Suara.com - Setelah menimbulkan polemik tajam di masyarakat, pengelola Museum Holokos (holocaust) di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, akhirnya bertemu dengan pimpinan MUI setempat, Kamis (3/2/2022).
Dalam pertemuan itu, perwakilan komunitas Yahudi di kota itu menegaskan bahwa museum tersebut dibangun bukan didasari untuk mengampanyekan normalisasi hubungan diplomasi Indonesia-Israel.
Mereka menyatakan, pendirian museum itu semata sebagai pengingat agar genosida terhadap orang-orang Yahudi pada Perang Dunia Kedua —yang diawali rasisme dan kebencian — tidak terulang kembali terhadap etnis atau penganut agama apapun.
Sebelumnya, sejumlah pimpinan MUI pusat menolak keberadaannya dan menuntut agar museum itu dibongkar.
Baca Juga: Tekad Warga Tionghoa, Bebaskan Sam Poo Kong dari Cengkraman Orang Yahudi
MUI Pusat menuduh keberadaan museum itu dilatari motif politik luar negeri Israel yang akan merugikan masa depan bangsa Palestina.
Adapun para pegiat dialog antaragama mengusulkan agar semakin banyak dibuka ruang perjumpaan atau dialog antarumat beragama, sehingga kecurigaan di antara mereka dapat dikurangi.
Mengapa mendirikan Museum Holokos?
Museum Holokos di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, yang diresmikan pekan lalu, dihadiri para pejabat setempat dan duta besar Jerman untuk Indonesia.
Selain di Israel, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa, museum holokos di Asia hanya ada di Hong Kong.
Baca Juga: Uni Emirat Arab Tangkal Rudal Houthi Saat Kunjungan Presiden Israel
Di Tondano, Minahasa, bangunan Museum Holokos terletak di dalam kompleks Sinagoga Shaar Hashamayim yang lebih dulu berdiri di sana.
Sejak berdiri pada 2004 lalu, sinagoga ini dilaporkan dapat diterima oleh masyarakat setempat yang mayoritas beragama Kristen.
Walau ada sentimen anti-Yahudi di tempat lain di Indonesia, hal itu tidak berdampak pada kehidupan komunitas Yahudi di Sulawesi Utara.
"Saya ingin mengedukasi masyarakat Indonesia tentang bahayanya rasialisme dan kebencian," kata pemimpin sinagog dan pengelola museum holokos, Rabi Yakoov Baruch, kepada BBC News Indonesia, Kamis (03/02) petang.
"Kalau kita tidak memerangi rasialisme dan kebencian sejak dini, dan itu bisa terlambat, maka peristiwa seperti holokos akan menjadi pelajaran buat kita," tambahnya.
"Bukan untuk hanya genosida terhadap bangsa Yahudi saja, tapi terhadap suku etnis manapun. Itu tidak bisa dibenarkan," tegasnya
Sampai sejauh ini tidak ada penolakan dari masyarakat setempat, namun suara-suara keras justru muncul dari Jakarta, ketika sejumlah pimpinan Majelis Ulama Indonesia, MUI, menolak keberadaannya.
'Museum Holokos bukan kampanyekan normalisasi hubungan RI-Israel'
Dan Kamis (03/02) kemarin, pimpinan MUI Sulawesi Utara perlu mendatangi museum itu dan berdialog dengan pengelolanya, kata Yakoov.
Di hadapan mereka, Yakoov Baruch, menegaskan pendirian museum itu tidak didasari niat untuk mengampanyekan upaya normalisasi hubungan diplomasi Indonesia-Israel.
"Saya menjelaskan kembali sikap Yahudi Indonesia mendukung keputusan pemerintah Indonesia, yang sampai saat ini mempunyai sikap terhadap konflik Israel-Palestina itu seperti apa, kita tahu. Kami mendukung sepenuhnya," kata Yakoov kepada BBC News Indonesia, Kamis (03/02) petang.
Keberadaan Museum Holokos itu, jelas Yakoov, tidak mendapat bantuan pihak asing dalam bentuk "uang atau apa pun".
Pembangunan museum itu disebutnya "murni dari hasil keringat kami."
"Kami hanya dibantu diberi gambar [foto], karena kami tidak memiliki sumber untuk membuat gambar," ungkapnya di hadapan perwakilan MUI Sulut.
Yakoov juga menegaskan, pihaknya "tidak mengendorse negara asing atau untuk kepentingan asing".
"Semuanya dalam bingkai NKRI, di mana Konstitusi kita menentang segala bentuk penjajahan, termasuk kita belajar dari penjajahan Nazi di Eropa," jelasnya.
'Menambah koleksi artefak holokos'
Saat diresmikan pada Kamis, 27 Januari 2022, museum seluas enam kali empat meter itu menampilkan foto-foto terkait genosida atas orang-orang Yahudi di Eropa oleh Nazi Jerman.
Koleksi foto-foto ini diakui oleh pengelola museum di Minahasa dipinjam dari Museum Genosida di Yerusalem, Israel.
"Karena museum genosida di AS dan Eropa tidak mau meminjamkannya," akunya.
Ke depan, pengelola museum juga berencana akan menambah koleksi dengan berbagai artefak holokos yang diperoleh dari perorangan atau komunitas.
Ini artinya keberadaan museum itu akan terus berlanjut, dan jelas bertolak belakang dengan keinginan sejumlah pimpinan Majelis Ulama Indonesia, MUI, pusat, yang menuntut agar Museum Holokos dirobohkan.
Apa alasan penolakan MUI atas Museum Holokos?
Kepada BBC News Indonesia, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI pusat, Muhyiddin Junaidi, mengatakan pihaknya menganggap keberadaan Museum Holokos dI Minahasa itu tidak ada urgensinya.
"Sudah jelas data pendukung di lapangan menunjukkan tidak ada keluarga Yahudi di Indonesia yang jumlahnya signifikan," kata Muhyidin.
Dia juga menganggap pembangunan museum ini merupakan "pintu masuk" untuk mengampanyekan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.
"Yang dilakukan oleh pendukung-pendukung zionisme di dunia adalah bagaimana Indonesia bisa mengikuti sikap negara-negara muslim Arab untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel," katanya.
"Dengan berbagai cara, dengan pembangunan ini, pembangunan itu. Itu semua orang sudah paham," tambah Muhyidin.
"Oleh karena itu dirobohkan saja museum holokos yang nggak ada manfaat bagi kita," tandasnya.
Tentu saja tidak semua sependapat dengan tuntutan pembongkaran bangunan museum.
Sebagian politikus di Jakarta berpendapat mereka sepakat bahwa kekejaman holokos jangan sampai terulang, namun menolak pendirian museum itu dikaitkan dengan Israel.
Sejauh ini belum ada pernyataan dari pemerintah pusat atas polemik keberadaan Museum Holokos di Minahasa, Sulawesi Utara.
Namun pemerintah Indonesia berulangkali menegaskan tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel selama negara itu tidak mengakui kedaulatan Palestina.
Israel sendiri telah seringkali menyampaikan keinginannya untuk menjalin hubungan dengan Indonesia.
Perlu dibangun ruang perjumpaan antaragama
Achmad Nurcholish, salah-seorang pimpinan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menganggap polemik tajam atas keberadaan museum holokos tidak terlepas kenyataan bahwa sebagian masyarakat di Indonesia masih beragama di level "eksklusif".
"Kita hidup beragama masih di level eksklusif, yang masih dihinggapi kecurigaan, prasangka. Ini persoalan pola pikir," kata Nurcholish kepada BBC News Indonesia, Kamis (03/02)
"Kita belum beranjak ke level inklusif dan bahkan pluralis," tambahnya.
Nucholish juga menganggap, sikap yang ditunjukkan sebagian pimpinan MUI terhadap keberadaan Museum Holokos itu menunjukkan mereka belum siap menerima perbedaan.
"Seolah-olah dianggap ada agenda tersembunyi. Padahal pendirian museum itu hak ditujukan untuk menunjukkan kejahatan Nazi," ujarnya.
Dia kemudian mengusulkan agar semakin banyak dibuka ruang perjumpaan atau dialog antarumat beragama, sehingga kecurigaan dapat dikurangi.
"Harus mau dialog, menciptakan ruang perjumpaan, duduk bareng antara teman-teman Yahudi, pemerintah, lalu teman-teman MUI dan aktivis lintas agama di sana," katanya.