Dukung Masuknya Dana Bantuan Dalam RUU TPKS, IJCR: Untuk Pemulihan Korban Kekerasan Seksual

Senin, 07 Februari 2022 | 23:17 WIB
Dukung Masuknya Dana Bantuan Dalam RUU TPKS, IJCR: Untuk Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Ilustrasi kekerasan seksual. [Suarajogja.id/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mendukung masuknya victim trust fund atau Dana Bantuan Korban dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan, pihaknya mendukung pemerintah dan DPR untuk memperkenalkan mekanisme ini dalam RUU TPKS. Agar kedepan mekanismenya dapat diatur dalam bentuk peraturan yang lebih teknis di bawah undang-undang.

"Negara harus menghadirkan skema revolusioner untuk memberikan pemulihan bagi korban kekerasan seksual," ujar Maidina dalam keterangannya yang diterima Suara.com, Senin (7/2/2022).

Maidina menuturkan skema dana bantuan korban, merupakan dana yang diterima negara dari penerimaan bukan pajak serta sanksi pidana finansial untuk diolah diberikan demi program pemenuhan hak korban.

Baca Juga: Pemahaman Perspektif Gender di RUU TPKS Harus Ubah Perspektif Masyarakat

Skema tersebut, kata dia, adalah skema khusus yang bukan menyerap APBN. Namun, menuntut peran negara mengelola penerimaan bukan pajaknya untuk korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual.

"Hal ini menjadi penting, karena skema ganti kerugian bagi korban serta pemberian layanan bagi korban harus dikembangkan ke arah yang lebih baik," ucap dia.

Maidina memaparkan berdasarkan laporan LPSK, sepanjang 2020, penilaian restitusi yang dilakukan oleh LPSK berada di angka sekitar Rp 7 miliar. Sedangkan angka yang dikabulkan oleh putusan pengadilan hanya Rp 1,3 miliar.

"Yang lebih memprihatinkan, pencapaian eksekusi restitusi untuk korban malah kurang dari 10 persen dari yang dijatuhkan pengadilan, yaitu hanya di angka sekitar Rp 101 juta," ucap Maidina.

Karena itu, kata dia, efektivitas restitusi menimbulkan beberapa catatan. Salah satunya karena sulitnya merampas aset pelaku untuk pembayaran restitusi sampai dengan keterbatasan harta yang dapat dirampas dari pelaku untuk ganti kerugian korban.

Baca Juga: Mensos Risma Kecam Pelaku Kekerasan Seksual di Sidoarjo, Minta Hukuman Berat untuk Predator Anak

Maidina memaparkan sebagai catatan, mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban.

Dengan dinamika ini, maka restitusi yang dibebankan kepada pelaku pada beberapa kasus juga akan memberikan beban pada korban secara finansial. Termasuk juga dengan adanya kemungkinan pelaku berasal dari kelompok ekonomi rentan.

"Pembiayaan layanan dan pemulihan korban jelas perlu dikembangkan. Negara harus memikirkan cara untuk menghasilkan pengelolaan dana untuk pemulihan korban secara lebih kreatif dan tidak membebani APBN," lanjut Maidina.

Selain itu, Maidina menuturkan data dari penelitian PPH Unika Atma Jaya 2020 lalu terkait "Analisis Biaya dan Dampak Kekerasan terhadap Perempuan di Enam Kota/Kabupaten Indonesia, yaitu Kabupaten Bener Meriah, Kota Batam, Kota Surakarta, Kabupaten Maros, Kota Ambon, dan Kabupaten Belu", alokasi program penanganan kekerasan terhadap perempuan oleh Pemerintah Daerah di semua lokasi di dalam studi tersebut berada di angka Rp 86.000 sampai dengan Rp 223.000 per korban dalam satu tahun untuk pemberian layanan di sektor hukum, kesehatan, dan sosial.

Kebutuhan biaya tersebut, kata dia, jelas akan memakan alokasi APBN/APBD cukup banyak.

"Angka ini memang membebani pemerintah, namun jika dibandingkan penerimaan negara total, maka seharusnya alokasi penanganan korban dapat ditingkatkan," kata Maidina.

Lanjut Maidina, berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 2021 mencapai Rp 452 triliun atau 151,6 persen dari target APBN 2021 sebesar Rp 298,2 triliun. Hal ini peluang besar untuk menyediakan skema bantuan korban.

Skema dana bantuan korban tersebut dapat diperoleh dari penerimaan negara bukan pajak, kemudian diolah untuk memberikan layanan dan pemulihan baik korban.

Dana ini bisa didistribusikan kepada LPSK atau pun lembaga-lembaga layanan sampai ke tingkat daerah di UPTD pemerintah daerah.

"Dana ini juga bisa diberikan kepada korban untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan atau kerugian yang ditimbulkan. Termasuk dana ini bisa digunakan untuk membayar kompensasi kepada korban," ungkap Maidina.

Lebih lanjut, ia menjelaskan skema tersebut sudah banyak diperkenalkan di berbagai negara dan mekanisme internasional.

Paling dikenal, kata Maidina, misalnya pengaturan dalam Pasal 79 ayat 2 Statuta Roma disebutkan bahwa International Criminal Court (ICC) dapat memerintahkan uang dan kekayaan lain yang terkumpul lewat denda atau penebusan untuk ditransfer kepada Trust Fund.

Sehingga, trust fund untuk korban merupakan sebuah lembaga yang mencari, mengelola, dan menyalurkan Dana Perwalian untuk Korban.

"Skema Dana Perwalian ini sendiri di Indonesia telah dikenal mengenai skema Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian, namun, pengaturannya tidak spesifik dan belum berkaitan dengan skema pemulihan korban yang diatur dalam berbagai undang-undang," papar Maidina.

Lebih lanjut, Maidina menuturkan pembahasan RUU TPKS harus bertujuan utama untuk memberikan penguatan hak yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual.

Hak korban tersebut harus tersedia mulai dari aspek prosedural, hak layanan kesehatan sampai dengan pemulihan pada tingkat yang paling optimal.

"Dengan komprehensifnya hak korban kekerasan seksual hingga aspek pemulihan, maka negara harus menyediakan mekanisme khusus untuk pemenuhan hak korban," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI