Suara.com - Independen Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menerbitkan laporan tahunan situasi kebijakan pidana mati di Indonesia sejak 2016.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A. T. Napitupulu mengatakan dalam laporan periode 2021, temuan penting yang diangkat antara lain mengenai tren penjatuhan pidana mati dalam perkara narkotika yang tujuh tahun berturut-turut sejak 2015 hingga 2021 menduduki mayoritas kasus pidana mati di Indonesia.
Kata Erasmus, dari total 146 kasus hukuman mati, 82 persen atau 120 kasus di antaranya merupakan perkara narkotika.
"Sedangkan sisanya yakni 6 perkara Terorisme, 1 perkara Tindak Pidana Korupsi, dan 19 perkara Kejahatan terhadap Nyawa, misalnya pembunuhan berencana, kekerasan dan perkosaan anak mengakibatkan kematian, dan lain-lain," ujar Erasmus dalam keterangannya yang diterima Suara.com, Kamis (27/1/2022).
Kemudian kasus tuntutan mati tindak pidana korupsi pada 2021, kata Erasmus merupakan yang pertama tercatat dalam database kasus hukuman mati ICJR.
Meskipun tidak menunjukkan tren peningkatan dari 2020, namun kasus pidana mati 2021 masih menunjukkan angka lebih tinggi.
"Yakni sebanyak 74 kasus dibanding sebelum pandemi yang tercatat pada 2019 yakni 48 kasus dalam rentang waktu yang sama (27 Maret hingga 9 Oktober)," tutur Erasmus.
Tak hanya itu, Erasmus menuturkan pada aspek perkembangan kebijakan, laporan ICJR juga menyoroti perlunya untuk meninjau kembali pengaturan komutasi pidana mati dalam RKUHP sebagai jalan tengah. Termasuk soal peluang penerapannya bagi terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi yang saat ini telah mencapai 404 orang.
ICJR kata Erasmus juga mengkritisi ketentuan RKUHP yang mengatur soal evaluasi dan peluang komutasi pidana, yang mana masa percobaan selama 10 tahun bergantung pada putusan pengadilan. Ia mengatakan dalam kondisi saat ini, juga telah terdapat paling tidak 79 orang dalam deret tunggu pidana mati lebih dari 10 tahun.
Baca Juga: Badai Omicron Menggila, Menkeu Sri Mulyani Khawatir Ganggu Pemulihan Ekonomi
Komutasi/perubahan hukuman menjadi satu-satunya jalan keluar untuk mencegah dan menghentikan praktik penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan tidak bermartabat dalam fenomena deret tunggu.