Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) memperingati 33 tahun Peristiwa Talangsari yang terjadi pada 7 Februari 1989.
Dalam peringatan tersebut, KontraS mendesak pemerintah untuk melibatkan korban atau keluarga korban menyelesaikan peradilan atas tragedi tersebut. Puluhan tahun berlalu korban tak kunjung mendapatkan keadilan.
“Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat yang menjadikan Talangsari sebagai area fokus dari penerapan pemulihan versi pemerintah kini di ambang masa purna tugas,” tulis KontraS dalam keterangannya pada Rabu (9/2/2022).
Bagi KontraS, menyoroti hal itu menjadi sangat masuk akal setelah serangkaian kontroversi hingga maladministrasi yang ditemukan Ombudsman RI.
Baca Juga: Tolak Umrah dari Pemerintah, Keluarga Korban Talangsari: Umrah Bukan Hadiah Negara
“Dalam pelaksanaannya, tim ini tercatat sering tidak mengindahkan ketentuan peraturan serta suara publik utamanya para korban,” kata KontraS.
Hal itu disebut sama nasibnya dengan Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Melalui Mekanisme Non-Yudisial (UKP-PPHB) yang tidak jadi disahkan sebab intensi, proses dan muatannya begitu buruk sehingga ditolak oleh banyak pihak.
KontraS bersama PK2TL melakukan pertemuan pada Senin (7/2/2022) lalu, dengan Rudy Syamsir (Asisten Deputi Koordinasi Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam) dan Mualimin Abdi (Direktur Jenderal HAM Kemenkumham).
“Tercetus bahwa sudah ada proses serius penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR),” ungkap KontraS.
Adanya Komisi pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia dianggap penting. Namun, harus diawasi betul seperti apa tujuan, cara kerja dan prinsip dari Komisi pengungkapan kebenaran yang akan dibentuk tersebut.
Baca Juga: Kejagung Tak akan Periksa Hendropriyono Terkait Kasus Talangsari
“KontraS dan PK2TL berpendapat ada upaya yang sama buruknya dengan tidak dilibatkannya suara korban dan publik dalam penyusunannya,” kata KontraS.
Hal itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 88, 89, 96 jo. Perpres No. 87/2014 Pasal 171, 175 menyebutkan, penyebarluasan RUU yang berasal dari Presiden wajib dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa (dalam hal ini Kemenkumham).
“Pada setiap tahap dimulai sejak penyusunan RUU dengan tujuan untuk memberikan informasi dan memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan (dalam hal ini korban),” jelas KontraS.
Atas rangkaian itu, Kontras mendesak pemerintah untuk mendengarkan suara korban, serta menjalankan sejumlah rekomendasinya.
Pertama, agar Menkopolhukam berhenti melempar tanggung jawab kepada legislatif dan Jaksa Agung segera lanjutkan proses hukum Talangsari 1989.
Kedua, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, serta lembaga Negara terkait agar melibatkan korban dalam setiap tahap bahkan sejak awal penyusunan kebijakan pengungkapan kebenaran dan pemulihan.