2 Kecerdikan Singapura Menurut Guru Besar UI Dalam Bernego FIR dengan Indonesia

Sabtu, 29 Januari 2022 | 21:37 WIB
2 Kecerdikan Singapura Menurut Guru Besar UI Dalam Bernego FIR dengan Indonesia
Guru Besar Universitas Indonesia bidang Hukum Internasional Profesor Hikmahanto Juwana. (Suara.com/Novian)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menilai Singapura cerdik dalam menegosiasikan perjanjian Flight Information Region (FIR) atau ruang kendali udara dengan Indonesia. Pasalnya, ia melihat Singapura mampu mengecoh Indonesia di dalam perjanjian tersebut.

Hikmahanto melihat setidaknya terdapat dua kecerdikan Singapura dalam mengecoh negosiator Indonesia. Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail.

"Bagi lawyer yang menegosiasikan sebuah perjanjian ada peribahasa yang selalu menjadi panduan yaitu 'The devil is in the details'," kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/1/2022).

"Maksud peribahasa ini adalah seorang lawyer untuk menang dalam bernegosiasi harus bermain di level yang sangat detail. Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail, maka akan menjadi makanan empuk," sambungnya.

Baca Juga: PRT Indonesia di Singapura Nekat Rekam Majikan Lagi Mandi dan Bagikan ke Tiktok, Dituntut 18 Bulan Penjara

Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun, dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian.

Hikmahanto melihat itu telah diatur dalam detail perjanjian FIR terkait pendelegasian Indonesia ke otoritas penerbangan Indonesia. Bahkan pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.

"Ini berarti pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru untuk melakukan pengambilalihan mulai dari infrastruktur yang dibutuhkan hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan," ujarnya.

Hal tersebut diatur dalam detail perjanjian FIR terkait pendelegasian Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura. Bahkan pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.

Sementara, kecerdikan Singapura yang kedua ialah memaketkan perjanjian FIR dengan perjanjian pertahanan.

Baca Juga: Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Disebut Bakal Permudah Kejagung Buru 247 Buronan

Menurutnya, pemaketan itu sangat merugikan di tahun 2007 saat perjanjian ektradisi ditandemkan dengan perjanjian pertahanan.

Hikmahanto melihat Singapura tahu untuk efektif berlakunya perjanjian FIR, maka selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing, juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi.

Dengan begitu, Singapura akan mensyaratkan pada Indonesia untuk melakukan secara bersamaan pertukaran dokumen ratifikasi kedua perjanjian sekaligus. Apabila hanya salah satu, maka Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi dan karenanya perjanjian tidak akan efektif berlaku.

Lebih lanjut, ia juga menilai kalau Singapura berkalkulasi perjanjian pertahanan tidak akan diratifikasi oleh DPR mengingat menjadi sumber kontroversi pada tahun 2007 sehingga tidak pernah dilakukan ratifikasi.

"Bila ini kembali menjadi kontroversi saat ini dan akhirnya tidak diratifikasi oleh DPR, maka Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi perjanjian FIR," tuturnya.

"Akibatnya Perjanjian FIR tidak akan berlaku efektif. Konsekuensi ikutannya adalah FIR tidak pernah beralih pengelolaannya ke Indonesia dan tetap dikelola oleh Singapura," sambungnya.

Presiden Joko Widodo dalam pertemua bersama Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong dalam agenda Leaders Retreat Indonesia-Singapura di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). [Muchlis Jr - BPMI]
Presiden Joko Widodo dalam pertemua bersama Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong dalam agenda Leaders Retreat Indonesia-Singapura di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). [Muchlis Jr - BPMI]

Katakanlah perjanjian pertahanan diratifikasi oleh DPR dan dokumen ratifikasi perjanjian FIR dan pertahanan dipertukarkan sehingga kedua perjanjian ini efektif berlaku, maka menurut Hikmahanto, Singapura tetap mengelola FIR di ketinggian 0-37,000 kaki atas dasar pendelegasian sebagaimana diatur dalam perjanjian FIR.

"Bahkan Singapura mendapat satu keuntungan lagi yaitu perjanjian pertahanan yang di tahun 2007 ditentang oleh banyak pihak di Indonesia bisa efektif berlaku," ujarnya.

Ambil Alih Ruang Kendali Udara Kepulauan Riau

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumukan bahwa Indonesia telah mengambil alih Flight Information Region (FIR) atau ruang kendali udara di Kepulauan Riau termasuk Natuna. Itu disampaikan Jokowi setelah melakukan perjanjian kesepakatan bersama dengan Singapura.

Perjanjian tersebut dilakukan Jokowi dalam pertemuannya bersama Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Hsien Loong dalam agenda Leaders Retreat Indonesia-Singapura di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).

Karena sudah diambil alih, maka ruang lingkup FIR Jakarta bakal meliputi seluruh teritorial Indonesia.

"Dengan penandatanganan perjanjian FIR maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia terutama di perairan sekitar kepulauan Riau dan kepulauan Natuna," kata Jokowi dikutip melalui siaran langsung YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (25/1/2022).

Ilustrasi penerbangan ke Suriname (Pixabay)
Ilustrasi penerbangan.

Setelah adanya perjanjian tersebut, Jokowi berharap kerjasama antar kedua negara terkait penegakan hukum keselamatan penerbangan dan pertahanan keamanan, bisa terus diperkuat berdasarkan prinsip saling menguntungkan.

Sebelumnya, Singapura memegang kendali FIR Kepulauan Riau. Keputusan itu berdasarkan pertemuan International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946.

Kala itu, ICAO memberikan mandat kepada Singapura untuk mengelola sektor A dan C yakni wilayah udara di atas 8 kilometer sepanjang Batam dan Singapura. Sementara Malaysia mengelola sektor B yang mencakup kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI