Predator Santri Herry Wirawan Divonis Seumur Hidup, ICJR: Negara Hanya Fokus Hukum Pelaku, Bukan Pemulihan Korban

Rabu, 16 Februari 2022 | 06:15 WIB
Predator Santri Herry Wirawan Divonis Seumur Hidup, ICJR: Negara Hanya Fokus Hukum Pelaku, Bukan Pemulihan Korban
Terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak Herry Wirawan (ketiga kanan) berjalan memasuki ruangan untuk menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/2/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup pada predator santriwati di Bandung, Herry Wirawan, Selasa (15/2/2022).

Majelis Hakim juga membebankan restitusi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terhadap anak dari 12 korban pemerkosaan terdakwa sebesar Rp 331.527.186.

Institute fo Criminal Justice Reform (ICJR) sejak awal mengutuk perbuatan yang dilakukan oleh Herry Wirawan dan berempati pada korban dan juga keluarganya atas peristiwa ini.

Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan, putusan tersebut merefleksikan fenomena yang jamak terjadi di Indonesia belakangan, terutama di dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak.

Baca Juga: Pertimbangan Terhadap Psikologis Korban, Bayi yang Lahir dari Korban Pemerkosaan Herry Wirawan Dititipkan Ke Pemprov

"Bahwa negara hanya berfokus kepada penghukuman keras bagi pelaku, tanpa melihat hal yang seharusnya semenjak awal menjadi fokus di dalam kasus, yakni pemulihan bagi korban," ujar Maidina dalam keterangannya, Selasa (15/2/2022).

Maidina menyebut karut-marutnya sistem pemulihan bagi korban, berdampak pada ketidakjelasan hak yang dapat diperoleh korban ini tidak kunjung diperbaiki.

Revisi UU Perlindungan Anak di tahun 2016 yang merupakan momen yang tepat bagi negara untuk memperbaiki kebijakan soal jaminan pemulihan korban, justru menghadirkan kebijakan kepada pelaku saja, dengan hadirnya "gimmick" seperti kebiri kimia dan pidana mati.

Maidina menuturkan, salah satu permasalahannya adalah inkonsistensi pembentuk undang-undang dan APH serta hakim dalam melihat posisi restitusi dalam sistem peradilan pidana.

Kata dia, ICJR mempertanyakan apakah restitusi merupakan respon pemulihan bagi kerugian korban atau sebagai bentuk pidana pada pelaku.

Baca Juga: Begini Nasib Yayasan Pesantren Milik Herry Wirawan Usai Pemerkosa 13 Santriwati Itu Dihukum Seumur Hidup

"Permasalahan ini ditemukan dalam kebijakan soal restitusi di Indonesia, mulai dari UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Perlindungan Anak hingga UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang," ucap dia.

Maidina melanjutkan, jika dilihat dalam analisis historis tentang gerakan hak korban, harusnya restitusi dapat dilihat sebagai respons terhadap kerugian korban.

Dengan adanya korban tindak pidana dan kerugian yang dialaminya, negara bertanggung jawab menyedikan pemulihan yang efektif, baik dibebankan kepada pelaku ataupun ditanggung oleh negara.

"Pemulihan bagi korban bukan sebagai bentuk penghukuman yang bergantung pada putusan pengadilan bagi pelaku," lanjut Maidina.

Kata Maidina, terdapat catatan jika restitusi hanya dilihat sebagai penghukuman kepada pelaku, yaitu berlaku ketentuan Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana lain apabila pelaku dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.

Dampaknya yakni, korban menjadi tidak dapat memperoleh haknya ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku apabila hakim menjatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup.

Maka dari itu, penegasan posisi dari restitusi atau setidaknya harmonisasi posisi restitusi di dalam perundang-undangan pidana perlu untuk segera dilakukan.

"Dalam pertimbangannya, majelis hakim kasus HW telah menangkap hal ini sebagai suatu masalah," katanya.

ICJR juga memberikan apresiasi pada usaha hakim dalam putusan ini, namun masih ada masalah yang lebih rumit.

Dikarenakan Herry dituntut dengan pidana mati oleh Penuntut Umum, hakim menyatakan maka penjatuhan restitusi tidaklah dimungkinkan dengan mempertimbangkan Pasal 67 KUHP.

Hal itu menjadi rumit kemudian, majelis hakim disebutnya telah melakukan ‘improvisasi’ dengan membebankan restitusi dibayarkan oleh pihak ketiga yang ditentukan yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Pasalnya, hal ini tidak dikenal dalam skema pembayaran restitusi, pihak ketiga negara.

"Korban kekerasan seksual baik anak maupun dewasa tentu saja berhak untuk memperoleh ganti kerugian atas peristiwa yang dialaminya baik dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi," ujarnya lagi.

Selain itu, Maidina mengatakan dalam skema kekerasan seksual, kompensasi tidak dimungkinkan dalam skema UU hari ini. Sedangkan pembebanan ganti kerugian kepada pelaku memiliki sejumlah kendala, salah satunya persoalan eksekusi oleh jaksa dan pelaku yang tidak memiliki uang.

"ICJR sepakat dengan "niat baik" dari majelis hakim di dalam putusan HW dengan membebankan ganti kerugian untuk dibayarkan oleh negara," ucapnya.

Namun sayangnya yang tidak disadari oleh majelis hakim, dengan ketiadaan kerangka hukum mekanisme pembayaran restitusi oleh negara, sangat besar kemungkinan pada akhirnya restitusi ini tidak akan dibayarkan.

Sehingga sangat mudah bagi pemerintah untuk berkelit bahwa tidak ada skema yang tersedia, karena memang tidak ada kewajiban negara membayarkan restitusi kepada korban.

Sebab, terdapat ketidakjelasan mengenai pemenuhan restitusi ini, yang lagi-lagi dampak buruknya akan menimpa korban.

"Seharusnya dengan melihat problem pemenuhan restitusi dan layanan korban dan memastikan komitmen negara menguatkan hak korban, negara harus menghadirkan skema revolusioner untuk pemulihan hak korban," ujar Maidina.

Karena itu ICJR mendorong skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund harus dibangun oleh negara.

Negara tetap bisa menerapkan sanksi finansial kepada pelaku tindak pidana, lalu mengolah hasil yang didapat untuk memenuhi hak korban, termasuk untuk membayarkan kompensasi dan memberikan layanan.

"Dana bantuan Korban ini juga dapat diolah dari penerimaan bukan pajak negara," papar dia.

Lebih lanjut, ICJR mendorong agar DPR dan pemerintah mengevaluasi, memperbarui dan memperkuat pengaturan tentang hak korban, mulai dari layanan korban hingga kejelasan restitusi dan eksekusi hak korban dalam KUHAP.

Kedua, ICJR juga mendorong Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk memperhatikan aspek pemulihan korban dalam penanganan kasus. Dalam putusan, MA wajib memberikan jaminan putusan pengadilan yang mempertimbangkan pemulihan Korban.

"Ketiga, pemerintah dan DPR mengkaji segera skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund untuk masuk dalam KUHAP, UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan undang-undang lain yang sedang dibahas seperti RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," katanya menambahkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI