HUT ke-62 Kabupaten Bulukumba Diwarnai Potret Penggusuran Sewenang-wenang terhadap Warga Pesisir Pantai Merpati

Jum'at, 04 Februari 2022 | 15:12 WIB
HUT ke-62 Kabupaten Bulukumba Diwarnai Potret Penggusuran Sewenang-wenang terhadap Warga Pesisir Pantai Merpati
Konferensi pers kasus penggusuran warga di pesisir Pantai Merpati Bulukumba yang dilakukan secara daring melalui Youtube. [Tangkapan layar akun YouTube]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masyarakat pesisir Pantai Merpati, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel) menjadi korban penggusuran ruang hidup pada 31 Januari 2022 lalu. Dalam catatan Front Perjuangan Rakyat (FPR), penggusuran itu merupakan upaya menyiapkan lokasi untuk berbagai proyek pemerintah dengan alasan revitalisasi kawasan pantai, salah satunya untuk pembangunan sentra kuliner Bulukumba.

Bertepatan dengan HUT Kabupaten Bulukumba ke-62 pada Jumat (4/2/2022), FPR Sulsel, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulsel dan korban penggusuran menggelar konfrensi pers secara daring terkait kasus tersebut.

WALHI Sulsel menilai gelaran momen HUT Kabupaten Bulukumba sangat kontradiktif dengan kondisi kekinian masyarakat pesisir Pantai Merpati. Sebab, tema yang diangkat, yakni 'Sehat dan Produktif Menuju Bulukumba yang Maju dan Sejahtera.'

"Pemkab Bulukumba mengusung tema yang sangat kontradiktif dengan keadaan masyarakat pesisir Pantai Merpati," kata Kepala Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel Slamet Riadi.

Baca Juga: Dalih Revitalisasi Kawasan Pantai, Pemkab Bulukumba Sulsel Gusur Paksa Puluhan Rumah Warga Pesisir Pantai Merpati

Slamet menyampaikan, 159 jiwa penduduk pesisir Pantai Merpati saat ini hidup dalam ketidakpastian. Artinya, tema HUT ke-62 Kabupaten Bulukumba, dalam pandangan WALHI Sulsel rasanya sangat tidak tepat.

"Jadi saya rasa, HUT ke- 62 Kabupaten Bulukumba hari ini atau tahun ini sangat jauh dari tema yang mereka usung, mana maju dan sejahtera tapi ada 159 rakyat yang mereka abaikan," sambungnya.

Pada kesempatan yang sama, seorang korban penggusuran Hasna mengutuk aksi sewenang-wenang yang dilakukan Bupati Andi Muchtar Ali Yusuf dan jajarannya tersebut. Lantaran, Pemkab Bulukumba tidak memberikan solusi sama sekali usai penggusuran terjadi.

Sebelumnya, warga pesisir Pantai Merpati mendapat ultimatum dari pihak Kecamatan Ujung Bulu perihal pengosongan pesisir pantai Merpati. Masyarakat, kata Hasna, hanya diberi tenggat waktu sampai 15 Januari 2022.

Kepada pihak Kecamatan, Hasna menyampaikan, kepada pemerintah agar mencari solusi penggusuran yang dilakukan terhadap masyarakat di pesisir Pantai Merpati.

Baca Juga: Tanggapi Unjuk Rasa Warga Enrekang Terkait Penggusuran, Manajemen PTPN XIV: Hanya Land Clearing Lahan

"Saya tidak keberatan untuk digusur, cuma saya minta solusi untuk di mana saya ditempat tinggalkan, karena saya tidak ada tempat tinggal selama ini. Setelah itu Pak Camat bilang akan menyampaikan."

Setelah menunggu kabar dan tidak ada kepastian, Hasna dan masyarakat pesisir Pantai Merpati menyambagi Kantor Bupati Bulukumba dan menggelar aksi di sana pada Kamis, (13/1/2022).

Dalam aksi itu, Hasna mengungkapkan Bupati Bulukumba tidak berjanji akan membangunkan rumah untuk nelayan.

"Saya akan bangunkan rumah untuk nelayan, itu saya tidak janji karena 2023 akan dibangunkan tapi tidak janji," ucap Hasna menirukan ucapan Bupati.

Gerah dengan pernyataan Bupati Bulukumba, Hasna dan masyarakat pesisir Pantai Merpati mencoba mengadu ke Kantor DPRD Kabupaten Bulukumba.

Mereka diterima baik oleh salah satu anggota DPRD. Saat pertemuan tersebut, sang legislator tersebut meminta agar ditentukan terlebih dulu lokasi bagi tempat tinggal masyarakat.

"Harus ada penentuan terlebih dahulu, jangan langsung main gusur."

"Kami gembira, dikasih harapan tidak akan digusur. Kalaupun digusur, dia akan memberikan tempat layak," ucap Hasna.

Kemudian pada Senin 31 Januari 2022 sekitar pukul 10.00 WITA, aparat gabungan dari unsur Satpol PP, TNI, dan Polri mendatangi pemukiman warga pesisir Pantai Merpati. Kedatangan aparat keamanan itu dengan maksud hendak membongkar rumah warga.

Saat kejadian tersebut, Hasna sedang memasak. Warga lainnya sedang melakukan kegiatannya masing-masing.

Kedatangan pasukan gabungan itu membikin warga kaget, sekaligus syok. Sebab, kepastian belum diberikan oleh pihak Pemkab Bulukumba, tapi penggusuran benar-benar terjadi.

"Saya bilang, kenapa mau membongkar, kami perlu kepastian dan kenapa ada penggusuran secara tiba-tiba," papar Hasna.

Salah Satu rumah milik warga, kata Hasna, ditendang oleh Satpol PP. Padahal, warga itu sedang makan di dalam rumah. Pun rumah warga lainnya, yang juga guru mengaji di kawasan tersebut juga tidak luput dari pembongkaran aparat.

Hasna, dalam ingatannya menyampaikan, Satpol PP yang menggusur rumah guru mengaji itu sampai-sampai menginjak-injak Al-Quran yang berada di dalam rumah.

"Rumahnya dibongkar dan ada Al-Quran ditendang-tendang, diinjak-injak, kenapa Al-Quran injak-injak? Apakah dia itu manusia? Tidak ada hati melihat masyarakat yang ada di pesisir pantai," kata Hasna, sedikit emosional.

Hingga pada akhirnya, rumah Hasna yang menjadi giliran selanjutnya. Satu unit eskavator mulai mendekat, padahal rumah Hasna tidak permanen.

"Saya bilang jangan di eskavator karena rumah saya bukan permanen, ditendang saja sudah terbongkar," ucap dia.

Akhirnya, eskavator mundur perlahan. Menantu Hasna yang emosi melihat pembongkaran terjadi langsung mendekat dan memegang 'sendok' eskavator dan memancing warga lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap aparat -- khususnya Satpol PP.

"Akhirnya itu, eskavator mundur ke belakang, datang menantuku, langsung dia pegang sendok eskavator akhirnya semua masyarakat di sini ramai untuk pukuli Satpol PP. Baru agak reda, pemerintah baru minta solusi sama kami."

Kekinian, masyarakat masih bertahan di sekitar pesisir Pantai Merpati. Oleh Pemkab Bulukumba, kata Hasna, masyarakat hanya diberikan tenda-tenda untuk sementara bertahan di sana.

Hanya saja, tenda sementara itu sangat tidak layak ditempati oleh anak-anak karena jika bertahan di tenda, kondisinya cukup panas.

"Sampai sekarang, saya masih bertahan di samping rumah kami yang dibongkar. Ini untuk bernaung sementara."

"Kata Pak Bupati tidak layak, dan juga ada Pak Wakil Bupati dan saya bilang: tidak kasihan? Anak-anak kecil banyak. Dia bilang: 'jangan minta solusi sama saya'. Saya berharap agar diberi lokasi sementara yang layak, bukan tenda yang disediakan Bupati," papar Hasna.

FPR, dalam keterangan tertulisnya menyebut, pada 15 Januari 2022, warga pesisir Pantai Merpati juga mengalami pemutusan aliran listrik, diancam akan digusur, bahkan intimidasi dengan memobilisasi satuan dari Polri dan TNI.

Adapun penggusuran terjadi pada pada 31 Januari 2022, dimulai dengan dibongkarnya rumah warga pada pukul 09.00 WITA. 

"Pemerintah Bulukumba mengerahkan aparat gabungan dari Kodim 1411 Bulukumba, Polres Bulukumba dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) dan menggunakan dua unit ekskavator untuk eksekusi penggusuran," kata Koordinator Umum FPR, Rudi B Daman.

Warga, kata Rudi, juga sempat melakukan protes dan mengajukan dialog untuk menunda penggusuran. Sebab, belum ada kejelasan tempat hunian baru bagi masyarakat. 

Rudi menambahkan, hal itu malah direspons oleh Dandim Bulukumba dengan mengambil alih operasi penggusuran, yang awalnya dipimpin oleh Kepala Dinas Tata Ruang Bulukumba.

Penggusuran terus dilakukan, rumah dan bangunan milik warga dibongkar, warga hanya bisa menyelamatkan sedikit barang-barangnya. 

"Penggusuran berlangsung hingga pukul 18.30 WITA dengan total rumah warga yang dibongkar sebanyak 33 unit, dan menelantarkan 21 kepala keluarga," sambungnya.

Rudi mengatakan, warga Bentenge yang tergusur juga sama sekali tidak mendapat kompensasi, relokasi atau sebatas tempat tinggal sementara. Penggusuran itu, lanjut dia, telah merampas kerja ekonomi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, petani rumput laut, dan pedagang kecil. 

"Kehidupan sosial yang selama ini dibangun, upaya untuk hidup lebih layak, serta hak anak-anak untuk pendidikan terganggu akibat penggusuran ini," ucap dia.

FPR memandang, penggusuran itu selama ini telah dikhawatirkan dan ditentang olehmasyarakat Bulukumba, utamanya saat perencanaan pembangunan Waterfront City.

Sebab, kata Rudi, pembangunan sentra kuliner Bulukumba di pantai Merpati saat ini adalah lokasi section I dari masterplan Water Front City (WFC) Bulukumba yang terhenti karena perjuangan rakyat bersama FPR Bulukumba pada tahun 2013 hingga 2014. 

Dari data yang dihinpun FPR, WFC akan memakan lahan seluas 111,18 hektar di sepanjang pesisir Bulukumba, Kecamatan Ujung Bulu yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Bulukumba yang meliputi empat kelurahan yakni Bintarore, Kasimpureng, Bentenge, Terang-terang, dan Ela-ela. 

Rudi menambahkan, masyarakat akan mengalami dampak yang lebih luas lagi, utamanya menyasar petani rumput laut, nelayan tradisional, papuka’, palanra, patude-tude, dan lain-lain. Kata dia, penggusuran semacam inu kerap terjadi, bahkan terus meningkat di berbagai daerah di Indonesia karena sistem pembangunan yang tidak demokratis bagi rakyat. 

Oleh karena itu, FPR mengecam tindakan penggusuran dan menuntut agar Pemkab Bulukumba segera bertanggung jawab atas kerugian yang dialami masyarakat yang telah digusur. Rudi menegaskan, Pemkab Bulukumba seharusnya memberikan perhatian lebih serius dalam membantu kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19. 

"Pembangunan di Pantai Merpati seharusnya menjadi cara untuk mengintegrasikan nelayan dan masyarakat pesisir dalam pembangunan di Bulukumba," papar Rudi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI