Postingan Sandiaga hingga Kesaksian Warga AS Keluar Puluhan Juta Buat Hotel

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 01 Februari 2022 | 11:04 WIB
Postingan Sandiaga hingga Kesaksian Warga AS Keluar Puluhan Juta Buat Hotel
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Munculnya beragam peristiwa mengenai dugaan pelanggaran saat karantina disebabkan oleh lemahnya sistem pelaksanaan sehingga memunculkan oknum-oknum yang menjadi 'mafia karantina', kata aktivis migran.

Beberapa kasus pelanggaran karantina terjadi dalam setahun terakhir ini, seperti penangkapan 11 tersangka yang meloloskan WNA India tanpa karantina, kasus selebgram Rachel Venya yang menyuap oknum petugas untuk bebas karantina.

Kemudian, dugaan permintaan uang oleh oknum petugas kepada pekerja migran Indonesia dari Hong Kong agar bebas karantina, hingga dugaan 'meng-covid-kan' turis asing dari Ukraina dan Amerika Serikat agar menjalani isolasi di hotel.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang baru-baru ini memviralkan dugaan adanya penipuan yang dialami turis Ukraina mengatakan akan bertindak tegas melawan praktik kriminal tersebut.

Baca Juga: Benarkah Ada Mafia Karantina Covid-19 di Hotel? Ketua PHRI Angkat Bicara

Baca juga:

Terkait dugaan pelanggaran itu, tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 meminta korban untuk melaporan agar dilakukan penyelidikan.

Sementara itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) berharap agar dugaan pelanggaran tidak selalu dikaitkan dengan asosiasinya karena apa yang dilakukan hotel berdasarkan regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Unggahan Sandiaga Uno, 'turis Ukraina meminta pertolongan'

Dua hari lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dalam akun Instagram-nya mengunggah tulisan yang berisi keluhan seorang turis Ukraina saat menjalani karantina di Jakarta.

Turis tersebut merasa ditipu karena sehari sebelum keluar dari hotel, ia dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil tes PCR.

Baca Juga: Turis Ukraina Mengaku Dicurangi Pihak Hotel Saat Karantina di Jakarta, Menparekraf Sandiaga Uno Buka Suara

Turis itu bercerita, ia tidak diperbolehkan melakukan uji tes PCR dari luar untuk membandingkan hasil sebelumnya.

"Itu tidak adil dan benar-benar keterlaluan. Kami tidak memiliki gejala apa pun dan isolasi tambahan sangat mahal, jadi pasti saya merasa bahwa kami ditipu."

https://www.instagram.com/p/CZT4wzrJjPQ/

"Saya memiliki teman yang berada di rumah sakit karantina yang diperlakukan seperti sandera, tanpa gejala apa pun dan saya memiliki anak bersama saya ... itu sulit dipercaya dan saya butuh bantuan," kata turis itu.

Sandiaga merespons dengan mengirimkan tim Kemenparekraf untuk menyelesaikan masalah itu.

"Mereka saat ini sedang menikmati pariwisata di Bali. Saya berharap ke depannya tidak ada lagi wisatawan yang mendapat pengalaman yang kurang mengenakkan. Saya tidak akan segan untuk menindak tegas oknum-oknum yang mencoba mengambil keuntungan namun mencoreng nama baik Indonesia!" tulis Sandiaga.

Pengalaman yang sama, WNA Amerika,'saya ditipu'

Pengalaman yang sama juga diungkapkan oleh seorang WNA Amerika Serikat bernama Matthew Joseph Martin.

Matthew yang telah enam tahun menetap di Indonesia mengatakan, tiba di Indonesia pada 30 Desember 2021 bersama seorang anaknya setelah mengunjungi orang tuanya di AS.

Sebelum berangkat, Matthew yang tinggal di Bogor mengatakan telah melakukan tes PCR di AS dan hasilnya negatif. Kemudian setibanya di Bandara Soekarno Hatta, mereka juga melakukan tes PCR dan hasilnya negatif.

https://www.instagram.com/tv/CYfljXbJQmZ/?utm_medium=copy_link

Lalu ia dan anaknya melakukan karantina di sebuah hotel di Jakarta dengan biaya Rp16,5 juta untuk 10 hari.

Dua hari terakhir karantina, mereka melakukan tes PCR kedua dan hasilnya positif Covid-19.

"Saya dikasih tahu lewat telepon kamar, hasilnya positif. Tidak ada surat hasil tesnya, CT saya berapa, saya tidak tahu," kata Matthew kepada BBC News Indonesia, Senin (31/01).

Kemudian, katanya, petugas datang ke kamarnya untuk memindahkan mereka ke hotel isolasi. Saat itu, ia meminta untuk tes PCR kembali untuk memastikan hasil itu.

"Karena kami pernah mendengar cerita adanya penipuan. Tapi ditolak dan kalau minta lagi, diancam dideportasi. Petugasnya tidak jelas dari mana, apakah dari Satgas Covid, atau petugas hotel, tidak menunjukkan identitasnya, membuat kami tidak nyaman, kami dipaksa pindah ke hotel isolasi," ujarnya.

Tidak ada pilihan, akhirnya ia ditawari satu hotel yang dalam brosur terlihat baik. Harga isolasi hampir dua kali lipat, sebesar Rp22 juta untuk dua hari.

"Kami pun harus membayar Rp650.000 untuk pindah hotel dengan jarak 1,5 kilometer," kata Matthew. \

Setibanya di hotel isolasi, kondisinya sangat buruk, kata Matthew. Namun ia tidak memiliki pilihan hingga pada 16 Januari lalu mereka dinyatakan negatif dan diizinkan meninggalkan hotel.

"Selama 18 hari di hotel, semua prosedur tidak jelas, tidak ada yang beri tahu kami SOP-nya, semuanya berantakan. Kami merasa ditipu dan bahkan diancam dideportasi, jadi banyak dari kami (turis asing) yang memilih diam," katanya.

Migrant Care: Bayar Rp4,5 juta, bebas karantina

Selain WNA, pengalaman sama juga dialami pekerja migran Indonesia yang kembali dari luar negeri.

Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menceritakan, ia menerima aduan seorang PMI dari Hong Kong yang ditawari Rp4,5 juta untuk tidak karantina.

"Sekitar Desember lalu, dari bandara ke Wisma Atlet, oknum petugas mengatakan tidak perlu karantina, waktu itu mereka minta Rp4,5-5 juta kemudian bisa langsung pulang ke daerah asalnya," kata Anis.

Anis menambahkan, oknum petugas tersebut meminta paspor PMI tersebut supaya, "secara administratif tercatat melakukan isolasi, tapi secara fisik tidak ada."

"Kemudian PMI itu melapor ke kami dan kami damping untuk pengambilan paspor," katanya.

Dugaan mafia karantina juga diungkapkan oleh Mawar, seorang PMI dari Singapura bukan nama sebenarnya.

Mawar mengatakan, ia diminta uang sekitar Rp450.000 oleh petugas saat karantina untuk mengurus pendaftaran IMEI telepon genggamnya yang sebenarnya kata dia gratis.

"Katanya untuk ongkos dari wisma ke bandara. Bayangkan kalau ada 10 hingga 20 orang, berapa jumlahnya? Padahal gratis," keluh Mawar.

Kasus-kasus sebelumnya

Sebelumnya, selebgram Rachel Vennya mengaku menyuap Rp40 juta mulai dari petugas bandara hingga karantina untuk dapat "bebas dari karantina" sepulang dari AS.

Rachel divonis empat bulan penjara karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana terkait karantina kesehatan, namun tidak dijerat pasal penyuapan.

Tahun lalu, Polda Metro Jaya menangkap 11 tersangka karena diduga meloloskan penumpang dari India tanpa karantina.

Lima tersangka adalah warga India yang tidak menjalani karantina. Dua tersangka warga India yang membantu bebas dari karantina, dan empat warga Indonesia sebagai calo yang dibayar Rp6,5 juta.

Mengapa mafia karantina beraksi?

Melihat rangkaian pelanggaran yang terjadi, Anis Hidayat, dari Migrant Care, setuju jika disebut adanya mafia karantina.

"Mafia itu memanfaatkan posisi rentan mereka yang datang dari luar negeri, bagaimana meraup keuntungan dari posisi rentan korban. Itu yang terjadi dalam pelanggaran karantina," kata Anis.

Lalu mengapa itu bisa terjadi, Anis menjawab, karena sistem karantina memunculkan dan memberi ruang bagi mafia untuk beraksi.

"Jadi pengawasan, SOP, koordinasi, tidak jalan, sehingga yang datang ke Indonesia asal didata saja, di-checklist berapa masuk, tanpa cek fisik. Ketika ada penipuan, tidak terekam sehingga membuka ruang manipulasi dan kecurangan," katanya.

Untuk itu, Anis meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi sistem, kebijakan dan petugas karantina.

"Lalu melakukan audit dengan mengumpulkan keterangan korban untuk melihat dimana titik bocornya. Jangan-jangan bocor di semua titik sehingga potensi kecurangan terus berlangsung," katanya.

Terkait dengan dugaan pelanggaran dalam proses karantina, Koordinator Tim Pakar sekaligus Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan, "silahkan saja dilaporkan detail kasus dan kontaknya supaya diselidiki kebenarannya dan tindak lanjutnya."

PHRI: Yang kena getahnya hotel melulu

Ketua umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan, hotel selalu disalahkan ketika muncul keluhan dalam pelaksanaan karantina.

Padahal, katanya, hotel hanya menjalankan ketentuan sesuai aturan pemerintah, seperti prosedur tes usap, makanan hingga lamanya waktu karantina.

Ia menjelaskan, seperti kasus WNA Ukraina yang ingin melakukan tes PCR di lab yang dia tunjuk. "Tapi dalam aturan tidak bisa, lab harus ditunjuk Kemenkes, dan pihak hotel telah menjelaskan konsekuensinya," kata Hariyadi dalam acara Weekly Press Briefing Kemenparekraf 2022 di situs Youtube.

"Kemudian, kenapa karantina 10 hari? Biaya jadi bengkak. Lalu, makanan, kenapa harus di hotel? Lah, persyaratan Satgas seperti itu, tidak boleh ambil dari luar, termasuk online Lalu jemaah Umroh mengeluh tabungan habis karena menginap di hotel. Bukan posisi hotel mau menyusahkan masyarakat, tapi memang regulasi seperti itu."

"Akhirnya yang kena getah hotel mulu karena dianggap hotel punya tendensi kurang baik, dituduh kita mafia karantina, dan lainnya Posisi PHRI sangat terbuka, jika ada kesalahan akan kami tindak tegas," katanya.

Hariyadi menambahkan, dalam proses karantina terdapat beberapa pihak yang terlibat, mulai dari bandara, hotel, hingga pemeriksaan kesehatan oleh pihak Satgas Covid-19. "Proses ini berpengaruh pada berbagai kemungkinan ada pihak-pihak yang mungkin punya itikad tidak baik," katanya.

Untuk itu, karena regulasi yang kadang gonta-ganti, Hariyadi meminta harus ada penjelasan yang disampaikan kepada wisatawan asing yang mau ke Indonesia sehingga tidak muncul miskomunikasi.

Jangan disederhanakan sebagai miskomunikasi

Dalam acara yang sama, Menparekraf Sandiaga Uno kembali menegaskan bahwa pihaknya akan bertindak tegas. Ia pun menolak jika yang terjadi oleh WNA Ukraina merupakan miskomunikasi.

"Berkali-kali saya garis bawahi. Saya mendapatkan langsung berita dan ini juga dikonfirmasi banyak sekali yang menyatakan hal yang sama. Jadi apa yang dialami ini jangan disederhanakan sebagai sebuah miskomunikasi," katanya.

Sebelumnya, berbeda dengan menterinya, Kemenparekraf dalam rilisnya menyatakan apa yang dialami oleh turis Ukraina itu merupakan miskomunikasi antara penyedia dan pelaku perjalanan.

Baca juga:

Untuk mencegah miskomunikasi kembali terjadi, Kemenparekraf membuat aturan baru, yaitu membentuk help desk bagi turis dari luar negeri.

Masa karantina di Indonesia kini mengalami pengurangan dari tujuh hari menjadi lima hari. Keputusan itu diambil sesuai dengan masa inkubasi virus Omicron selama tiga hari.

Meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia, menurut data PHRI, kembali menurunkan tingkat okupasi hotel.

Contoh, di Jakarta, tingkat okupasi sempat mencapai angka 50-55% dan kini menjadi sekitar 40%. Hal itu disebabkan menurunnya perjalanan masyarakat dan penundaan pertemuan di hotel.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI