Serangan Masif, Tersistematis dan Libatkan TNI-Polri, Komnas HAM Ungkap 4 Jenis Kejahatan Kasus Petrus Rezim Soeharto

Kamis, 03 Februari 2022 | 16:48 WIB
Serangan Masif, Tersistematis dan Libatkan TNI-Polri, Komnas HAM Ungkap 4 Jenis Kejahatan Kasus Petrus Rezim Soeharto
Anggota Komnas RI Beka Ulung Hapsara saat menjelaskan penanganan kasus pelecehan pegawai KPI. (Aulia Ivanka Rahmana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di era Orde Baru, rezim Soeharto, ada banyak peristiwa yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Salah satunya adalah penembakan misterius alias Petrus.

Peristiwa itu terjadi pada periode 1982 hingga 1985 dan menyasar ribuan orang. Korbannya rata-rata adalah para pelaku kejahatan seperti residivis, preman, atau dalam bahasa lain adalah GALI -- Gabungan Anak Liar.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara menyampaikan, tragedi penembakan misterius masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Sebab, serangan-serangan yang dilakukan penguasa saat itu meluas dan dilakuan secara sistematis. Korbannya, tidak lain adalah masyarakat sipil.

Merujuk pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, kata Beka, peristiwa penembakan misterius merupakan perbuatan kejahatan. Kejahatan dalam artian adanya praktik pembunuhan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, dan penghilangan paksa.

Baca Juga: Jalan Terjal Penyelesaian Tragedi Petrus Era Orba, Komnas HAM: Kedua Jalan Kini Macet Total!

"Jadi peristiwa Petrus itu ada empat jenis kejahatan," kata Beka dalam diskusi yang digelar oleh Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Kamis (3/2/2022).

Beka menyebut, serangan terhadap para korban penembakan misterius adalah serangan yang terwujud sebagai kombinasi dari sejumlah pola kejahatan, pembunuhan dan pengusiran. Bahkan, hal itu dilakukan secara meluas dan sistematis.

"Dengan merujuk pada jumlah korban yang sangat banyak, masif terjadi, dilaksanakan secara kolektif. Artinya tidak hanya satu kesatuan saja, tapi banyak kesatuan, ada tentara dari Kodam mana, polisi dari Polda mana ikut berpartisipasi dan menimbulkan akibat yang serius," jelasnya.

Sistematis yang dimaksud Beka itu mencerminkan satu pola atau metode yang diorganisir menggunakan pola-pola tertentu. Artinya, ada struktur komandonya jelas, siapa yang memerintahkan, siapa yang menjadi eksekutor di lapangan.

"Dan unsur ini terpenuhi," sambung dia.

Baca Juga: Kendala Penyelidikan Tragedi Penembakan Misterius pada Medio 1980-an, Komnas HAM: Purnawirawan TNI-Polri Tolak Panggilan

Sekapur Sirih Tragedi

Dalam paparannya, Beka menyebut jika peristiwa penembakan misterius bermula dari imbauan Komandan distrik Militer 0734 Yogyakarta waktu itu agar semua GALI alias preman untuk segera menyerahkan diri. Kemudian, hal itu diikuti oleh penagkapan terhadap orang-orang yang masuk ke dalam daftar hitam.

"Karena operasi ini dianggap sukses, maka operasi juga dilakukuan di Jawa Tengah dan wilayah lain yang dianggap rawan. Jadi istilahnya menyebar dan jadi inspirasi jadi orang ditembak, dibunuh tanpa proses pengadilan, dan menajdi insipirasi penguasa waktu itu," ucap Beka.

Adapun para korban praktik exra judicial killing ini adalah para pelaku kejahatan. Mulai dari residivis, penjahat, maupun orang yang salah target.

"Mereka mengalami penyiksaan, dijemput, menjadi korban penghilangan paksa dan banyak korban ditemukan dalam kondisi jenazah," papar Beka.

Ada versi yang menyebutkan jika korban dari penembakan misterius mencapai tiga ribu jiwa. Namun, Beka menduga jumlah korban masih lebih banyak dan perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

"Saya kira bisa jadi lebih banyak karena indentifikasinya atau kemudian penguburannya, penghilangannya itu juga sangat banyak. Sehingga saya yakin korbannya lebih dari 3 ribu orang," kata dia.

Penyelidikan

Komnas HAM sejak 2008 silam telah melakukan kajian-kajian terkait serangkaian pelanggaran HAM berat di era Soeharto. Salah satu peristiwa yang turut menjadi kajian adalah penembakan misterius pada periode 1982 hingga 1985.

Beka mengatakan, pihaknya telah meminta keterangan terhadap 115 orang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Adapun rinciannya, 95 saksi, 14 saksi korban, dua saksi aparat sipil, dua purnawirawan TNI dan dua purnawirawan polisi.

"Kami meminta keterangan terhadap 115 orang, rinciannya 95 saksi, saksi korban 14 orang, saksi aparat sipil dua orang, saksi purnwirawan TNI dua orang, saksi purnawiranwan Polri dua orang," kata Beka.

Selain itu, sejumlah tempat kejadian perkara juga telah dikunjungi. Mulai dari Yogyakarta, Bali, Cilacap, hingga daerah lainnya. Komnas HAM juga telah memeriksa segala bentuk dokumen yang berkaitan dengan peristiwa ini.

Dalam paparannya, Beka menyebut ada sejumlah kendala dalam proses penyelidikan tragedi penembakan misterius. Salah satunya, penolakan dari purnawirawan TNI dan Polri untuk memenuhi panggilan Komnas HAM dalam rangka memberikan keterangan.

"Menang ada kendala. Pertama, penolakan dari purnawirawan TNI dan Polri untuk memenuhi panggilan komnas untuk memberikan keterangan," sambung Beka.

Kedala lainnya adalah terjadinya intimidasi terhadap korban yang hendak memberikan keterangan. Kata Beka, memang tidak mudah meyakinkan korban untuk memberikan keterangan, apalagi meyakinkan purnawirawan TNI dan Polri.

"Kalau pun sudah berani memberikan keterangan, ada intimidasi yang membuat susah, bahkan urung memberikan keterangan," papar dia.

Komnas HAM, kata Beka, memang memiliki kewenangan untuk menerima laporan dan aduan masyarakat terkait pelaksanaan kewajiban oleh negara. Tentunya, hal itu terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Beka mengatakan, peristiwa penembakan misterius masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Atau, dengan kata lain terjadi sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

"Peristiwa petrus merupakan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, dan merujuk pada peristiwa yang terjadi sebelum diubahkannya UU 26 tahun 2000," beber dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI