Suara.com - Uji coba rudal Korea Utara belakangan ini tidak begitu digubris Tokyo.
Reaksinya sangat berbeda dari Agustus 2017 lalu, ketika publik Jepang terbangun oleh suara sirene peringatan serangan udara. Tanpa peringatan, Korea Utara saat itu menembakkan rudal balistik antarbenua (ICBM), melampaui Jepang ke Samudra Pasifik. Tindakan yang menghebohkan.
Kali ini rudal Korea Utara semuanya berjarak pendek, dan mendarat di laut, jauh dari pantai Jepang. Kim Jong-un tampaknya menahan diri, untuk saat ini. Tapi itu bisa berubah jika dia tidak mendapatkan hasil yang dia inginkan.
Jadi, apa maunya Kim Jong-un?
Baca Juga: Ulasan Film Secretly Greatly: Misi Mata-mata Korea Utara Menggunakan Kode Aneh
Baca juga:
- Korea Utara uji coba rudal jarak jauh yang bisa menghantam Jepang
- Korea Utara tembakkan dua rudal balistik, Jepang anggap sudah 'keterlaluan'
- Korea Utara diyakini 'punya bom enam kali lebih dahsyat dari bom Hiroshima hingga rudal yang bisa capai New York'
Menurut kalangan analis militer peluncuran terbaru ini menunjukkan bahwa Korea Utara sedang bergerak cepat menuju kemampuan pertahanan nuklir yang efektif dan total.
"Dari sudut pandang saya, itu bisa diprediksi," kata Profesor Kim Dong Yup, mantan komandan angkatan laut Korea Selatan.
"Kami terkejut karena kami meremehkan teknologi Korea Utara dan menganggap mereka menderita saat ini. Faktanya, Korea Utara jelas-jelas meningkatkan kemampuan militernya lebih cepat dari yang kami duga."
Setelah tes rudal pada 5 dan 10 Januari lalu, Pyongyang mengklaim telah berhasil menguji sesuatu yang disebut "kendaraan luncur hipersonik" (HGV) dan "kendaraan masuk kembali yang dapat digerakkan" (MARV).
Baca Juga: Lagi! Korea Utara Dituding Luncurkan Rudal Balistik
Mengapa ini sangat penting?
Uji rudal ini berarti Korea Utara sedang mengembangkan teknologi yang dapat mengalahkan sistem pertahanan rudal yang mahal dan kompleks yang telah dikerahkan Amerika Serikat dan Jepang di kawasan ini.
"Tampaknya cukup jelas bahwa tujuan mereka adalah untuk mengembangkan senjata yang dapat menghindari dan memperumit pertahanan rudal, yang sangat dapat bermanuver dan lebih sulit untuk didahului oleh Amerika Serikat, apalagi untuk dideteksi," kata Duyeon Kim di Center for a New American Century.
Profesor Kim Dong Yup mengatakan, "Pada akhirnya apa yang ingin dicapai oleh Korea Utara adalah untuk melemahkan sistem pertahanan rudal musuh.
"Mereka ingin memiliki sistem pencegahan seperti ekor kalajengking."
Kalajengking memang menggunakan sengatan di ekornya untuk mempertahankan diri, tetapi juga untuk menyerang dan membunuh mangsanya. Jadi, yang mana bagi Korea Utara?
"Tujuan utama Korea Utara bukanlah untuk menyerang tetapi untuk mempertahankan diri mereka sendiri," kata Profesor Kim, seraya menambahkan bahwa negara itu sedang mencoba "untuk meraih kemampuan pencegahan yang beragam".
Ini adalah pandangan yang diyakini secara luas di antara komunitas pengamat Korea Utara.
Namun Pyongyang masih sangat jauh melampaui titik itu, di mana kemampuan konvensional dan nuklirnya telah menjadi pencegah yang efektif terhadap serangan dari Korea Selatan atau dari AS - keduanya telah berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak memiliki ambisi untuk menyerang atau menghancurkan rezim Korea Utara.
Jadi mengapa penguasa negara kecil yang miskin ini terus membelanjakan antara seperlima dan seperempat dari PDB-nya untuk militer?
Ankit Panda di Carnegie Endowment for International Peace merasa bahwa salah satu alasannya bisa jadi bertentangan dengan apa yang mungkin dirasakan orang luar, Korea Utara tidak percaya bahwa mereka memiliki senjata yang cukup untuk mempertahankan diri dengan benar.
"Jadi Kim Jong-un merasa tidak aman secara kronis. Saya pikir dia tidak mempercayai siapa pun, termasuk China dan Rusia, dan mungkin merasa perlu untuk membangun kemampuannya di luar apa yang mungkin kita anggap cukup."
Yang lainnya sangat tidak setuju.
Profesor Brian R Myers di Universitas Dongseo di kota Busan, Korea Selatan, mengatakan Pyongyang memiliki tujuan yang jauh lebih ambisius untuk program nuklir dan misilnya.
Dia percaya harapan Korea Utara adalah menggunakan persenjataannya sebagai pengaruh untuk merundingkan perjanjian damai dengan Korea Selatan dan penarikan AS dari Semenanjung Korea. Setelah itu, katanya, Korut percaya akan bebas untuk menaklukkan Korsel.
Dalam jangka pendek, Korea Utara memiliki tujuan lain.
Agar bisa berkembang, bahkan secara moderat, Pyongyang ingin sanksi PBB atas program nuklir dan misilnya dicabut. Dan untuk memiliki harapan itu, pemerintah AS perlu terlibat dalam negosiasi.
Secara historis, cara Pyongyang menarik perhatian Washington adalah dengan menciptakan krisis. Dan itulah yang menurut beberapa ahli terjadi lagi sekarang.
"Ironisnya bagi saya ini adalah pertanda yang sangat baik," kata Profesor Kim Youngjun, anggota Dewan Penasihat Keamanan Nasional Korea Selatan.
"Kim Jong-un ingin memaksimalkan uji coba misilnya sebelum memulai inisiatif perdamaian. Jadi, dia ingin mendorong Joe Biden untuk memulai negosiasi serius dengan peta jalan yang konkret."
Jika itu masalahnya, Kim Jong-un mungkin akan kecewa. Pertama, Presiden Joe Biden sangat sibuk dengan krisis lain saat ini, Ukraina.
Dan kedua, Biden tidak memiliki antusiasme seperti pendahulunya Donald Trump untuk terlibat dengan Korea Utara.
"Korea Utara selama ini sangat pandai menempatkan diri dalam agenda itu dan menjadikan diri mereka prioritas," kata Panda.
Namun dia menambahkan: "Joe Biden telah menyebut Kim Jong-un seorang tiran. Saya pikir dia memiliki sangat sedikit keuntungan politik bila dia terlihat bersama Kim. Jadi, saya pikir apa yang diperlukan Joe Biden untuk benar-benar terlibat adalah suatu krisis besar."
Penjelasan ini sudah cukup sering.
Kita melihatnya pada tahun 2010 ketika Pyongyang menenggelamkan korvet angkatan laut Korea Selatan, Cheonan, dan beberapa bulan kemudian mulai membombardir salah satu pulau terluar Korea Selatan.
Kita menyaksikannya lagi pada tahun 2017 ketika Korea Utara menembakkan rudal jarak jauh ke Jepang dan mengancam akan menyerang Guam. Kita mungkin melihat sesuatu yang serupa lagi dalam beberapa bulan mendatang.
"Saya pikir kemungkinan untuk kembali ke krisis memang sangat nyata," kata Panda.
"Korea Utara terus terang ingin dianggap serius oleh AS. Mereka mungkin negara kecil, seperti yang pernah dianggap Presiden Richard Nixon.
"Tetapi mereka memiliki senjata nuklir, dan mereka ingin seorang presiden Amerika mengakui hal tersebut. Sayangnya, saya pikir Korea Utara tidak akan mendapatkan pengakuan itu dalam waktu dekat."