Suara.com - Beberapa waktu yang lalu sempat viral seorang pelanggan ojek online (ojol) yang memberi bintang satu kepada driver.
Alasan pelanggan tersebut memberi bintang satu karena dia tidak terima dipanggil 'Mbak' oleh drivernya.
"Don't call me 'mbak'. You are in Jakarta! Say it 'non' or 'kak' (Jangan panggil saya 'mbak'. Anda di Jakarta! Panggilnya 'non' atau 'kak')," tulis pelanggan itu dalam kolom penilaian di aplikasi.
Seorang pengguna media sosial Twitter @sefkelik yang juga aktif membahas nama bayi berbahasa Kawi di akun @astunamisae menuliskan sebuah utasan yang membahas makna kata 'Mbak'.
Dia menjelaskan makna sapaan kata 'Mbak' dari sudut pandang sejarah. Menurutnya, sewotnya sejumlah orang ketika dipanggil 'Mbak' karena merasa sapaan itu identik sebagai sapaan untuk pembantu.
Padahal makna sapaan kata 'Mbak' sejak Indonesia merdeka pernah menjadi suatu sapaan yang lentur dan mengarah ke egaliter.
Pada zaman Indonesia merdeka dalam kultur Jawa sapaan 'Mbak' dipakai untuk menunjukan rasa hormat kalangan bawah ke kalangan atas.
Begitu sebaliknya dari kalangan atas ke kalangan bawah. Sapaan 'Mbak' juga digunakan oleh kalangan orang yang memiliki kedudukan kurang lebih setara.
Sapaan 'Mbak' di masa pasca kolonial menjadi sapaan yang meleburkan polarisasi 'Nyonya' atau 'Nyah', 'Non', 'Ndoro', 'Den' atau 'Denayu' di satu sisi dengan 'Yu' hingga 'Babu' di pihak lain.
Baca Juga: Bahas Perayaan Hari Valentine, UAS: Itu Hari Zina Internasional
Makna Kata 'Mbak' dari Sisi Sejarah