Suara.com - Sebanyak 45 tokoh membuat petisi penolakan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Dukungan terhadap petisi tersebut pun hingga kini masih terus mengalir.
Merespons keberadaan petisi tersebut, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) memastikan akan menampung apapun masukan termasuk dari pihak yang menolak.
"Iya semua pandangan tentu dipertimbangkan, yang pro dan yang kontra," kata Tenaga Ahli Utama KSP Wandy Tuturoong saat dihubungi, Jumat (11/2/2022).
Wandy mengungkapkan, pemerintah terbuka untuk yang mendukung atau bahkan yang menolak.
Sejauh ini pemerintah juga menerima dukungan dari PBNU dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah terkait pemindahan IKN ke Kalimantan Timur.
"Termasuk pandangan PBNU yang mendukung pemindahan IKN dan bahkan sudah mulai membangun kantor di sana. Juga pandangan seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang bersikap sama," ujarnya.
Sebelumnya, sebanyak 45 tokoh itu resmi menolak adanya pemindahan IKN ke Kalimantan Timur. Salah satu tokoh yang menolak ialah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Maqoddas.
Busyro mengungkapkan kalau penolakan tersebut menjadi bagian dari sikap tegas berpihak kepada rakyat sebagai pemegang daulat.
"Saya satu komitmen nilai dengan mereka untuk tegas bersikap yang memihak rakyat sebagai pemegang daulat yang dihinakan dalam proses-proses politik pengesahan Undang-Undang IKN,” kata Busyro.
Baca Juga: Viral! Muncul Petisi Hentikan Pertambangan Desa Wadas, Sudah Ditandatangani 24 Ribu Orang
Melansir dari terkini.id-jaringan Suara.com, petisi penolakan pemindahan dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur makin banyak ditandatangani. Petisi yang digalang Narasi Institute melalui situs charge.org ditujukan pada Presiden Jokowi, DPR, DPD dan MK.
Berjudul ‘Pak Presiden, 2022-2024 bukan waktunya memindahkan Ibu Kota Negara‘.
Kami, para inisiator mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk mendukung ajakan agar Presiden menghentikan rencana pemindahan dan pembangunan Ibu kota Negara di Kalimantan.
Memindahkan Ibu kota Negara (IKN) di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak tepat.
Apalagi kondisi rakyat dalam keadaan sulit secara ekonomi sehingga tak ada urgensi bagi pemerintah memindahkan ibu kota negara.
Terlebih, saat ini pemerintah harus fokus menangani varian baru omicron yang membutuhkan dana besar dari APBN dan PEN.
Pembangunan Ibu Kota Negara di saat seperti ini hendaknya dipertimbangkan dengan baik, saat ini Indonesia memiliki utang luar negeri yang besar, defisit APBN besar diatas 3 persen dan pendapatan negara yang turun.
Adalah sangat bijak bila Presiden tidak memaksakan keuangan negara untuk membiayai proyek tersebut. Sementara infrastruktur dasar lainnya di beberapa daerah masih buruk, sekolah rusak terlantar dan beberapa jembatan desa terabaikan tidak terpelihara.
Proyek pemindahan dan pembangunan ibu kota negara baru tidak akan memberi manfaat bagi rakyat secara keseluruhan dan hanya menguntungkan segelintir orang saja.
Karena itu, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta merupakan bentuk kebijakan yang tidak berpihak secara publik secara luas melainkan hanya kepada penyelenggara proyek pembangunan tersebut.
Penyusunan naskah akademik tentang pembangunan Ibu Kota Negara Baru tidak disusun secara komprehensif dan partisipatif terutama dampak lingkungan dan daya dukung pembiayaan serta keadaan geologi dan situasi geostrategis di tengah pandemi.
Lokasi yang dipilih berpotensi menghapus pertanggungjawaban kerusakan yang disebabkan para pengelola tambang batubara. Tercatat ada sebanyak 73.584 hektare konsesi tambang batu bara di wilayah IKN yang harus dipertanggungjawabkan.
Pertanyaan besar publik adalah benarkah kepentingan pemindahan ibukota baru adalah untuk kepentingan publik.
Kami memandang saat ini bukanlah waktu yang tepat memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Pasir Utara Kalimantan Timur.
Kami mengajak segenap anak bangsa yang peduli akan masa depan Bangsa dan Kedaulatan Bangsa untuk menandatangani di change.org
Selain Mantan Ketua KPK juga ada Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono yang juga mendukung petisi tersebut.
Lalu ada Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin hingga ekonom senior, Faisal Basri.