Mengungsi karena Perang, Nestapa Warga Nduga Papua 4 Tahun Merayakan Natal dalam Duka

Reza Gunadha Suara.Com
Kamis, 03 Februari 2022 | 14:27 WIB
Mengungsi karena Perang, Nestapa Warga Nduga Papua 4 Tahun Merayakan Natal dalam Duka
[Suara.com/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sayang, sayang. Ade sayang e, bapa sayang. 

Waktu itu, mereka kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang berharga yang tersisa. Surat-surat penting, atau sedikit perkakas lain yang mungkin akan berguna hidup di pengungsian. Mereka tidak punya senjata. Hanya sebilah pedang untuk membabat rumput-rumput liar, serta noken berisi sedikit bekal makanan untuk perjalanan. Tetapi tentara bilang mereka membawa senjata. Mereka dituding sebagai bagian dari kelompok separatis. Tuduhan tanpa bukti yang masih mengambang hingga sekarang.

Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]

Saya semakin larut dalam kekecewaan sebab tidak bisa menguburkan mereka dengan layak. Bayang-bayang peluru yang bisa menembus tubuh kapan saja, memerangkap saya di dalam ketakutan. Jenazah adik ditemukan tergeletak di antara rerumputan pekarangan kami selama berhari-hari.

Kami dibiarkan saja mati seperti binatang

Saya ingat dulu saya dan adik bermain bersama, membuat gaduh kampung dengan gelak tawa sampai diperingatkan mama tawa kami bisa saja mengganggu seisi desa. Kami bermain di pekarangan yang sama, di bawah langit yang tampak cerah dan pendar matahari menimpa kulit kami berdua. Hidup begitu berbahagia: kami kerap menertawakan banyak hal, dan berbagi kesedihan tentang hal-hal yang sama. Belakangan, pekarangan itu tak lagi mengingatkan pada peristiwa-peristiwa bahagia milik kami berdua. Tetapi kepada kematian, dan kekecewaan yang terus berkelindan berbuntut penyesalan.

Hari itu pukul 12 siang, tetapi pendar matahari sama sekali tak mampu menerobos mendung tebal yang bergelayut di atas sana. Saya menunjuk ke arah langit dan berkata kepada reporter yang hari itu bertemu kami:

“Seperti itulah, adek, nasib kami, para pengungsi. Mendung setiap hari. Belum ada terang sampai kapan kita akan terus menumpang di sini.”

Pendeta Kones, yang baru tiga hari pulang dari Nduga bercerita bahwa jika saya berkunjung ke sana, barangkali tak akan lagi mengenali kota itu. Empat tahun ditinggalkan oleh penduduknya, kini Nduga tampak kembali sebagai belantara; rerumputan liar tumbuh setinggi orang dewasa dan pohon-pohon tampak semakin besar menutup seisi kota. Kebun-kebun, rumah, dan jalanan berbatu yang biasa kami lintasi sehari-hari tak lagi tampak.

Pendeta Kones mempertaruhkan nasib untuk kembali ke Nduga dengan memikul harapan. Ia berharap bisa bernegosiasi untuk menghentikan perang, dan bisa kembali membawa warga yang kini mengungsi di kampung Sekom, distrik Muliama untuk kembali ke rumah mereka. Tetapi perundingan tersebut nihil.

Baca Juga: Seragam Ditemukan di Semak-semak, Prajurit TNI di Papua yang Kabur Bawa Senpi Masih Dicari

Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]

Mereka bilang pada pendeta Kones “Jika terus datang ke sini, kami tak bisa jamin keselamatan bapa. Ini adalah ladang perang. Jangan dulu bawa masyarakat ke sini. Bawa pulang ketika kita su selesai begitu.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI