Suara.com - Mantan Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Dr Amin Soebandrio mengungkapkan bahwa peleburan sejumlah lembaga riset ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sudah menjadi pertanyaan bagi dunia riset global.
Amin mengatakan, sejak dilebur ke BRIN, ada sejumlah mekanisme yang diubah jika peneliti ingin berkolaborasi melakukan riset dengan peneliti luar negeri, mekanisme baru ini menjadi penghambat kolaborasi.
"Mekanismenya berbeda, teman-teman di dunia internasional juga mempertanyakan mekanisme itu, buat mereka itu sangat-sangat tidak acceptable caranya," kata Amin dalam diskusi CrossCheck, Minggu (23/1/2022).
Menurutnya, jika mekanisme baru ini terus menghambat, bukan tidak mungkin posisi peneliti dalam negeri akan melemah dibanding peneliti luar negeri, sehingga akan membuat peneliti Indonesia berada sebagai bawahan.
Baca Juga: Pakar Pertahanan: Birokratisasi Lembaga Riset Ke BRIN Melemahkan IPTEK Indonesia
"Kalau kita tidak mengakomodir keinginan teman-teman dari luar negeri untuk bekerja sama dengan kita yang sama levelnya, maka mereka akan cenderung cari yang lebih lemah, itu berbahaya sekali, mereka akan cenderung mengendalikan dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi," ucapnya.
"Jangan sampai kita menjadi objek saja untuk penelitian institusi asing, kita harus punya level yang sama dengan mereka," tegas Amin.
Pakar Pertahanan dan Militer Connie Rahakundini menambahkan, beberapa peneliti yang diberhentikan kerja di lembaga riset akibat birokratisasi ke BRIN juga berpotensi ditarik oleh lembaga riset di luar negeri yang tentu akan merugikan Indonesia sendiri.
"Sekarang kawan-kawan saya yang punya kesempatan ke luar negeri mereka akan langsung pergi ke luar, nah bagaimana sekarang menyelamatkan itu?" kata Connie.
Sementara, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan integrasi Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman ke BRIN bukan untuk menghilangkan lembaga penelitian tersebut, melainkan akan semakin memperkuat kelembagaan LBM Eijkman.
"Proses integrasi ini saya jadikan momentum untuk melembagakan LBM Eijkman, yang tadinya hanya sebuah unit ad hoc di Kementerian Riset dan Teknologi, sekarang resmi menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman," kata Handoko dalam keterangan tertulis, Kamis (6/1/2021).
Melalui integrasi itu, kata Handoko, permasalahan tidak dapat diangkatnya pegawai negeri sipil (PNS) di LBM Eijkman sebagai peneliti, kini dapat dilantik sebagai peneliti.
Kepada non-PNS di LBM Eijkman, BRIN menawarkan berbagai macam skema.
Bagi mereka yang non-PNS dan sudah S3 dan usianya maksimal 45 tahun, dapat mengikuti mekanisme penerimaan CPNS. Jalur itu sudah dilakukan oleh beberapa orang.
Sedangkan untuk yang di atas 45 tahun dapat mendaftar sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Bagi mereka yang belum menyelesaikan jenjang pendidikan S3, BRIN menawarkan skema untuk melanjutkan pendidikan dengan mekanisme beasiswa berbasis riset.
Terkait isu pemecatan sejumlah honorer, Handoko menuturkan selama ini tenaga honorer tersebut direkrut oleh lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) yang sekarang terintegrasi dengan BRIN.
Handoko menuturkan tidak ada pemecatan terhadap sejumlah tenaga honorer, namun karena kontrak mereka telah berakhir pada Desember 2021.
Sebanyak 33 lembaga riset dari kementerian/lembaga (K/L) telah terintegrasi dengan BRIN dan dalam waktu dekat enam K/L lainnya akan segera terintegrasi.
Integrasi tersebut meliputi seluruh sumber daya riset, yakni sumber daya manusia, infrastruktur, dan penganggaran. Integrasi lembaga riset di Indonesia ke dalam BRIN merupakan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN.