Pasalnya, hal ini tidak dikenal dalam skema pembayaran restitusi, pihak ketiga negara.
"Korban kekerasan seksual baik anak maupun dewasa tentu saja berhak untuk memperoleh ganti kerugian atas peristiwa yang dialaminya baik dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi," ujarnya lagi.
Selain itu, Maidina mengatakan dalam skema kekerasan seksual, kompensasi tidak dimungkinkan dalam skema UU hari ini. Sedangkan pembebanan ganti kerugian kepada pelaku memiliki sejumlah kendala, salah satunya persoalan eksekusi oleh jaksa dan pelaku yang tidak memiliki uang.
"ICJR sepakat dengan "niat baik" dari majelis hakim di dalam putusan HW dengan membebankan ganti kerugian untuk dibayarkan oleh negara," ucapnya.
Namun sayangnya yang tidak disadari oleh majelis hakim, dengan ketiadaan kerangka hukum mekanisme pembayaran restitusi oleh negara, sangat besar kemungkinan pada akhirnya restitusi ini tidak akan dibayarkan.
Sehingga sangat mudah bagi pemerintah untuk berkelit bahwa tidak ada skema yang tersedia, karena memang tidak ada kewajiban negara membayarkan restitusi kepada korban.
Sebab, terdapat ketidakjelasan mengenai pemenuhan restitusi ini, yang lagi-lagi dampak buruknya akan menimpa korban.
"Seharusnya dengan melihat problem pemenuhan restitusi dan layanan korban dan memastikan komitmen negara menguatkan hak korban, negara harus menghadirkan skema revolusioner untuk pemulihan hak korban," ujar Maidina.
Karena itu ICJR mendorong skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund harus dibangun oleh negara.
Negara tetap bisa menerapkan sanksi finansial kepada pelaku tindak pidana, lalu mengolah hasil yang didapat untuk memenuhi hak korban, termasuk untuk membayarkan kompensasi dan memberikan layanan.