Suara.com - Front Perjuangan Rakyat (FPR) mengecam keras Pemkab Bulukumba, Sulawesi Selatan yang melakukan penggusuran rumah dan perampasan tanah milik warga di Kelurahan Bentenge, pesisir Pantai Merpati. Penggusuran itu merupakan upaya menyiapkan lokasi untuk berbagai proyek pemerintah dengan alasan revitalisasi kawasan pantai, salah satunya untuk pembangunan sentra kuliner Bulukumba.
Koordinator Umum FPR, Rudi B. Daman mengatakan, pada 15 Januari 2022, warga pesisir Pantai Merpati juga mengalami pemutusan aliran listrik, diancam akan digusur, bahkan intimidasi dengan memobilisasi satuan dari Polri dan TNI. Adapun penggusuran terjadi pada pada 31 Januari 2022, dimulai dengan dibongkarnya rumah warga pada pukul 09.00 WITA.
"Pemerintah Bulukumba mengerahkan aparat gabungan dari Kodim 1411 Bulukumba, Polres Bulukumba dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) dan menggunakan dua unit ekskavator untuk eksekusi penggusuran," kata Rudi dalam siaran persnya, Jumat (4/2/2022).
Warga, kata Rudi, juga sempat melakukan protes dan mengajukan dialog untuk menunda penggusuran. Sebab, belum ada kejelasan tempat hunian baru bagi masyarakat.
Rudi menambahkan, hal itu malah direspons oleh Dandim Bulukumba dengan mengambil alih operasi penggusuran, yang awalnya dipimpin oleh Kepala Dinas Tata Ruang Bulukumba.
Penggusuran terus dilakukan, rumah dan bangunan milik warga dibongkar, warga hanya bisa menyelamatkan sedikit barang-barangnya.
"Penggusuran berlangsung hingga pukul 18.30 WITA dengan total rumah warga yang dibongkar sebanyak 33 unit, dan menelantarkan 21 kepala keluarga," sambungnya.
Rudi mengatakan, warga Bentenge yang tergusur juga sama sekali tidak mendapat kompensasi, relokasi atau sebatas tempat tinggal sementara. Penggusuran itu, lanjut dia, telah merampas kerja ekonomi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, petani rumput laut, dan pedagang kecil.
"Kehidupan sosial yang selama ini dibangun, upaya untuk hidup lebih layak, serta hak anak-anak untuk pendidikan terganggu akibat penggusuran ini," ucap dia.
Baca Juga: Warga Pantai Merpati Tergusur, WALHI Sulsel Sebut Pemda Bulukumba Melanggar HAM
FPR memandang, penggusuran itu selama ini telah dikhawatirkan dan ditentang olehmasyarakat Bulukumba, utamanya saat perencanaan pembangunan Waterfront City. Sebab, kata Rudi, pembangunan sentra kuliner Bulukumba di pantai Merpati saat ini adalah lokasi section I dari masterplan Waterfront City (WFC) Bulukumba yang terhenti karena perjuangan rakyat bersama FPR Bulukumba pada tahun 2013 hingga 2014.
Dari data yang dihimpun FPR, WFC akan memakan lahan seluas 111,18 hektar di sepanjang pesisir Bulukumba, Kecamatan Ujung Bulu yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Bulukumba yang meliputi empat kelurahan yakni Bintarore, Kasimpureng, Bentenge, Terang-terang, dan Ela-ela.
"Dengan demikian, penggusuran di Pantai Merpati saat ini menjadi permulaan pembangunan proyek yang lebih besar sebagaimana perencanaan WFC," tegas Rudi.
Rudi menambahkan, masyarakat akan mengalami dampak yang lebih luas lagi, utamanya menyasar petani rumput laut, nelayan tradisional, papuka’, palanra, patude-tude, dan lain-lain. Kata dia, penggusuran semacam inu kerap terjadi, bahkan terus meningkat di berbagai daerah di Indonesia karena sistem pembangunan yang tidak demokratis bagi rakyat.
Oleh karena itu, FPR mengecam tindakan penggusuran dan menuntut agar Pemkab Bulukumba segera bertanggung jawab atas kerugian yang dialami masyarakat yang telah digusur.
Rudi menegaskan, Pemkab Bulukumba seharusnya memberikan perhatian lebih serius dalam membantu kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19.
"Pembangunan di Pantai Merpati seharusnya menjadi cara untuk mengintegrasikan nelayan dan masyarakat pesisir dalam pembangunan di Bulukumba," papar Rudi.
Lebih lanjut, FPR berpendapat jika Pemkab Bulukumba seharusnya mendukung masyarakat di lokasi pembangunan dan sekitarnya agar menjadi tenaga produktif untuk kesuksesan rencana pembangunan baik untuk kuliner, wisata, perdagangan, hingga perikanan.
"Hal ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah membuka dialog yang lebih luas dan komprehensif dengan masyarakat, bukan mengedepankan tindakan represif dan penggusuran."