Suara.com - Sebanyak 159 masyarakat pesisir Pantai Merpati, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan hidup dalam ketidakpastian usai terjadi penggusuran pada 31 Januari 2022 lalu. Penggusuran itu dilakukan dengan alasan revitalisasi kawasan pantai, salah satunya untuk pembangunan sentra kuliner Bulukumba.
Kepala Departemen Advokasi dan Kajian Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan, Slamet Riadi pada sebuah kesempatan menyatakan, dalam lima tahun terakhir 'wajah' Provinsi Sulawesi Selatan cuma punya dua kata: relokasi dan penggusuran. Artinya, hal itu menjadi semacam bentuk ketidak berpihakan pemerintah terhadap masyarakat, kelompok rentan, perempuan, dan nelayan.
"Lima tahun terakhir pula kami melihat hak atas rumah dan penghidupan yang layak bagi masyarakat pesisir jelas diabaikan negara," kata Slamet dalam konfrensi pers secara daring, Jumat (4/2/2022).
Teranyar adalah penggusuran pemukiman warga di pesisir Pantai Merpati tanpa adanya solusi yang jelas. Dalam pandangan WALHI Sulawesi Selatan, itu adalah potret gagalnya negara dalam mengelola pembangunan dan mensejahterakan masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan.
"Hanya gusur dan relokasi," sambungnya.
Slamet juga menyinggung soal Perda Nomor 2 Tahun 2019 Provonsi Sulawesi Selatan tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurut dia, peraturan tersebut justru menyumbang banyak konflik, permasalahan dan program penggusuran dan relokasi atas dasar pembangunan, pariwisata atau kepentingan ekonomi negara.
Di lain sisi, kata Slamet, Pemkab Bulukumba juga mengabaikan apa yang sebenarnya yang telah diamanatkan Undang-Undang. Dalam konteks ini, pemerintah mengabaikan hak-hak dasar warga negaranya.
"Tapi di lain sisi mereka telah mengabaikan apa yang sebenarnya diamanatkan oleh Undang-Undang," beber Slamet.
Pada kesempatan ini, Slamet turut memperlihatkan sebuah masterplan yang didapatkan dari berbagai macam pihak. Masterplan itu terkait rencana pembangunan dengan tajuk Water Front City (WFC) yang dimulai sejak tahun 2014 -- dan mendapat penolakan keras oleh masyarakat pesisir di Pantai Merpati.
Slame menambahkan, dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 itu, meletakkan WFC dalam sebuah format pembangunan yang akan dilaksanakan di Pantai Merpati Bulukumba. Jika pada tahun 2014 ada 144 hektar luasan pembangunanannya, tahun ini atau di dalam dokumen RZEWP3K, ada 43 hektar WFC yang akan di bangun di Pantai Merpati.
"Kalau kita lihat dari segi wilayah, waktu, itu tentu saja harus memiliki AMDAL atau kajian lingkungan yang baru karena waktunya sudah berbeda, pasti ada kondisi yang berubah, baik sosial maupun lingkungan sekitar, dan juga soal luasan yang berbeda. Artinya ini butuh kajian lingkungan yang baru," ujar dia.
Lantas Slamet melemparkan sebuah pertanyaan: Penggusaran terhadap warga pesisir Pantai Merpati demi pembangunan seperti apa? Lalu, untuk siapa?
"Itu pertanyaan kepada Bupati Bulukumba, khususnya Gubernur Sulsel, kira-kira pembanguann ini untuk apa? Padahal ada 159 masyarakat Pantai Merpati yang tergusur dan diabaikan oleh negara dalam hal ini Pemkab Bulukumba," tegas dia.
Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Slamet, penggusuran terhadap warga pesisir Pantai Merpati sebagai perbuatan melawan hukum. Seharusnya, lanjut dia, Pemkab bulukumba sebelum melakukan relokasi, harus terlebih dahulu memiliki kelengkapan dokumen dalam pembangunan konstruksinya.
Dalam pandangan WALHI Sulawesi Selatan, Pemkab Bulukumba harus mempunyai izin prinsip. Artinya, apakah kesesuaian tata ruang sudah jelas, izin lokasi provinsi apakah sudah jelas, hingga soal AMDAL reklamasi dan AMDAL tambang pasir laut.
"Karena kalau kami lihat desainnya itu reklamasi dan amdal tambang pasir laut seperti apa, kemudian izin lingkungan dari provinsi dan kementerian," jelasnya.
Setelah semua itu rampung,lanjut Slamet, negara mempunyai kewajiban untuk melakukan konsultasi dengan masyarakat terdampak. Jika di lihat, dalam hal ini masyarakat yang tinggal di pesisir Pantai Merpati.
Warga, kata Slamet, harus diajak berdiskusi, didengarkan keinginannya, apa yang diharapkan dalam pembangunan tersebut. Bahkan, harus dipikirkan juga soal seperti apa kehidupan mereka setelah pembangunan itu ada.
"Setelah itu baru berpikir yang namanya relokasi. Tapi kalau kita lihat kenyataannya hari ini, relokasi dulu, baru kemudian kasih solusi. Ini relokasi dulu baru kemudian akan mengurus kelengkapan-kelengkapan dokumennya," tegas dia.
Wajib Sediakan Hunian
WALHI Sulawesi Selatan juga menekankan, Pemkab Bulukumba punya kewajiban untuk menyedikan hunian sementara maupun tetap, yang tentuhya layak. Karena, hal itu sudah dijamin dalam peraturan perundang-undangan, khususnya menyangkut hak atas perumahan waga.
Slamet lantas membeberkan sejumlah poin yang harus menjadi perhatian. Pertama, soalkesehatan lingkungan. Artinya, harus diperhatikan sistem sanitasi dan air bersihnya.
Poin kedua adalah soal keadaan sosial. Slamet berpendapat, jika Pemkab Bulukumba menyediakan hunian bagi masyarakat terdampak, harus diperhatikan mengenai jumlah individu atau korban yang terdampak.
Poin ketiga adalah soal ekonomi. Negara, kata dia, harus menyediakan pekerjaan yang layak. Sebab, hal ini berkaitan dengan keberlanjutan hidup 159 masyarkat Bulukumba saat ini.
Korban Gusur Hanya Cari Nafkah
Mayoritas masyarakat yang tergusur adalah para pemungut sisa-sisa rumput laut di kawasan tersebut. Demikan hal itu disampaikan oleh perwakilan Serikat Nelayan Bulukumba, Abdul Salman.
"Mayoritas yang tergusur, mereka bukan petani rumput laut seperti sedia kala yang memiliki tali, lokasi di laut untuk tanami rumput laut. Mereka statusnya hanya pemulung rumput laut yang hanyut atau putus dari tali sehingga mereka memungut rumput laut," kata Salman.
Salman mengatakan, penggusuran atas nama rencana pembangunan dan penataan Pantai merpati untuk dijadikan sentra kuliner, itu sama sekali tidak mempunyai perencanaan yang matang. Bahkan, ketika masyarakat menawarkan solusi relokasi, justru penggusuran malah dilakukan.
"Malah yang terjadi adalah penggusuran dulu baru dibuatkan tenda sementara. Ini kan sangat kejam," sambungnya.
Pemkab Bulukumba, kata Salman, menyebutkan jika program pembangunan sentra kuliner di Pantai Merpati telah dimaksukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Masyarakat mahfum, namun tidak ada solusi yang jelas terkait penggusuran tersebut.
"Masyarakat sama sekali tidak menolak rencana pembangunan ini karena mereka paham bahwa pesisir pantai adalah tanah negara, dan mereka selama ini hanya tinggal untuk mencari nafkah," jelas Salman.
Padahal, tuntutan masyarakat jelas: lakukan relokasi sebelum penggusuran dilakukan. Kata Salman, seharusnya masyarakat dibangunkan terlebih dahulu hunian dengan melihat jumlah jiwa masyarakat dan masing-masing keluarga, bukan masing-masing jumlah KK.