Suara.com - Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon, menyampaikan kritik keras terhadap perjanjian antara Indonesia dan Singapura. Menurutnya, kesepakatan antar dua negara itu yang menghasilkan Perjanjian Kerjasama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) dan Flight Information Region (FIR) belum jelas.
Hal itu disampaikan Effendi dalam rapat kerja Komisi I DPR bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Senin (15/2/2022) kemarin. Awalnya, ia mengkritik soal kesepakatan DCA yang dianggapnya justru merugikan Indonesia.
"Ini bagaimana sejarah ceritanya? karena kita minim sekali informasi ini. Kok ada perjalanan dari tahun '90-an, '97 khususnya, ketika orde baru ini kita menandatangani DCA, akhirnya Singapura dengan leluasa menggunakan darat di Sumatera Selatan itu, di Baturaja, kemudian dengan di NTA laut, udara, ruang alpha dan seterusnya," kata Effendi.
Menurutnya, kesepakatan DCA dengan Singapura juga sudah pernah dilakukan. Hanya saja menurut Effendi kala itu kesepakatan kedua negara itu urung diratifikasi.
Effendi pun mengaku bingung, tiba-tiba pada Januari 2022 Indonesia jalin kesepakatan dengan Singapura soal DCA di Bintan.
"Nah ini di awal Januari kita tiba-tiba dihadapkan pada dihadapi cerita kok ada penandatanganan di Bintan, yang kita tahu biasanya leading sector-nya Kemlu, tapi ini kok Menteri Perhubungan, Menteri Pertahanan yang saya tanya juga gak dalam juga ngerti juga," tuturnya.
Effendi juga mengkritisi soal kesepakatan pelayanan navigasi penerbangan ruang udara atau Flight Information Region (FIR) di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna. Pasalnya, FIR atau ruang udara dari nol sampai 37 ribu kaki masih dikuasai oleh Singapura.
"Yang FIR juga, FIR apa sih bu? Menteri Perhubungan bilang ini bentuk kedaulatan yang kembali, yang mana?. Yang mana? 0-37 ribu feet itu daerah kekuasaan siapa? Apakah kita pernah dulu 17 Agustus 1945 subjek itu bahwa ada daerah dari 0-37 ribu feet, enggak ada," tuturnya.
Untuk itu, Effendi menilai kesepakatan antar dua negara tersebut membingungkan. Menurutnya, tidak ada satu pun pihak dari Istana hingga kabinet bisa menjelaskan hal tersebut.
"Jadi banyak sekali yang kita, jujur aja membingungkan. Juru bicara- juru bicara Istana juga mohon maaf dengan segala hormat saya, mereka gak ngerti bu, gak ada satupun buzzer-buzzer itu ngerti. Mau dari si A, si B, sebut aja siapa pun, sampai menterinya juga gak ngerti," tuturnya.
"Menjelaskan FIR tidak seperti itu, bahwa kita sudah mengembalikan kedaulatan, kedaulatan yang mana? kedaulatan siapa? Mengenai DCA juga, luar biasa itu," sambungnya.
Untuk diketahui, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura diteken oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam, yang disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong, di Bintan, Kepulauan Riau, pada Selasa (25/1/2022).
Kesepakatan Ekstradisi tersebut juga ditandatangani bersamaan dengan Perjanjian FIR dan DCA.