Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan soal pemanggilan terhadap Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bengkulu oleh Polres Seluma pada 27 Januari 2022 lalu. Pemanggilan itu terkait aksi penolakan terhadap tambang pasir besi yang dilakukan WALHI Bengkulu bersama warga Seluma di lokasi pertambangan PT Faming Levto Bakti Abadi (PT FLBA).
Dikutip dari laman kontras.org, Kamis (3/2/2022), aksi itu dilakukan pada 23 Desember 2021. Warga Seluma menginap di lokasi tambang pasir besi hingga dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian pada tanggal 27 Desember 2021.
Imbasnya, sejumlah warga menjadi korban tindak kekerasan oleh aparat. Bahkan setidaknya terdapat 9 orang yang ditangkap oleh pihak Kepolisian dan dibawa ke Polres Seluma.
Selain itu, WALHI Bengkulu juga pernah melaporkan PT FLBA ke Polda Bengkulu pada tanggal 8 Desember 2021 dengan dugaan aktivitas pertambangan ilegal PT FLBA.
Baca Juga: Warga Pantai Merpati Tergusur, WALHI Sulsel Sebut Pemda Bulukumba Melanggar HAM
"Pemanggilan terhadap Direktur WALHI Bengkulu tentu saja menambah daftar panjang upaya kriminalisasi Kepolisian terhadap pejuang lingkungan hidup," kata Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar.
Catatan KontraS selama kurun waktu 2021, setidaknya ada 25 kasus kriminalisasi terhadap aktivis yang sedang memperjuangkan hak atas lingkungannya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 94 orang ditangkap meliputi masyarakat adat, warga sipil hingga pendamping hukum masyarakat.
Rivanlee menyebut, pemanggilan Direktur WALHI Bengkulu adalah untuk dimintai keterangannya terkait dengan adanya laporan dugaan tindak pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan pasir besi milik PT FLBA di Desa Pasar Seluma Kec. Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Bengkulu. Polres Seluma juga menggunakan Pasal 162 UU Nomor 3 tahun 2020 sebagai dasar pemanggilan tersebut.
"Hal ini semakin mempertegas bahwa ketentuan pidana tersebut sangat problematis dan bersifat opresif," sambungnya.
Rivanlee menambahkan, kepolisian juga akan semakin mudah untuk mempidanakan secara paksa pejuang lingkungan yang menolak kehadiran aktivitas pertambangan yang dapat merusak lingkungan.
Upaya kepolisian dalam menghentikan perjuangan rakyat melawan pertambangan berupa pemidanaan merupakan tindakan pelecehan terhadap Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang menyatakan:
"Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata."
Berdasarkan hal tersebut, KontraS mendesak Kepolisian Resor Seluma menghentikan proses penyelidikan atas laporan dugaan tindak pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan pasir besi milik PT FLBA.
KontraS juga meminta agar Komnas HAM untuk responsif menyikapi upaya kriminalisasi terhadap Pembela HAM, khususnya dalam kasus ini pejuang lingkungan hidup.