Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi, Penurunan Gaji Berujung Pemberontakan kepada Pemerintah Hindia Belanda

Rifan Aditya Suara.Com
Sabtu, 05 Februari 2022 | 13:11 WIB
Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi, Penurunan Gaji Berujung Pemberontakan kepada Pemerintah Hindia Belanda
ilustrasi Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (malahayati.ac.id)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi dikenal dalam istilah belanda sebagai Dutch ship De Zeven Provinciën. Apakah kalian tahu dengan kisah ini?

Anda mungkin asing dengan sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi ini. Oleh karenanya, artikel ini akan membahas tentang  sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi

De Zeven Provinciën adalah kapal Belanda yang pada awalnya dipersenjatai dengan 80 senjata. Nama kapal juga ditulis sebagai De 7 Provinciën. Terjemahan harfiahnya adalah "Tujuh Provinsi", nama yang mengacu pada fakta bahwa Republik Belanda pada abad ke-17 merupakan negara konfederasi dari tujuh provinsi otonom.

Kapal ini awalnya dibangun pada 1664-1665 untuk Admiralty of de Maeze di Rotterdam, oleh Master Shipbuilder Salomon Jansz van den Tempel. Lantas apa hubungannya dengan Indonesia dan seperti apa sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi ini? 

Baca Juga: Kisah Tan Mo Heng, Kiper Keturunan Tionghoa yang Bela Indonesia di Piala Dunia 1938

Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi di Indonesia berkaitan dengan sejarah 5 Februari 1933, momen di mana terjadi pemberontakan atas kapal laut angkatan kerajaan Belanda di lepas Pantai Sumatera pada tanggal tersebut. Kapal yang dimaksud adadalah kapal De Zeven Provinciën atau yang disebut dengan Kapal Tujuh Provinsi sehingga peristiwa tersebut pun dinamakan sebagai sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi. 

Latar Belakang Peristiwa

Dikutip dari berbagai sumber, sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi bermula pada tanggal 1 Januari 1933, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis De Jonge mengumumkan kebijakan untuk memotong gaji pegawai pemerintah kolonial Belanda sebesar 17%.

Penurunan gaji itu dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi defisit anggaran belanja pemerintah yang mengalami depresi ekonomi yang sedang melanda dunia pada saat itu. Keputusan tersebut ditentang oleh para pelaut Indonesia di Surabaya pada 30 Januari 1933 hingga menimbulkan unjuk rasa besar-besaran dan pada masa itu, Surabaya menjadi pangkalan utama Angkatan Laut Belanda, di mana Kapal Tujuh Provinsi berada. 

Merespon gerakan tersebut, para pelaut Belanda yang berada di Kapal Tujuh Provinsi melakukan rapat. Komandan kapal kemudian memutuskan untuk tidak meniru para pendemo yang terjadi di Surabaya. Akan tetapi pidatonya tidak menurunkan perlawanan para awak kapal berdarah Indonesia yang akhirnya memimpin gerakan pemberontakan di atas kapal tersebut.

Baca Juga: Ulasan Buku Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945

Para pemberontak ini memutuskan membawa kapal milik Belanda tersebut ke Surabaya. Dua tokoh yang memimpin gerakan ialah Rumambi dan Paraja. Mereka juga mendorong pertemuan darat dengan pelaut berdarah Indonesia lainnya untuk melakukan pemberontohkan. 

Puncak Pemberontakan

Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi yang dimulai dari tanggal 1 Januari 1933 ini semakin membesar karena pada 4 Januari 1933, Belanda melakukan kesalahan berupa membuat pesta untuk menenangkan para pemberontak. Pesta diadakan di kantin KNIL di Ulee Lheue, Aceh.

Trik Belanda adalah dengan cara menyediakan nona-nona Belanda dalam pesta tersebut dan menggunakan uang sebesar 500 Gulden untuk pelaut Indonesia. Para peluat ini menolak untuk hadir. Pada malam hari, Martin Paradja dan Gosal, bagian dari kelompok pemberontakan memilih untuk menguasai Kapal Tujuh Provinsi ketimbang bergabung dalam pesta. Martin Paradja dan Gosal berhasil menduduki kapal dan mengambil alih kapal.

Kemudian, keesokan harinya, pada 5 Februari 1933 pemimpin pasukan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Belanda, dan Inggris. Inti dari siaran pers tersebut adalah bahwa kapal De Zeven Provincien telah diambil alih dan sedang bergerak ke Surabaya dengan tujuan yang sama yaitu memprotes pemotongan gaji. Hal itu menimbulkan kekalutan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. 

Akibat dari peristiwa tersebut, pemerintah Hindia Belanda menjadi semakin ketat mengawasi gerakan tokoh nasionalis. Misalnya saja Sutan Syahrir dan Bung Hatta menjadi dibuang ke Boven Digul, sedangkan Soekarno dibuang ke Ende.

Demikian, nukilan sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi. Makanya setiap tanggal 5 Februari diperingati Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi ini sebagai salah satu hari besar.

Kontributor : Mutaya Saroh

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI