Suara.com - Menkopolhukam Mahfud MD Mahfud mengatakan apa yang terjadi di Desa Wadas, Jawa Tengah adalah gesekan antara warga yang setuju dan menolak pembangunan proyek pertambangan dan bukan gesekan dengan aparat.
Sementara lembaga lingkungan hidup Walhi mengatakan pengerahan aparat di desa itu terhadap warga yang menolak penambangan batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener, adalah tindakan "membabi buta" dan merupakan bentuk "penyelewengan".
Mahfud MD Mahfud juga mengatakan proyek itu sudah lama berkekuatan hukum tetap dengan ditolaknya gugatan warga, dan pengukuran tanah akan tetap dilanjutkan. Kejadian di desa itu sempat menyebabkan 64 orang ditahan namun mereka telah dipulangkan.
"Gesekan itu hanya ekses dari kerumunan warga masyarakat sendiri yang terlibat pro kontra atas rencana pembangunan dan Polri hanya melakukan langkah pengamanan di dalam gesekan antar warga itu," kata Mahfud.
Baca Juga: Konflik di Desa Wadas Menguras Energi, Seberapa Penting Proyek Bendungan Bener di Purworejo?
Sementara Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2018 Tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional kerap dijadikan alasan atas pengerahan aparat, sekaligus pembungkaman atas suara kritis warga yang menolak.
"Faktanya, di pembangunan proyek strategis nasional polisi selalu mengerahkan kekuatan berlebihan di lapangan untuk menghadapi masyarakat, terutama yang menolak," kata Satrio kepada BBC News Indonesia, Rabu (9/2).
Walhi, yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia, juga menuturkan pengerahan aparat seperti ini juga terjadi pada proyek strategis nasional lainnya seperti pembangunan Bandara Kulonprogo, Bandara Kertajati, dan Bandara Kualanamu.
Baca juga:
- Petani 75 tahun divonis bersalah usai tebang pohon jati yang ditanam sendiri, mengapa konflik agraria sasar 'orang-orang kecil'?
- Mengapa konflik agraria terus terjadi meski pemerintah klaim mereformasi sektor pertanahan?
Perwakilan Solidaritas untuk Wadas, Heronimus Hemon, mengatakan tindakan represif polisi terhadap masyarakat Wadas dilakukan "secara terencana".
Baca Juga: Legislator DPR: Aksi Represif Polisi Di Desa Wadas Cuma Bikin Warga Trauma
Sejak Senin lalu, terjadi pemadaman listrik, pengepungan, penangkapan 64 warga, hingga razia terhadap ponsel warga.
Sementara itu, Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi mengklaim bahwa 64 warga Desa Wadas bukan ditangkap, melainkan "diamankan karena terjadi kontak antara warga yang setuju dan yang menolak penambangan".
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan ke-64 warga itu telah dipulangkan. Tetapi, Mahfud menegaskan bahwa proses pengukuran lahan akan tetap dilanjutkan.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga telah meminta maaf kepada masyarakat Wadas atas peristiwa yang terjadi beberapa hari belakangan.
Sedangkan Komnas HAM mendesak pemerintah mengedepankan upaya dialog dalam menghadapi penolakan warga.
Apa pentingnya proyek Bendungan Bener dan mengapa warga menolaknya?
Proyek Bendungan Bener yang berlokasi di Purworejo, Jawa Tengah dimulai sejak 2013 dan akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia.
Dikutip dari situs resmi Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, pembangunan bendungan ini akan mengaliri 15.519 hektare lahan dan menjadi sumber pemenuhan air baku bagi masyarakat di Purworejo dan Kulonprogo.
Selain itu, Bendungan Bener akan menjadi pembangkit listrik di Kabupaten Purworejo dengan daya sekitar 6 Mega Watt.
Bendungan ini juga diklaim akan mengurangi potensi banjir di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kulonprogo dengan nilai reduksi banjir 8,73 meter kubik. Pemerintah juga mengklaim bendungan ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar melalui pengembangan pariwisatanya.
Material batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan bendungan itu rencananya akan diambil dari perut bukit di Desa Wadas. Pertambangan batu andesit ini lah yang kemudian ditolak oleh sebagian warga.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan setidaknya ada 617 bidang lahan yang hendak dibebaskan atau dibeli negara dalam proyek strategis nasional itu.
Pemilik dari 346 bidang lahan di antaranya sudah setuju untuk menjual tanahnya ke pemerintah, sedangkan 113 menolak, dan sisanya belum memutuskan.
"Makanya kami akan membuka lebar ruang dialog dan kami libatkan Komnas HAM sebagai pihak netral dalam kasus ini," ujar Ganjar melalui konferensi pers.
BBC Indonesia belum berhasil menghubungi warga Desa Wadas yang menolak proyek ini. Tetapi melalui akun Instagram @wadas_melawan, mereka menyebutkan bahwa pertambangan batu andesit akan mematikan mata pencaharian warga lokal yang sebagian besar merupakan petani.
Pertambangan itu juga dikhawatirkan berdampak buruk pada lingkungan, serta dapat memicu longsor karena lokasi pertambangan merupakan area penyangga kawasan Bukit Menoreh yang rawan longsor.
Warga sempat menggugat hal ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada tahun lalu, tetapi gugatan ditolak. Warga juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) tetapi lagi-lagi ditolak.
'Warga dikepung dan ditangkap'
Perwakilan Solidaritas untuk Wadas Heronimus Heron mengatakan "ribuan aparat kepolisian" telah mencoba masuk ke Desa Wadas sejak Senin (7/2). Listrik di Desa Wadas juga padam pada malam itu, sedangkan desa-desa lainnya
Kemudian pada 8 Februari 2022 sekitar pukul 07:00 pagi, seorang warga ditangkap saat sarapan sebelum pergi ke Kota Purworejo. Istri dari warga tersebut berhasil lolos dan bisa kembali ke desa.
Setelah itu, polisi bersenjata lengkap masuk ke wilayah Desa Wadas dan mencopot poster-poster penolakan warga terhadap pertambangan.
Sekitar pukul 12 siang, Heron mengatakan polisi mengepung warga yang sedang melaksanakan mujahadah di masjid di Dusun Krajan.
"Polisi juga mendatangi ibu-ibu yang sedang membuat besek di posko-posko jaga dan merampas besek, pisau, dan peralatan untuk membuat besek," tutur dia.
Polisi disebut "meneror" dan menangkap lebih dari 60 orang dengan alasan yang tidak jelas. Polisi sempat menuduh warga yang ditangkap membawa senjata tajam.
"Padahal mereka masuk ke rumah warga, mengambil alat-alat pertanian warga seperti parang. Jadi tuduhan polisi soal senjata tajam itu tidak berdasar," ujar Heron.
Menurut Heron, ini bukan kali pertama warga yang menolak pertambangan diintimidasi oleh polisi. Peristiwa serupa juga pernah terjadi pada 23 April 2021.
Dalam kesempatan yang sama, anggota bidang advokasi Walhi Yogyakarta, Adi, mengatakan polisi masih bersiaga di Desa Wadas hingga Rabu pagi, bahkan ada informasi yang menyebutkan ada razia terhadap ponsel warga.
Situasi bertindakan represif itu membuat "warga trauma" dan dianggap menutup ruang aspirasi warga yang menolak pertambangan.
"Mereka sama sekali tidak mendengarkan aspirasi warga yang menolak penambangan di Desa Wadas. Warga tidak merasa aman bahkan di rumahnya sendiri, itu menjadi pertanyaan, polisi itu berpihak ke siapa?" kata Adi.
Secara terpisah, Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi membantah tuduhan-tuduhan atas tindakan represif anggotanya.
Menurut Luthfi, ada 250 personil yang dikerahkan ke Desa Wadas tapi dengan tujuan mendampingi petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengukur lahan warga yang telah setuju membebaskan tanahnya.
"Tidak ada ribuan polisi, hanya 250 personil yang diterjunkan untuk mendampingi 10 tim dari BPN," ujar Luthfi.
Dia juga membantah ada pengepungan warga di masjid dan yang dilakukan oleh anak buahnya adalah 'mengamankan situasi'.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga mengklaim bahwa pengukuran hanya dilakukan pada lahan warga yang setuju dan pihaknya telah membuka ruang untuk dialog bagi warga yang menolak.
"Kami tidak akan masuk kepada mereka yang belum sepakat, untuk menghormati mereka dengan sikapnya. Itu lah kenapa kami sangat prudent. Itu lah kenapa kami sangat hati-hati," kata Ganjar.
Pengukuran lahan tetap berlanjut
Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan penolakan sebagian warga terkait proyek Bendungan Bener tidak berpengaruh secara hukum terhadap status proyek itu, sebab gugatan warga telah ditolak di PTUN hingga pada putusan kasasi di tingkat Mahkamah Agung.
"Artinya program pemerintah sudah benar sehingga kasusnya sudah lama inkarah atau berkekuatan hukum tetap," kata Mahfud melalui konferensi pers, Rabu (09/02).
Selain itu, dia mengklaim dokumen terkait analisis dampak lingkungan (amdal) dari proyek ini juga tidak bermasalah. Oleh sebab itu, pemerintah akan melanjutkan pengukuran tanah di lokasi.
"Kegiatan pengukuran tanah oleh petugas Kanwil Jawa Tengah akan tetap dilanjutkan dengan pendampingan, pengamanan terukur melalui pendekatan persuasif dan dialogis," ucap dia.
'Penyelewengan dan pembungkaman'
Satrio Manggala dari Walhi berpendapat bahwa status Proyek Strategis Nasional pada Bendungan Bener menjadi dalih atas pengerahan aparat yang berujung pada tindakan represif, serta 'membungkam suara kritis warga yang menolak'.
"Mereka menggunakan status PSN ini sebagai cover saja atas tindakan kekerasan mereka, sebagai pembenar saja," kata Satrio.
Padahal, Peraturan Presiden Nomor 109/2018 itu tidak melegitimasi keterlibatan aparat pada proyek-proyek strategis nasional.
"Itu menyelewengkan posisi Perpres itu sendiri, padahal tidak ada pasal yang menyebutkan eksplisit dan implisit bahwa polisi bisa dapet mengerahkan kekuatan berlebihan," ujar dia.
Menurut Walhi, kejadian serupa juga terjadi pada sejumlah proyek strategis nasional lainnya seperti Bandara Kulonprogo, Bandara Kertajati, serta Bandara Kualanamu.
"Pada beberapa kasus akhirnya menimbulkan ketakutan dan trauma tersendiri di masyarakat. Mereka yang tadinya bersuara, memberontak atas ketidakadilan melalui kanal yang dijamin Undang-Undang akhirnya pasrah, berharap pada siapa lagi di Indonesia?" kata Satrio.
Alih-alih mencapai tujuan pemerataan infrastruktur, Satrio mengatakan proyek strategis nasional justru menimbulkan konflik dan persoalan baru.
Menurut catatan Walhi hingga 2021, sebanyak 13% dari 60 konflik lingkungan hidup terjadi pada proyek strategis nasional.
Berpotensi melanggar HAM
Sosiolog dari PMB-BRIN, Henny Warsilah mengatakan tindakan polisi yang represif dan sempat sampai menangkap puluhan warga berpotensi melanggar HAM.
Penolakan masyarakat, kata dia, semestinya tidak direspons dengan pendekatan keamanan. Penolakan warga juga bisa dimaklumi mengingat lahan yang terdampak adalah sumber penghidupan mereka.
"Masyarakat tidak melakukan apa-apa, cuma protes, itu hal yang wajar. Kalau Pak Ganjar bilang itu mengukur tanah, tidak perlu mengerahkan ratusan aparat," kata Henny.
"Ini membuat masyarakat shock, makin mengental penolakannya, makin tidak percaya dengan pemerintah," lanjut dia.
Alih-alih menggunakan tindakan represif, Henny meminta pemerintah menggunakan pendekatan dialog, dengan bahasa yang disesuaikan dengan budaya setempat.
Selain itu, pemerintah juga seharusnya tidak hanya memikirkan sebatas ganti rugi atas pembebasan lahan, namun menjamin keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat.