Presiden Jerman: Penengah yang Hanya Berkuasa di Masa Krisis

Senin, 14 Februari 2022 | 12:50 WIB
Presiden Jerman: Penengah yang Hanya Berkuasa di Masa Krisis
DW
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Frank-Walter Steinmeier terpilih kembali menjadi Presiden Jerman untuk masa jabatan kedua pada Konvensi Federasi, Minggu (13/02). Fungsinya sebagai penengah bakal diuji di masyarakat yang semakin terpolarisasi.

Ketika Frank-Walter Steinmeier mengumumkan niatnya mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua sebagai Presiden Jerman tahun lalu, tidak sedikit yang melihatnya sebagai pertaruhan langka oleh sosok yang biasanya penuh kehati-hatian itu.

Sebab, presiden yang memangku fungsi sebagai instansi moral dalam politik Jerman biasanya tidak mengumumkan ambisi politiknya.

Terlebih, kader Sosial Demokrat berusia 65 tahun itu belum tahu apakah akan punya cukup kursi mayoritas buat memenangkan Konfensi Federal pada Minggu (13/02).

Baca Juga: Untuk Kedua Kalinya, Frank-Walter Steinmeier Terpilih Kembali Jadi Presiden Jerman

Pada saat itu, Partai SPD masih menguntit di belakang pesaingnya, Uni Kristen Demokrat (CDU). Seandainya kelompok konservatif yang menang, mereka dipastikan akan mengusung calonnya sendiri.

Namun kini, kader SPD, Olaf Scholz, yang menjadi kanselir menggantikan Angela Merkel. Tidak butuh waktu lama bagi rekan koalisinya, Partai Hijau dan Partai Demokrat Bebas (FDP), untuk mendukung masa jabatan kedua bagi Steinmeier.

Adapun CDU yang masih berusaha pulih dari kekalahan pemilu, memutuskan tidak akan mencalonkan kandidatnya sendiri dalam pemilihan kali ini.

Prioritas pada stabilitas politik

Sebanyak 1.472 membentuk Konvensi Federal yang bertugas memilih presiden Jerman setiap lima tahun sekali. Jumlah tersebut terdiri dari 736 anggota parlemen, Bundestag, dan 736 perwakilan ke-16 negara bagian di Jerman.

Baca Juga: Sambutan Natal Presiden Jerman: Tak Semua Pendapat Harus Sama

Terlepas dari situasi saat ini, pemilihan ulang Steinmeier bukan hal yang kontroversial di Jerman, menurut Uwe Jun, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Trier.

"Opini umum soal Steinemeier menunjukkan kepuasan tinggi terhadap kinerjanya di masa jabatan pertama,” kata dia kepada DW.

"Dia adalah seseorang yang sangat membumi, dapat berdialog dengan berbagai kelompok sosial, dan cermat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit, dalam situasi krisis atau pandemi COVID-19. Tidak ada protes besar terhadap masa jabatannya.”

Presiden Jerman memangku fungsi memediasi konflik politik dan menjadi simbol kesatuan.

"Dia harus mewakili Jerman secara domestik atau internasional. Dan dia harus memainkan peranan yang inklusif,” kata Jun lagi.

"Terutama tugas menjembatani perbedaan menjadi semakin sulit karena masyarakat kita menjadi semakin heterogen dan terpolarisasi. Sebagan dari masyarakat tidak merasa diwakili olehnya.”

Berkuasa dalam krisis

Presiden Jerman tidak memiliki kekuasaan sebesar rekan sejawatnya di Amerika Serikat, Prancis, atau Rusia. Dia tidak mengepalai angkatan bersenjata atau berwenang memberlakukan UU Darurat Nasional serta membubarkan parlemen.

Posisi yang relatif lemah itu memiliki akar di dalam sejarah Jerman. Presiden awalnya memiliki kekuasaan mutlak di era Republik Weimar.

Namun pada 1933, Paul von Hindenburg malah menggunakannya untuk membuka jalan bagi kepemimpinan Adolf Hitler.

Akibatnya kini, fungsi konstitusional seorang presiden menjadi samar. Dia mewakili Jerman sebagai kepala negara, tapi tidak punya wewenang eksekutif, meski berwenang menengahi perpecahan politik.

Baru pada saat krisis semacam itu, presiden berwenang membubarkan parlemen jika kanselir dikalahkan dalam mosi tidak percaya. Dia juga punya kekuasaan memveto produk legislasi jika dirasa melanggar konstitusi.

"Para pencetus Undang-undang Dasar secara sadar tidak memberikan kekuasaan yang besar buat presiden. Posisi ini memang penting, tapi tidak berkuasa, kecuali institusi lain mengalami krisis,” tutur pakar politik, Münch.

Krisis semacam itu diprediksi akan datang seiring bertambahnya jumlah partai di parlemen yang mempersulit pembentukan koalisi pemerintahan.

Pada 2017, Steinmeier harus mengintervensi ketika Kanselir Merkel gagal membentuk koalisi dengan Partai Hijau dan FDP. Saat itu dia menolak pemilu ulang dan memaksa sang kanselir memadu koalisi besar dengan Partai SPD. rzn/ha

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI