Jaminan Hari Tua Baru Bisa Diambil Umur 56 Tahun Disebut Kebijakan Otoriter

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 14 Februari 2022 | 12:38 WIB
Jaminan Hari Tua Baru Bisa Diambil Umur 56 Tahun Disebut Kebijakan Otoriter
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa diambil saat pekerja memasuki pensiun atau di usia 56 tahun, dipandang pengamat tenaga kerja sebagai "kebijakan yang otoriter" dan "seharusnya diubah".

"Menurut perspektif saya dan dari kajian hukum perburuhan, ini adalah kebijakan yang otoriter. Karena [JHT] ini terkait dengan kepentingan pekerja dan tidak terkait langsung dengan pemerintah. Tapi kemudian pemerintah melakukan kebijakan tersebut," kata Hadi Subhan, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga.

"Itu kan uangnya para pekerja sendiri. Memang ada uang perusahaan, tetapi kan tidak ada uang pemerintah sama sekali. Kenapa kemudian harus ditahan lebih lama? Ada kepentingan apa?" lanjutnya.

Pada aturan sebelumnya, JHT bisa dicairkan peserta dengan masa tunggu 1 bulan sejak mengundurkan diri dari tempat pekerjaannya.

Baca Juga: Perbedaan Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun BPJS Ketenagarkerjaan, Jangan Sampai Keliru Mengartikannya!

Pejabat Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan bahwa peraturan terbaru Menaker yang akan berlaku Mei 2022 tersebut, telah melalui masukan berbagai pihak melalui forum tripartit nasional dan dimaksudkan untuk melindungi "tahapan kehidupan pekerja sampai dengan hari tuanya."

Baca juga:

Melalui peraturan baru itu, pekerja yang menjadi peserta iuran BPJS Ketenagakerjaan tetap bisa mencairkan JHT-nya maksimal 10% untuk kepemilikan rumah dan 10% untuk keperluan lain, sedangkan "sisanya baru bisa dicairkan saat usia 56 tahun."

Bagi pekerja yang terkena PHK sebelum memasuki usia 56 tahun disebut akan menerima program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan tanggungan uang tunai selama enam bulan beserta akses informasi pasar kerja termasuk pelatihan secara gratis.

Namun, kalangan pekerja kepada BBC News Indonesia mengaku khawatir akan peraturan baru terkait pencairan JHT itu bagi masa depan mereka. Apalagi mereka juga mengaku belum ada sosialisasi soal program JKP yang disiapkan pemerintah.

Baca Juga: Pencairan Dana Jaminan Hari Tua Jadi Polemik, Kemnaker: JHT Program Jangka Panjang

Kalangan aktivis buruh memahami kekhawatiran ini dan memandangnya sebagai akumulasi dari situasi yang tidak mengenakkan dalam dua tahun terakhir, yaitu pandemi Covid dan dampak UU Cipta Kerja.

Isi peraturan harus diubah

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, menyarankan sebaiknya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 itu diubah.

"Jadi yang perlu diubah adalah ketika dia belum berusia 56 tahun tetapi dia terkena PHK bukan karena meninggal dunia atau karena cacat maka JHT sebaiknya tetap harus bisa diambil oleh pekerja," ujar Hadi.

Pengubahan aturan itu, menurutnya tidak akan merugikan pemerintah.

"Kalau tidak ada hidden agenda atau vested interest, tentu tidak ada masalah sama sekali kalau peraturan ini diubah. Tidak ada kerugian sama sekali dari pemerintah, tidak ada beban sama sekali dari pemerintah ketika permenaker ini diubah seperti permenaker sebelumnya,"

Hadi mengingatkan bahwa JHT ini pada hakikatnya tabungan milik pekerja. Ini sangat berguna bagi pekerja yang selama ini menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan saat belum berusia 56 tahun tetapi terkena PHK, baik karena perusahaan tutup atau karena pekerja itu melakukan kesalahan.

"Kan bisa jadi orang mengundurkan diri dari pekerjaannya sebelum usia 56 tahun tapi beralih menjadi wirausaha. Bagaimana mungkin JHT-nya tidak bisa dicairkan? Saya kira ini kebijakan yang otoriter," ujarnya.

Masih harus menunggu lama untuk cairkan JHT

Usulan pengubahan aturan itu pun didukung oleh Herry M (50) seorang pekerja di suatu pabrik di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Menurutnya, aturan itu harus dicabut karena dipandang merugikan.

Herry mengaku sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan selama 21 tahun dan enam tahun lagi memasuki masa pensiun.

Namun dia mengaku khawatir dengan kebijakan bahwa JHT di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan seluruhnya saat usia pensiun. Apalagi di tengah kondisi tidak menentu selama pandemi ini.

"Kalau saya bekerja sampai full umur 56 tahun, no problem bisa saya langsung cairkan. Yang jadi masalah, kalau tiba-tiba di tengah jalan kita kena rasionalisasi, entah pensiun dini atau PHK atau pensiun dini. Kalau itu terjadi, berarti saya harus menunggu selama enam tahun."

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Kemenaker, Indah Anggoro Putri, sebelumnya menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2022, manfaat JHT akan dibayarkan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun.

Manfaat JHT tetap dapat dinikmati peserta yang kena PHK, asalkan masa iurannya sudah mencapai 10 tahun. Adapun manfaat yang diberikan mencakup 30% dari JHT untuk kepemilikan rumah atau 10% untuk keperluan lain dalam bentuk tunai. Sisa manfaatnya diambil pada usia 56 tahun.

"Skema ini memberikan perlindungan agar hari tua nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau diambil semuanya kan, maka tujuan dari perlindungan JHT itu tidak tercapai, karena sebenarnya ini untuk hari tua pekerja atau buruh," ujar Indah dalam pernyataan berupa rekaman video.

Herry awalnya sempat berangan-angan bisa menarik semua dana JHT-nya untuk modal beternak di kampung halaman kalau dirinya terkena skema pensiun dini. Namun peraturan baru Menaker itu membuat dia kini hanya berharap bisa bekerja sampai pensiun.

"Enam tahun itu jarak yang lama menurut saya, kan butuh modal besar [untuk beternak]," ujar Herry.

Kekhawatiran juga dilontarkan Dewi (45), seorang pekerja kantor suatu perusahaan swasta di Jakarta Pusat.

"JHT ini manfaatnya kalau ada untuk keadaan mendesak. Jadi kalau kita kehilangan pekerjaan, itu sebenarnya kita bisa pakai. Tidak harus menunggu usia 56 tahun kita baru cairkan. Karena ini kan tabungan masa depan juga sebenarnya.

Tidak semua orang kalau kehilangan pekerjaan itu punya tabungan yang cukup. Apalagi kita tahu dengan situasi pandemi begini kan kita tidak tahu ya apakah pekerjaan kita akan masih stabil atau tidak," ujarnya.

Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) disiapkan, tapi belum ada sosialisasi

Indah Anggoro Putri, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Kemenaker, juga menyatakan bahwa pemerintah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan kepada pekerja yang mengalami PHK berupa manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.

"Manfaat JKP ini dapat diperoleh oleh mereka yang terkena PHK selama enam bulan dan peserta juga mendapatkan peluang selama usia produktifnya untuk mendapat kesempatan klaim manfaat JKP sebanyak tiga kali," ujarnya.

Namun, baik Herry maupun Dewi sebagai pekerja mengaku masih belum mengetahui apapun mengenai JKP ini.

"JKP itu pelaksanaannya seperti apa dulu. Kita tidak pernah dapat sosialisasi ada JKP seperti ini, atau seperti itu. Nanti kalau kita kehilangan pekerjaan mengurusnya seperti apa," ujar Dewi.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengritik program JKP ini. Menurutnya JKP yang diberikan pemerintah tentu sangat terbatas sekali.

"Jadi kalau ada buruh di-PHK itu hanya ditanggung (dicover) enam bulan ke depan. Yang ditanggung pun tidak penuh upah yang biasa diterima. Bisa kurang dari separuh, malah ketentuannya maksimal 40 persen. Jadi betapa minimnya JKP tersebut."

Menurutnya JKP, yang diregulasikan satu tahun yang lalu setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, lebih dilihat semacam pengaman sosial ketika waktu itu pemerintah mengeluarkan kebijakan mengurangi jumlah pesangon. "Tapi sekarang dikaitkan dengan JHT. Itu sangat tidak tepat," ujar Hadi.

Akumulasi kekecewaan pekerja

Sementara itu Emelia Yanti Siahaan selaku Sekjen Gabungan Serikat Buruh Indonesia, memahami suara-suara penolakan dari kalangan pekerja dan juga masyarakat.

Dalam pantauan BBC Indonesia dalam dua hari terakhir sudah lebih dari 300.000 warganet yang mendukung petisi online "bersama-sama untuk tolak dan #BatalkanPermenakerNomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua."

"Ini akumulasi dari situasi yang terjadi belakangan ini. Pandemi telah memerosotkan penghidupan kawan-kawan buruh. Lalu dalam dua tahun terakhir juga, untuk kenaikan upah mereka juga merasakan betul bagaimana dampak dari UU Cipta Kerja terhadap nilai kenaikan upah buruh," ujar Emelia.

Bagi dia, sangat wajar kalangan buruh berharap tabungan atau Jaminan Hari Tua yang sudah mereka bayarkan semasa bekerja selama belasan atau puluhan tahun dapat diakses dan dicairkan sewaktu-waktu, baik ketika kena PHK maupun ketika dihadapkan pada kebutuhan mendesak, Sebab, bagaimanapun itu adalah uang mereka.

"Lalu saat muncul Permenaker No.2 Tahun 2002 yang mengubah masa waktu pengambilan JHT, muncul respons dari kawan-kawan buruh: 'mengapa kami dibatasi untuk mengambil uang kami sendiri?'.

"Ini menunjukkan bahwa Permenaker ini atau pemerintah dalam membuat peraturan turunan dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional ini tidak memahami situasi yang dihadapi oleh kawan-kawan buruh," tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI