Juga: Mengapa Tes Cepat COVID-19 Dilarang di Cina?
Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat rasio perawat dengan pasien sudah naik dua kali lipat di rumah sakit rumah sakit utama Jakarta.
Sementara itu, ahli kesehatan meminta pemerintah tak menganggap enteng jumlah kasus kematian, dan menyerukan adanya audit kematian.
- Covid: 100 orang meninggal dalam sehari di Indonesia, mengapa jumlah kematian meningkat?
- Berapa lama pengidap Omicron bisa menularkan virus ke orang lain?
- Tracing kasus Covid-19 rendah, pakar khawatir "banyak korban berjatuhan"
Sampai Selasa (15/02), data resmi menunjukkan jumlah kasus mencapai 57.049 dan kasus meninggal tercatat 134.
Melani - bukan nama sebenarnya - mulai menghadapi penambahan beban kerja di salah satu RSUD di Jakarta Timur. Ia mengatakan, di fasilitas kesehatan tempatnya bekerja, setengah tenaga kesehatannya terinfeksi Covid-19.
Dalam satu kali sif kerja, awalnya ia merawat satu sampai dua pasien, namun belakangan ini harus melayani hingga 10 pasien Covid.
Baca Juga: Covid-19 di Sumbar Menggila Lagi, Sehari Bertambah 540 Kasus Positif
"Sejauh ini bed [ranjang] kita itu selalu terisi. [Pasien] terus-terusan ada," katanya.
Pemulsaran bagi pasien Covid-19 yang tak mampu bertahan juga meningkat.
"Ada terus pemulsaran Covid, dan tiap hari pun kita merujuk pasien Covid yang sudah sangat berat, yang nggak bisa isoman. Tiap hari pasti ada," katanya. Setiap pasien bisa menunggu hingga seharian untuk mendapat rujukan ke rumah sakit utama, tambahnya.
Situasi ini mengingatkannya kembali pada saat gelombang delta menghantam fasilitas kesehatan tahun lalu.
Situasi saat ini ia sebut "bakalan meledak deh nantinya" jika penanganan Covid dengan kasus omicron dilakukan tanpa strategi khusus.
"Itu masih terngiang-ngiang aja di saya. Mau membantu yang mana duluan, yang angka kehidupannya itu masih tinggi. Dengan posisi tenaga nggak ada.
"Menurut saya itu dilema. Kayak nangis sendiri. Mau nolongin orang nanggung-nanggung, sementara saya harus menjaga diri saya seperti apa," kata Melani yang saat itu juga bertugas sebagai pembungkus jenazah pasien Covid.
"Cemasnya tuh berlebih banget jadinya, kayak nanti kan mau jelang puasa apalagi. Kayaknya bakal naik banget nih. Bakalan meledak deh nantinya."
Beban perawat bertambah
Situasi ini diakui oleh Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Ketua Umum PPNI, Harif Fadillah yang mengatakan beban kerja perawat di sejumlah rumah sakit utama di Jakarta mulai meningkat.
Rasio antara perawat dengan pasien meningkat dua kali lipat, khususnya di UGD.
"Itu biasanya satu perawat mengawasi enam sampai delapan [pasien], karena kondisi banyak yang masuk juga, maka ia tenaga belum bisa menambah, itu mereka ada kalanya, melonggarkan rasio jadi satu orang [perawat] mengawasi 12-13 orang pasien," kata Harif.
Ia juga mencatat sejak Januari lalu, jumlah perawat yang melaporkan terkonfirmasi Covid-19 hingga 15 Februari sebanyak 275 perawat. Tapi ia meyakini jumlah sebenarnya jauh lebih besar, "karena belum [semua perawat] melaporkan di sistem."
Positivity rate nakes versi pemerintah
Berdasarkan keterangan Kementerian Kesehatan jumlah tenaga kesehatan di Jakarta yang terinfeksi Covid-19 sudah lebih dari 30%.
Rinciannya, RS Ketergantungan Obat sebanyak 63%, RSUP Fatmawati 41%, RSPI Sulianti Saroso 40%, dan RS Jantung Harapan Kita 39%, seperti dikutip dari Antara.
Namun, belakangan data ini diralat Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Profesor Abdul Kadir. "Karena jumlah nakes yang diperiksa [saat itu] jumlahnya masih sedikit.
Tapi pada akhir-akhir ini jumlahnya sudah hampir 90% [yang diperiksa], ternyata positivity rate-nya itu di bawah 10%," katanya seperti disampaikan dalam laman YouTube Kemenkes Indonesia.
Ia juga mengatakan sejauh ini belum menerima laporan tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19.
"Bahwa teman-teman kita yang masuk dalam tenaga kesehatan ini, mereka itu sudah mendapatkan vaksinasi booster sampai tiga kali. Jadi memang mereka itu, ibaratnya siap tempur karena imunitas mereka itu sudah terjaga," kata Prof Abdul Kadir.
'Nggak perlu dikhawatirkan berlebihan'
Kondisi ini terjadi di tengah pernyataan pers Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan atas apa yang ia sebut "Nggak perlu ada yang dikhawatirkan berlebihan."
"Kalau memang dia sudah divaksin, sudah dua kali, sudah booster, tidak ada komorbit, ya jalan-jalan saja," kata Luhut dalam keterangannya kepada media.
Hal ini dikatakannya berdasarkan klaim angka kematian kasus Covid sejauh ini didominasi dari pasien belum mendapatkan vaksin, atau baru mendapat dosis pertama, memiliki komorbit dan dari kategori lansia.
Luhut juga membandingkan angka kematian saat varian delta rata-rata 1000 kasus per hari, dengan varian omicron per 14 Januari 2022 tercatat 145 kasus kematian.
"Nggak perlu ada yang dikhawatirkan berlebihan. Kita belum ada lihat, untuk ada pengetatan lagi, tidak. Justru kita ada pelonggaran-pelonggaran yang kita lakukan tetap dengan monitoring yang ketat," tambah Luhut.
Sejauh ini pelonggaran kebijakan yang telah ditetapkan adalah mengurangi masa karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri. Semula lima hari dipangkas menjadi tiga hari mulai awal Maret 2022.
Syarat ini berlaku bagi mereka yang sudah mendapat vaksin ketiga, dan tetap menjalani tes PCR di hari ketiga karantina.
Kasus melonjak lagi
Pelonggaran-pelonggaran kebijakan ini juga berdasarkan kasus harian yang turun beberapa hari terakhir, yaitu 55.209 kasus (12 Februari) turun menjadi 44.526 (13 Februari) lalu turun lagi menjadi 36.501 kasus (14 Februari).
Namun, data terbaru yaitu 15 Februari menunjukkan lonjakan lagi menjadi 57.049 kasus.
Sementara, angka kematian memiliki kecenderungan tren peningkatan dalam satu bulan terakhir. Per 15 Februari angka kematian harian tercatat 134 kasus, dibandingkan Januari di tanggal yang sama hanya tercatat empat kasus harian kematian.
'Jangan terlalu percaya diri'
Sejauh ini, angka kematian yang dilaporkan pemerintah adalah pasien yang terkonfirmasi Covid-19. Sementara mereka yang meninggal dengan gejala berat Covid tidak masuk hitungan. Pencatatannya juga terjadi perbedaan antara pemerintah pusat dan daerah.
Koordinator Advokasi Lapor Covid-19, Firdaus Ferdiansyah meyakini data kematian pemerintah tidak menggambarkan apa yang terjadi di lapangan.
"Karena kalau berdasarkan laporan di lapangan itu ada kasus tidak dilaporkan, ketika tidak dilaporkan, tidak ditangani," kata Firdaus.
- Seperti apa dan bagaimana asal muasal varian Omicron?
- Mengapa orang yang telah divaksin masih bisa tertular Covid-19?
Ia juga memperingatkan agar pemerintah "hati-hati, jangan terlalu percaya diri", karena situasi varian omicron masih belum bisa diprediksi.
Pemerintah, kata dia, harus belajar dari gelombang delta di mana semestinya menguatkan kebijakan-kebijakan yang "konkret", seperti penguatan testing dan tracing, perlindungan tenaga kesehatan, penanganan medis bagi masyarakat yang melakukan isolasi mandiri, serta memperkuat kapasitas tenaga di tingkat puskesmas.
"Jangan menjadikan pandemi ini kayak kejadian [kemarin], pasti akan telat, tetapi kan kita bisa mengambil lesson learn," kata Firdaus.
Sejauh ini, yang dilakukan pemerintah, lanjut Firdaus, justru membuat narasi yang dapat membuat masyarakat meremehkan pandemi.
"Akhirnya, mau mencoba memutarbalikan narasinya bahwa omicron lebih ringan, jadi jangan takut," katanya.
Tunggu angka rata-rata mingguan
Menurut Prof Tjandra Yoga Aditama, angka harian ini belum menggambarkan situasi pandemi.
Direktur pascasarjana Universitas YARSI dan Guru Besar FKUI ini mengatakan, pelonggaran kebijakan tak bisa dilakukan dengan melihat angka kasus harian, tapi bisa dipertimbangkan, "Kalau angka mingguan melandai, menurun," katanya.
Penghitungan angka kasus per minggu ini yang umum dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk melihat tren kasus, dan kebijakan yang perlu diambil.
Di samping itu, Prof Yoga menyoroti angka kasus kematian harian yang meningkat semula di bawah 10 menjadi lebih dari 100 dalam satu pekan terakhir. Ia berharap angka kematian ini tidak dipandang sebelah mata.
"Benar, jumlah yang meninggal jauh lebih kecil dari pada waktu delta kasusnya 50.000, yang meninggal 2.000. Tapi itu kan nyawa orang, nggak bisa nyawa orang itu dikatakan dulu kan 2.000 sekarang 100. Itu rasanya tidak terlalu fair juga," kata Prof Yoga.
Menurutnya pemerintah perlu melakukan audit serta membuka data rinci terkait kematian yang disebut didominasi oleh pasien yang belum vaksin lengkap, komorbit atau lanjut usia.
Sejauh ini, Prof Yoga memperkirakan penyebab kasus kematian Covid dibagi menjadi tiga; karena virus, covid yang diperburuk komorbit, dan meninggal "karena komorbitnya, bukan covidnya".
Ia juga meminta agar pemerintah memetakan di mana pasien meninggal. Hal ini untuk menganalisa tentang apa yang terjadi dengan sistem kesehatan, ketika pasien meninggal justru sedang melakukan isoman.
Melalui audit kematian ini diharapkan bisa dilakukan upaya-upaya "untuk menekan angka kematian ini".
"Bukan hanya angkanya, tapi satu nyawa berharga," kata Prof Yoga.