Suara.com - Organisasi hak asasi manusia internasional menyebut pihak berwenang Bahrain telah menahan enam anak laki-laki - berusia 14 dan 15 tahun - selama berminggu-minggu.
Human Rights Watch (HRW) mengatakan Selasa (08/02), anak lelaki itu ditahan di sebuah fasilitas yang digambarkan sebagai panti asuhan.
Pihak berwenang tidak memberikan alasan tertulis kepada keluarga terkait penahanan itu dan telah menolak permintaan orang tua untuk hadir selama interogasi hingga mengunjungi anak mereka.
HRW mengatakan, berdasarkan keterangan penuntut umum, anak-anak ditahan karena dituduh melemparkan bom molotov yang merusak mobil di dekat kantor polisi.
Baca Juga: Di Dalam Penjara, Anak Shah Rukh Khan Gelisah dan Tak Doyan Makan
Kekerasan terhadap anak-anak pernah diungkap tahun lalu oleh investigasi Aljazeera, sekitar 607 anak-anak mengalami kekerasan fisik saat ditahan di penjara Bahrain sepanjang satu dekade terakhir.
Baca juga:
- Anak-Anak ISIS: ‘Ini adalah bencana yang tak bisa kita tangani’
- Kisah tragis anak-anak yang terbunuh dalam konflik Palestina-Israel: "Mereka sudah sangat menderita"
- Kasus dugaan perkosaan anak di Padang: 'Bukti upaya pencegahan kekerasan anak terlupakan' selama pandemi
Temuan ini terungkap setelah bocornya laporan pengadilan dan kesaksian anak-anak yang menyebut diancam dan dianiaya secara fisik selama interogasi, tanpa ada pendampingan orang tua dan pengacara.
Tahun lalu, pasukan keamanan Bahrain dituding memukul dan mengancam anak-anak dengan pemerkosaan dan sengatan listrik pascaprotes peringatan aksi pro-demokrasi 2011, kata kelompok hak asasi, seperti dikutip dari Reuters.
Mengapa anak-anak itu ditahan?
Dalam laporan HRW, enam anak laki-laki yang berasal dari daerah Sitra, Bahrain ditahan atas perintah kejaksaan di Fasilitas Beit Batelco, distrik Seef.
Baca Juga: Ayah di Penjara, Anak Nindy Ayunda Bingung saat Ditanya Temannya
Fasilitas itu dalam situs pemerintah digambarkan sebagai "lembaga … untuk anak-anak dari orang tua yang tidak diketahui, yatim piatu dan anak-anak dari keluarga berantakan sampai usia 15 tahun."
Anak-anak, dari tiga keluarga, pertama kali dipanggil oleh jaksa penuntut umum untuk diinterogasi pada Juni 2021.
Beberapa diinterogasi setidaknya delapan kali, dan pernah ditahan semalaman di kantor polisi, sebelum ditangkap pada 27 Desember 2021 dan 9 Januari 2022, kata orang tua dari dua keluarga.
"Saya tidak pernah diizinkan untuk hadir dalam interogasi. Mereka bilang saya perlu izin dari jaksa. Kami bahkan tidak tahu apa [dugaan] kejahatan itu," kata salah satu ayah dari anak tersebut.
"Pertama tentang membakar ban, kemudian menyerang kantor polisi, dan kemudian melemparkan bom molotov." Sang ayah kemudian berkata ke direktur kantor polisi Sitra, "'Ini adalah anak-anak, jangan hancurkan masa depan mereka,' tetapi direktur itu berkata, 'Anakmu adalah perusak."
Ayah lain mengatakan, anak mereka hanya diizinkan melakukan satu panggilan telepon [per minggu], dan tidak memberinya kunjungan [keluarga]. Secara efektif dia seorang tahanan, pintu tertutup untuknya."
Sebuah pernyataan oleh kantor kejaksaan umum menuduh anak-anak itu melemparkan bom molotov yang merusak mobil di dekat kantor polisi.
Undang-undang yang memperbolehkan
Undang-undang Keadilan Restoratif untuk Anak-anak Bahrain 2021 menetapkan usia minimum pidana berumur 15 tahun, tetapi mengizinkan pihak berwenang untuk "menempatkan anak (di bawah usia itu) di lembaga kesejahteraan sosial" untuk periode mingguan yang dapat diperbarui "jika keadaan mengharuskan."
"Tahun lalu Bahrain menggembar-gemborkan reformasi hukum untuk anak-anak, tetapi mengurung anak-anak di panti asuhan alih-alih penjara bukanlah perbaikan, ketika penahanan mereka sewenang-wenang sejak awal," kata Bill Van Esveld, direktur asosiasi hak anak di Human Rights Watch .
"Perlakuan terhadap anak laki-laki ini adalah ujian bagi Bahrain terhadap penghormatan hak-hak anak, dan sejauh ini pihak berwenang gagal."
Esveld meminta Bahrain untuk merevisi aturan tersebut karena hukum internasional melarang penahanan anak-anak kecuali jika diperlukan sebagai upaya terakhir dan dalam jangka waktu terpendek yang sesuai, dan juga bertentangan dengan pedoman dari UNICEF agar pemerintah memberlakukan moratorium penahanan anak-anak selama pandemi Covid-19.
"Kenyataannya adalah jika pemerintah Bahrain tidak menyukai anak-anak Anda, mereka dapat dibawa pergi dan dikurung dan Anda bahkan tidak akan diberi tahu alasannya," kata Sayed Ahmed Alwadaei, direktur advokasi di Institut Hak dan Demokrasi Bahrain.
Satu dekade terakhir, 607 anak-anak mengalami kekerasan
Investigasi Aljazeera tahun lalu mengungkapkan, sepanjang satu dekade terakhir, terdapat sekitar 607 anak-anak menagalmi kekerasan fisik saat ditahan.
Seorang sumber di kantor kejaksaan mengatakan bahwa ada lebih dari 150 anak yang saat ini (tahun 2021) ditahan di fasilitas penjara Bahrain.
Seorang anak muda berusia 16 tahun yang ditahan mengungkapkan, di dalam sel isolasi, mereka dirantai ke tempat tidur atau kedua tangan dan kaki mereka diborgol.
"Mereka sering tidak bisa mandi atau berganti pakaian," kata tahanan dalam rekaman tersebut.
- Memviralkan video kekerasan anak: Apa dampaknya bagi korban?
- Kisah narapidana perempuan membesarkan anak di dalam penjara: 'Masa anak disia-siakan?'
- Potret kehidupan narapidana perempuan membesarkan anaknya di dalam penjara
Kementerian Dalam Negeri Bahrain mengatakan tidak ada anak yang dipenjara di Bahrain. Namun, mengakui beberapa tahanan berusia antara 15-18 tahun menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus.
Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi di Bahrain tahun 2021, di mana pasukan keamanan memukul dan mengancam mereka dengan pemerkosaan dan sengatan listrik usai menghadiri peringatan aksi pro-demokrasi 2011, kata kelompok hak asasi, dikutip dari Reuters.
Seorang perwakilan pemerintah tidak mengomentari secara spesifik tuduhan itu tetapi mengatakan kepada Reuters dalam sebuah pernyataan bahwa Bahrain mengambil perlindungan hak asasi manusia "sangat serius" dan memiliki "kebijakan tanpa toleransi" atas perlakuan buruk dalam sistem peradilan.