Kerangkeng Manusia: Jika Terbukti Ada Perbudakan, Bupati Langkat Bisa Dijerat TPPO

Siswanto Suara.Com
Rabu, 26 Januari 2022 | 17:41 WIB
Kerangkeng Manusia: Jika Terbukti Ada Perbudakan, Bupati Langkat Bisa Dijerat TPPO
Wartawan mengambil gambar ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (26/1/2022). ANTARA FOTO/Dadong Abhiseka
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejumlah anggota DPR mendesak kepolisian mengusut tuntas temuan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat (nonaktif) Terbit Rencana Perangin Angin.

Jika terbukti terjadi perbudakan atau eksploitasi manusia di sana, menurut anggota DPR, bupati Langkat dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kepolisian diminta berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk mengungkap temuan itu.

"Pertama saya juga kaget dengan adanya info penemuan di lahan belakang rumah bupati Langkat ditemukan ada kerangkeng manusia yang menyamai penjara (besi dan digembok) yang dijadikan kerangkeng. Sudah semestinya di zaman era digital 4.0 tidak terjadi lagi perihal tersebut apalagi ada indikasi perbudakan," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi PAN Pangeran Khairul Saleh, Selasa (25/1/2022).

Baca Juga: 7 Satwa Liar Dilindungi Ditemukan di Rumah Bupati Langkat, Ada Orangutan dan Monyet Hitam

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan menyebutkan aparat penegak hukum sedang mengusut temuan sel di belakang rumah bupati Langkat.

Kementerian Dalam Negeri mendukung langkah aparat penegak hukum mengusut temuan itu.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan mengatakan tim penyidik belum menyimpulkan hasil penyelidikan.

"Tetapi apa itu kita nanti lihat, kita akan dalami apa prosesnya. Kita belum bisa cepat-cepat memberikan kesimpulan ya," kata Ramadhan di Mabes Polri.

Menurut informasi dari polisi, sel dibangun atas inisiatif bupati Langkat pada 2012. Pembangunan kerangkeng dimaksudkan untuk tempat rehabilitasi pecandu narkoba hingga tempat pembinaan bagi remaja nakal.

Baca Juga: Soal Adanya Temuan Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Ketua KPK: Dimanfaatkan untuk Pekerjanya

Tapi pembangunan kerangkeng dan fungsinya tidak terdaftar dan tidak miliki izin sebagaimana diatur undang-undang.

Pada awalnya kerangkeng dihuni 48 "warga binaan." Menurut informasi yang didapatkan polisi, mereka ditempatkan di sana atas persetujuan keluarga untuk dilakukan pembinaan.

"Mereka sebagian dipekerjakan di pabrik kelapa sawit milik bupati dengan maksud membekali warga binaan dengan keahlian yang berguna bagi mereka jika nantinya keluar dari tempat pembinaan," kata Ramadhan.

"Dan mereka, tidak diberikan upah seperti pekerja. Karena mereka merupakan warga binaan. Namun diberikan makan."

Saat ini, "warga binaan" tinggal 30 orang dan sekarang telah dikembalikan kepada keluarga masing-masing.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyebut terdapat dua sel di lahan belakang rumah bupati Langkat.

Migrant Care adalah organisasi yang melaporkan temuan kerangkeng kepada Komnas HAM.

"Ada dua sel di dalam rumah Bupati yang digunakan untuk memenjarakan sebanyak 40 orang pekerja setelah mereka bekerja," ujar Anis.

Pekerja yang dipekerjakan di kebun kelapa sawit, kata Anis, diduga sering menerima penyiksaan, seperti dipukuli sampai lebam-lebam.

"Para pekerja yang dipekerjakan di kebun kelapa sawitnya selama 10 jam, dari jam 08.00 pagi sampai jam 18.00 sore," tutur Anis.

Setelah dipekerjakan, pekerja dimasukkan lagi ke dalam sel dan tidak diberikan akses untuk pergi kemana-mana.

"Setiap hari mereka diberi makan dua hari sekali, selama bekerja mereka tidak pernah menerima gaji," kata Anis.

"Pada prinsipnya itu sangatlah keji, baru tahu ada kepala daerah yang mestinya melindungi warganya tetapi justru menggunakan kekuasaannya untuk secara sewenang-wenang melakukan kejahatan yang melanggar prinsip HAM, anti penyiksaan, anti perdagangan orang dan lain-lain," katanya.

Menurut anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman kasus itu "urusannya serius sekali."

"Kita prihatin hal seperti itu terjadi, seperti kayak zaman kolonial Belanda, ada tuan-budak. Atau bahkan kayak sebelum Belanda, yang punya kewenangan jadi merasa punya kewenangan untuk menahan dan memenjarakan orang," kata Habiburokhman.

"Saya pikir yang di Langkat itu urusannya serius sekali ya. Itu pidana yang cukup berat ya, Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan."

Dia mendesak polisi untuk menindak tegas setiap orang yang terlibat.

"Siapapun pelakunya, yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang membantu melakukan, yang ikut bersama-sama wajib untuk dihukum dan dimintai pertanggungjawaban. Ancaman hukumannya 8-9 tahun," ujar Habiburokhman.

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Nasional Demokrat Taufik Basari menegaskan "tidak dibenarkan siapapun, termasuk bupati atau pejabat pemerintahan, menaruh seseorang dalam sebuah tempat seperti kerangkeng atau sel penjara, dengan merampas kemerdekaan orang lain dan memperlakukannya secara tidak manusiawi."

Perampasan kemerdekaan dengan menempatkan seseorang ke dalam tahanan ataupun lembaga pemasyarakatan hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum dalam rangka penegakan hukum yang sesuai aturan perundang-undangan serta harus dilaksanakan dengan standar HAM.

Taufik menyebut ada dua penjelasan yang berbeda mengenai temuan sel di rumah bupati Langkat. Migrant Care menyebut dugaan perbudakan modern yang diperuntukkan untuk pekerja di perkebunan sawit milik bupati Langkat. Sedangkan Polda Sumatera Utara menyebut tempat rehabilitasi pengguna narkotika yang tak berizin dan telah berlangsung selama 10 tahun.

"Saat ini publik belum mendapat kejelasan perihal peruntukan kerangkeng manusia tersebut, kita menunggu hasil penyelidikan pihak Kepolisian. Namun baik alasan sebagai tempat rehabilitasi maupun tempat bagi pekerja perkebunan sawit, kedua alasan tersebut tetap tidak memberikan pembenaran bagi penggunaan kerangkeng manusia dan harus diusut tuntas dengan melakukan penegakan hukum," tuturnya.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998, kata Taufik.

Itu sebabnya, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan kepolisian -- yang dapat bekerja sama dengan Komnas HAM.

Pertama, kepolisian bersama Komnas HAM harus menelusuri bagaimana kerangkeng manusia tersebut digunakan, bagaimana kondisi kelayakan untuk ditempati manusia, adakah tindak penyiksaan atau perlakuan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.

Kedua, mencari siapa yang terlibat dalam penggunaan kerangkeng manusia tersebut, baik penanggung jawab utama maupun pihak-pihak yang mengetahui penggunaannya yang turut bertanggung jawab.

Ketiga, menelusuri sejak kapan kerangkeng manusia tersebut digunakan, siapa saja yang pernah dikerangkeng di tempat itu, apa dampaknya bagi yang pernah berada di tempat tersebut baik secara fisik maupun psikologis.

"Jika ternyata hasil pengusutan ditemukan memang benar digunakan untuk menempatkan seseorang dalam kerangkeng, terlebih bila terdapat tindakan penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, maka penegakan hukum harus dilakukan kepada semua yang bertanggung jawab dan pihak pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk memulihkan kondisi para korban," kata dia.

Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebutkan jika dugaan terjadi perbudakan terbukti benar, "ini jelas tidak berperikemanusiaan, melanggar HAM, dan bertentangan dengan Pancasila."

Dia sependapat pelakunya dihukum yang seberat-beratnya.

"Ini fenomena yang menandakan masih adanya manusia-manusia yang berwatak feodalis," kata dia. [rangkuman laporan Suara.com]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI