Suara.com - Siapa yang tak kenal dengan Megawati Soekarnoputri dan Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab dipanggi Tutut Seoharto. Keduanya sama-sama putri dari keluarga paling berpengaruh di perpolitikan Indonesia.
Megawati merupakan putri kedua dari penguasa Orde Lama, Soekarno. Sementara Tutut adalah putri sulung dari Presiden di masa Orde Baru, Soeharto.
Baik Mega maupun Tutut sama-sama mewarisi kecakapan politik sang ayah, yang lucunya keduanya lahir di tanggal yang sama, 23 Januari.
Lebih lanjut, berikut persamaan dan perbedaan Megawati dan Tutut dalam sepak terjangnya di dunia politik, antara lain:
Profil Singkat
Bernama Dyah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri, Megawati merupakan putri dari presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.
Megawati lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Ia memiliki 10 saudara kandung.
Selisih dua tahun, Tutut Soeharto lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1949 dengan nama lengkap Siti Hardijanti Hastuti Indra Rukmana.
Beda Nasib Megawati dan Tutut di Orde Baru
Baca Juga: Kocak! Adakan Hiburan di Tengah Jalan, Aksi Bapak-Bapak Lewat Ikut Joget Bikin Ngakak
Sama-sama anak Presiden, keduanya punya nasib berbeda di era Orde Baru. Tutut mengalami kemonceran politik di tahun-tahun ayahnya menjabat.
Pada tahun 1992, Tutut yang memang sudah dipersiapkan Soeharto muncul di depan publik sejak akhir 1980-an itu mulai aktif di Partai Golkar.
Tutut ditunjuk sebagai Ketua Koordinator Bidang (Korbid) Pemberdayaan Wanita DPP Partai Golkar. Pada tahun yang sama, ia menjabat jadi anggota MPR RI hingga tahun 1998.
Puncaknya, Tutut diangkat sebagai Menteri Sosial di Kabinet Pembangunan VII hanya dalam waktu dua bulan, 14 Maret hingga 21 Mei 1998. Pasalnya, Orde Baru lengser pada bulan yang sama.
Berbeda dengan Tutut yang moncer di Orde Baru, Megawati malah menjalani masa-masa sulit.
Peristiwa 30 September 1955 membuat pamor Soekarno turun itu juga melengserkan dari Orde Lama pada 27 Maret 1968. Hal ini juga berimbas pada Megawati sebagai perempuan dari trah Soekarno.
Megawati yang memutuskan terjun ke dunia politik dijagal berbagai pihak dari Orde Baru. Mega memjadi Wakil Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Jakarta Pusat pada 1986 dan memimpin partai tersebut pada 1993.
Namun pada tahun 1996, PDI sempat ditekan Departemen Dalam Negeri dan ABRI untuk menandatangi hasil Kongres Medan yang tak dihadari Megawati. Kongres tersebut menghasilkan Soejadi sebagai Ketum terpilih untuk PDI sehingga terjadi dualisme PDI.
Peristiwa tersebut bahkan sampai melahirkan kerusuhan dua pendukung yang menewaskan lima orang. Meski begitu belum ada kelanjutan peristwa tersebut hingga sekarang.
Karir Politik Berbalik di Era Reformasi
Berakhirnya era Orde Baru juga berpengaruh bagi Tutut yang juga bagian dari keluarga Cendana. Ia ikut lengser dari jabatan menteri yang kontroversial pada masa itu.
Tutut bahkan dilarang keluar negeri oleh kejaksaan Agung dan ditetapkan sebagai tersangka korupsi meski lolos dari bui. Saat itu, Tutut meninggalkan dunia politik dan aktif sebagai pegusaha dan aktivitas sosial.
Berbeda dengan Tutut, setahun setelah lengsernya Soeharto ia memenangkan pemilu dan menjadi wakil presiden mendampingi Gus Dur pada 1999.
Megawati bahkan menjadi presiden usai lengsernya Gus Dur pada 2001.
Sama-Sama Gagal di Pemilu 2004
Pada tahun 2004, Tutut kembali masuk politik, ia dicalonkan oleh Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) sebagai calon presiden.
Namun sayang, partainya hanya mendapat suara 2,11 persen sehingga tak bisa head to head melawan Megawati yang juga mencalonkan diri.
Meski saat itu PDIP punya pamor tinggi, Megawati kalah di laga akhir pemilu 2004 oleh SBY-Kalla.
Kini, Megawati masih menjadi Ketua Umum PDIP yang menjadi partai dari Presiden saat ini, Joko Widodo. Sementara Tutut yang fokus di bisnis juga bergabung dengan Partai Berkarya besutan adiknya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.