Suara.com - Kepolisian Israel mengusir sebuah keluarga Palestina dan menghancurkan rumah mereka di kawasan Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Para anggota kepolisian menyerbu rumah keluarga Salhiya sebelum fajar, menangkap beberapa orang sebelum buldoser masuk.
Sebelumnya terjadi ketegangan selama dua hari setelah kepala keluarga mengancam akan meledakkan rumahnya daripada pindah.
Aparat Israel mengatakan bangunan itu ilegal - klaim yang ditolak pihak keluarga - dan lahan itu dibutuhkan untuk pembangunan sekolah.
Baca Juga: Empat Negara Besar Eropa Desak Israel Hentikan Pembangunan Pemukiman Di Yerusalem
Kasus ini telah menarik perhatian internasional. Uni Eropa dan Inggris memperingatkan bahwa penggusuran di wilayah pendudukan adalah ilegal menurut hukum internasional dan telah memicu ketegangan di Yerusalem.
Baca juga:
- Sheikh Jarrah, wilayah sengketa yang rentan memicu pertikaian Israel-Palestina
- Palestina tolak tawaran Israel untuk akhiri ancaman pengusiran di Sheikh Jarrah
- Memahami konflik Palestina-Israel berusia 100 tahun
Baik Israel maupun Palestina saling mengklaim kota kuno tersebut.
Israel - yang menduduki bagian timur yang sebelumnya dikuasai Yordania pada tahun 1967, dan menguasai seluruhnya pada tahun 1980 lewat langkah yang tidak diakui secara internasional - menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya.
Sedangkan pemimpin Palestina menginginkan Yerusalem Timur - yang merupakan rumah bagi sekitar 350.000 warga Palestina dan 200.000 pemukim Yahudi - sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan.
Baca Juga: Israel Usir Warga Palestina dari Sheikh Jarrah, Rumah-rumah Digusur
Penggusuran pertama sejak 2017
Wartawan BBC Yolande Knell di Yerusalem mengatakan ini adalah penggusuran pertama di Sheikh Jarrah sejak 2017.
Namun, tidak seperti kasus-kasus lokal lainnya, penggusuran itu tidak melibatkan pengambilalihan paksa oleh kelompok pemukim Yahudi.
Pemerintah Kota Yerusalem mengatakan rumah Salhiya itu dibangun secara ilegal dalam beberapa tahun terakhir di atas lahan yang diperuntukkan bagi sekolah anak-anak Palestina dengan kebutuhan khusus.
"Pengosongan daerah itu telah disetujui oleh semua pengadilan, termasuk Pengadilan Distrik Yerusalem," kata pemerintah kota dan kepolisian Israel dalam sebuah pernyataan bersama.
"Sejak perintah pengosongan dikeluarkan pada tahun 2017, keluarga yang tinggal di bangunan ilegal tersebut diberi kesempatan yang tak terhitung jumlahnya untuk menyerahkan lahan itu dengan baik-baik, tetapi sayangnya mereka menolak untuk melakukannya, bahkan setelah pertemuan dan upaya dialog berulang kali oleh Pemerintah Kota Yerusalem."
Para aktivis Israel yang menentang penggusuran itu menunjukkan bahwa sebidang tanah di dekat lahan tersebut, yang tetap kosong, sebelumnya diambil untuk membangun sekolah dan kemudian diberikan kepada sebuah organisasi Yahudi ultra-Ortodoks untuk dibuat seminari.
Keluarga Salhiya membantah bahwa rumah mereka itu dibangun secara ilegal dan mengatakan bahwa mereka telah tinggal di sana sejak tahun 1950-an.
Pengacara mereka, Walid Abu Tayeh, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa pembongkaran itu ilegal karena pemerintah kota hanya mendapat izin dari pengadilan untuk mengosongkan properti itu.
Dia menambahkan bahwa pengadilan akan mendengar permintaan mendesak untuk menghentikan penggusuran pada hari Minggu.
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menyebut pembongkaran itu sebagai "kejahatan perang" dan memperingatkan bahwa pemerintah Israel "bertanggung jawab atas akibatnya yang berbahaya".
Direktur Human Rights Watch Israel dan Palestina Omar Shakir mengatakan keluarga Salhiya sudah menjadi "pengungsi dua kali" karena sebelumnya sudah diusir dari rumah mereka di kawasan Ein Kerem, Yerusalem Barat, selama perang yang berlanjut pada pembentukan negara Israel pada tahun 1948.
Konsulat Inggris, yang terletak di seberang jalan dari lokasi pembongkaran, mencuit pada hari Senin: "Penggusuran di wilayah pendudukan bertentangan dengan hukum kemanusiaan internasional dalam segala bentuk kecuali keadaan yang paling luar biasa.
"Inggris mendesak pemerintah Israel untuk menghentikan praktik semacam itu yang hanya meningkatkan ketegangan di lapangan."
Mei tahun lalu, konflik penggusuran di Sheikh Jarrah memicu kekerasan terburuk antara polisi Israel dan warga Palestina di Yerusalem dalam beberapa tahun terakhir.
Kekerasan tersebut lalu memicu konflik 11 hari antara Israel dan kelompok militan Hamas, yang menembakkan roket dari Gaza yang disebut sebagai balasan terhadap "pelecehan" oleh Israel di Sheikh Jarrah.
Anda mungkin juga tertarik dengan tayangan berikut: