Hanya dalam 2 Minggu, Jumlah Kasus Covid-19 Indonesia Naik 10 Kali Lipat

Reza GunadhaABC Suara.Com
Sabtu, 05 Februari 2022 | 17:08 WIB
Hanya dalam 2 Minggu, Jumlah Kasus Covid-19 Indonesia Naik 10 Kali Lipat
Petugas berpakaian APD saat akan mengevakuasi warga ke RSDC Wisma Atlet di Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (3/2/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kamis (03/02), Indonesia mencatat 27.197 kasus baru COVID-19. Angka harian ini naik sepuluh kali lipat dibandingkan angka harian dua minggu lalu yang mencatat 2.604 kasus.

Angka kasus yang melonjak ini terjadi hampir di seluruh pelosok dunia. Badan kesehatan dunia (WHO) sebelumnya mengumumkan, 90 juta kasus COVID-19 sudah dilaporkan sejak varian Omicron teridentifikasi 10 minggu lalu.

Tahun 2022 baru bejalan satu bulan, tapi jumlah penularan saat ini sudah melebihi angka kasus sepanjang tahun 2020, saat COVID-19 untuk pertama kalinya ditemukan.

Meski tidak ada data pasti, Kementerian Kesehatan menduga angka kasus COVID-19 Indonesia didominasi oleh varian Omicron.

Baca Juga: Antisipasi Lonjakan Covid-19, Pemkab Tangerang Aktifkan Kembali Rumah Isolasi di Tiap Kecamatan

Sejumlah warga kesulitan dapat rumah sakit

Hendry Prasetyo bersama istri dan kedua anaknya yang masih balita, adalah bagian kecil dari ribuan kasus COVID-19 yang dilaporkan di Indonesia.

Omicron - Hendry Prasetyo Image: Hendry Prasetyo (kiri) memilih untuk melakukan isolasi di rumah sakit karena khawatir akan kondisi kedua anak bayinya yang juga terpapar COVID-19. Supplied

Setelah mengetahui istrinya mendapat hasil positif dari tes antigen COVID-19, Hendry segera mencari rumah sakit di situs Kemeterian Kesehatan RI dan Pemprov DKI Jakarta untuk tempat karantina.

Menurut rilis Kemenkes, ada196 rumah sakit rujukan di Jakarta. Namun, Hendry mengaku kesulitan menemukan rumah sakit.

"

"Ada lima sampai delapan rumah sakit yang saya tanya karena urgent, saya ada dua bayi. Mereka bilang 'kita masih belum buka, belum terima', selalu dijawabnya gitu," ujar Hendry.

Baca Juga: Kasus Covid-19 Tinggi, Pemkab Tangerang Kembali Aktifkan Rumah Isolasi di Tiap Kecamatan

"

"Sempat saya terpikir [isolasi di] hotel, tapi ternyata sudah banyak yang tidak menerima [pasien COVID]."

Hendry bersikeras memilih isolasi di rumah sakit karena khawatir jika nantinya ia tidak akan kebagian tempat karena rumah sakit kewalahan, seperti yang pernah terjadi saat masa puncak COVID-19 tahun lalu.

Terlebih lagi anak sulungnya memiliki gejala penyerta pneumonia dan kedua anaknya masih berusia di bawah lima tahun, sehingga belum bisa divaksinasi COVID-19.

Baru setelah belasan jam mencari rumah sakit, Hendry berhasil mendapatkan tempat di RSUD Cempaka Putih.

"UGD-nya pas pertama kami datang enggak begitu ramai, tapi semakin sore ke malam makin penuh," kata Hendry yang sempat diisolasi bersama pasien positif COVID-19 lainnya.

"Seram sih, di dalam [rumah sakit situasinya] lumayan mencekam. Di depan kami ada [pasien] yang napasnya megap-megap."

Menurut Kementerian Kesehatan, jumlah keterisian tempat tidur di rumah sakit mulai naik, seperti di Provinsi DKI Jakarta yang sudah mencapai 60 persen.

Orangtua khawatir dengan kelas tatap muka

Angka kasus yang diduga dipicu oleh varian omicron meroket saat Pemerintah Indonesia mulai melonggarkan beberapa aturan pembatasan di awal tahun 2022.

Salah satunya kebijakan sekolah untuk kembali ke kelas tatap muka di sejumlah daerah.

Hal ini membuat kekhawatiran bagi sejumlah orang tua, seperti Rodhial Falah.

Ia terpaksa memindahkan anaknya yang duduk di kelas 3 SD, Narendra Yudhistira, karena sekolah tempat anaknya belajar di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, tidak memberi pilihan belajar secara daring.

Rodhial tidak ingin anaknya tertular di sekolah, selain juga ingin terhindar dari risiko anaknya membawa virus ke rumah.

"Tapi pertimbangan terbesarnya lebih ke kesehatan anak saya."

"

"Kita enggak tahu apakah setelah terkena COVID kita benar-benar bisa sembuh total atau ada dampak panjangnya," tutur Rodhial.

"

Meskipun pihak sekolah sudah menerapkan sejumlah protokol kesehatan, Rodhial menilai akan sangat sulit bagi anak-anak usia sekolah dasar untuk mematuhinya setiap saat.

"Dia awalnya sedih harus berpisah dengan teman-temannya, tapi dia juga mengerti dan tidak terlalu terbebani."

Ia juga rela memindahkan putranya ke sekolah yang memiliki pilihan kelas daring, yang berarti ada pengeluaran ekstra uang pangkal sekolah.

Menteri Pendidikam Budaya, Riset, dan Teknologi mengubah kebijakan petemuan tatap muka (PTM), yakni daerah yang berstatus PPKM Level 2 bisa mengurangi kapasitas PTM menjadi 50 persen, mulai Kamis kemarin.

 Rodhial mengaku tidak menyesal saat mendengar Pemerintah menimbang ulang proses belajar tatap muka.

"

"Saya tidak merasa rugi, karena biasanya kebijakan-kebijakan yang reaksioner ini tidak bertahan lama ... [saya khawatir] nanti kebijakannya akan berubah-ubah lagi."

"

"Jadi daripada diombang-ambingkan oleh ketidakpastian, kami lebih memilih jalur pendidikan yang sudah pasti."

Walau pertemuan tatap muka di sekolah-sekolah sedang kembali dievaluasi, hingga artikel ini diturunkan, Pemerintah belum menerapkan aturan baru yang memperketat pergerakan warga.

Pemerintah Indonesia juga memutuskan agar warga asing bisa kembali ke Bali, dengan penerbangan internasional perdana yang masuk berasal dari Tokyo, Jepang, Kamis kemarin.

Dalam pernyataan Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan, Bali akan kembali dibuka secara bertahap bagi turis internasional mulai 4 Februari 2022 dengan syarat karantina 'bubble',

IDI: Indonesia sudah memasuki gelombang ketiga

Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Dr Adib Khumaidi mengatakan, Indonesia sudah memasuki gelombang ketiga COVID-19.

Kesimpulan ini didapat dari antara lain angka 'positivity rate' dan angka kasus harian. 

"Kita sudah masuk sebenarnya di gelombang ketiga, karena progresivitas kenaikan positivity rate yang di awal kemarin itu awalnya 16 persen, lalu seminggu naik jadi 24 persen, bahkan kemarin 33 persen positivity rate," kata Dr Adib dalam diskusi virtual, Jumat (04/02).

Ia menambahkan, selain 'positivity rate' yang naik, kasus harian juga meningkat tajam dari 11.000 sampai 17.000 dalam sehari.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan puncak penularan COVID-19 akan terjadi pada "akhir Februari ini".

Bila puncak kasus delta di Indonesia adalah 57 ribu kasus per hari, jumlah kasus aktif Omicron saat mencapai puncak penularan bisa mencapai dua sampai tiga kali jumlah tersebut, menurut Menkes.

Apa yang sudah disiapkan Pemerintah?

Presiden Joko Widodo menegaskan Pemerintah telah memperkirakan dan mengantisipasi lonjakan kasus dengan persiapan yang lebih baik dibandingkan tahun lalu.

"Lonjakan ini sudah diperkirakan dan diantisipasi oleh Pemerintah, dengan kesiapan-kesiapan kita yang sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun lalu, baik dari segi rumah sakit, obat-obatan dan oksigen, fasilitas isolasi, maupun tenaga kesehatan. Dan kondisi rumah sakit hingga saat ini juga masih terkendali," kata Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk tetap tenang, karena menurutnya meski Omicron memiliki tingkat penularan yang tinggi, tetapi tingkat fatalitasnya lebih rendah dibandingkan varian Delta.

Omicron yang dianggap lebih tidak berbahaya juga pernah dikatakan oleh Pemerintah Australia. Namun banyak warga yang sakit di waktu yang bersamaan telah membuat aktivitas ekonomi di Australia ikut terganggu.

Ia juga meminta warga yang sudah memenuhi syarat untuk segera menerima vaksin 'booster' ketiga yang sudah tersedia.

Data Kawal COVID-19 hingga Rabu (02/02), 61,78 persen dari lebih dari 208 juta warga Indonesia telah menerima dosis kedua vaksin.

Tingkat vaksinasi kelompok lanjut usia yang dianggap rentan baru mencapai 48,24 persen.

Sementara itu untuk menangani Omicron, epidemiolog dari Griffith University, dr Dicky Budiman mengingatkan agar pemerintah tidak mengabaikan tes COVID-19 dan pelacakan kasus, selain terus menerapkan 5M: mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas.

“Tidak perlu ada lockdown tapi semua orang harus mematuhi protokol yang ada," ujar Dr Dicky.

"Bagaimanapun 3T [testing, tracing, treatment] kita terbatas dan lemah, sehingga kasus terjadi secara senyap sebagaimana varian Delta pada awal-nya," jelasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI