Suara.com - Sejak kudeta di Myanmar setahun silam, kaum perempuan rajin menggalang perlawanan sipil melawan pemerintahan militer. Kiprah mereka membibit kesetaraan dan mengikis peran tradisional yang selama ini dianggap membelenggu.
Tindakan militer Myanmar menindas gerakan protes melawan Kudeta 1 Februari secara berdarah, justru kian melambungkan perlawanan sipil di kota-kota besar seperti Yangon atau Mandalay.
Warga kini semakin rajin menggelar demonstrasi kilat dan bubar sebelum kedatangan aparat. Aksi-aksi semacam itu bukan tanpa risiko.
Aparat di Myanmar berulangkali kedapatan menabrakkan kendaraan terhadap demonstran tanpa peringatan.
Baca Juga: Atasi Krisis Kudeta, Indonesia Desak Militer Myanmar Tindaklanjuti Konsensus ASEAN
Kendati bahaya yang besar, kaum perempuan mendominasi barisan terdepan dalam gerakan perlawanan di Myanmar.
Htet Htar menginjak usia 25 tahun ketika bergabung dengan Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) yang dibentuk oleh pemerintahan sipil bayangan Myanmar.
Dalam wawancaranya dengan DW, dia mengaku digerakkan oleh "keyakinan akan Birma yang bebas.”
"Apakah saya punya pilihan lain?” tanyanya.
"Militer merampas semua yang kami miliki. Saya bergabung dengan kelompok pemberontak untuk membebaskan negeri saya.”
Baca Juga: Myanmar: Mengapa Pemrotes Anti Kudeta Militer Kini Memilih Jalan Kekerasan?
Kehidupan di Myanmar didominasi oleh norma sosial yang konservatif, dengan kaum pria di puncak hirarki.
Meski negeri di Basin Irrawaddy itu selalu dikarunai tokoh perempuan seperti Aung San Suu Kyi, kiprah mereka tetap dianggap sebagai anomali.
Masyarakat patriarkis
Militer atau dalam bahasa lokal disebut Tatmadaw, memandang perannya antara lain sebagai pelindung "Myanmar” sejati.
Dalam tatanan tersebut, kaum minoritas dan perempuan berada di urutan bawah hirarki sosial.
Naw Hser Hser dari Liga Perempuan Burma (WLB), sebuah organisasi payung untuk lebh dari 30 lembaga hak perempuan di Myanmar, menuduh "militer tidak pernah berusaha memberdayakan perempuan,” kata dia kepada DW.
Konstitusi Myanmar, yang dirancang Tamtadaw pada 2008 dan berlaku hingga kini, mencerminkan sistem patriarkat yang juga mengakar di tubuh militer.
Sebutlah pasal 352 yang meski melarang diskriminasi berdasarkan ras, keyakinan atau gender, namun menegaskan "pasal ini tidak menghalangi pemilihan laki-laki untuk menduduki posisi yang hanya cocok untuk kaum laki-laki.”
Partai Solidaritas dan Perkembangan (USDP) yang berafiliasi dengan milter misalnya mencatat 6 persen keterwakilan perempuan dalam daftar kandidat Pemilu 2015.
Tidak ubahnya Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, yang mengajukan jumlah kandidat perempuan kurang dari 15 persen.
Peran baru perempuan
Tapi sejak kudeta militer setahun silam situasinya mulai berubah, kata Naw Hser Hser dari Liga Perempuan WLB.
Jejaring perempuan yang dia koordinasikan kini sudah berkembang pesat. Terutama perempuan dari kalangan minoritas etnis tercatat yang paling aktif menggalang perkumpulan.
Naw Hser memperkirakan, empat dari lima perempuan Myanmar menolak pemerintahan junta, meski sebagian besar tidak mengorganisir diri atau melakukan perlawanan terbuka.
Aung San Suu Kyi kini setidaknya tidak lagi menjadi satu-satunya perempuan di Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) yang dibentuk dari struktur pemerintahan lama.
Saat ini Zin Mar Aung misalnya memimpin upaya diplomasi mengepung junta.
Dia dikenal aktif mengkampanyekan isu-isu perempuan dan dialog dengan kelompok etnis minoritas.
Pencapaian itu sudah sangat baik, ata Naw Hser Hser, "tapi kami belum mencapai garis finis. Kami ingin agar perempuan selalu dilibatkan dalam setiap pembuatan keputusan.”
Dia menyambut prinsip kesetaraan gender yang diadopsi ke dalam konstitusi baru Myanmar yang sedang dirancang oleh NUG dan Dewan Konsultasi Persatuan Nasional (NUCC).
Di dalamnya, kelompok pro-demokrasi dan etnis minoritas ingin membangun sebuah negara federal yang terbuka dan demokratis.
Namun begitu, perubahan paling dramatis terkait hak perempuan justru diamati Naw Hser di kampung dan desa. Sejak kudeta, perempuan dianggap lebih sederajat.
"Kalau dilihat dari percakapan di akar rumput, di pasar-pasar tradisional, masyarakat memahas betapa perempuan adalah bagian dari revolusi, dan bahwa mereka harus punya andil dalam menata masa depan Myanmar.”
Reporter DW, Annie Zaman, ikut terlibat dalam penulisan laporan ini. rzn/as