Presdir dan Dirut PT DNK Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Korupsi Proyek Pengadaan Satelit di Kemhan

Rabu, 19 Januari 2022 | 05:49 WIB
Presdir dan Dirut PT DNK Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Korupsi Proyek Pengadaan Satelit di Kemhan
Ilustrasi - korupsi. ANTARA/Shutterstock/am.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung kembali memeriksa dua orang saksi terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan). Salah satu yang diperiksa, yakni Presiden Direktur PT. Dini Nusa Kusuma berinisial AW.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyebut AW diperiksa bersama satu saksi lainnya berinisial SW. Dia merupakan Direktur Utama PT. Dini Nusa Kusuma.

"SW selaku Direktur Utama PT. Dini Nusa Kusuma/Tim Ahli Kementerian Pertahanan. Sedangkan AW selaku Presiden Direktur PT. Dini Nusa Kusuma," kata Eben kepada wartawan, Selasa (18/1/2022) malam.

Dalam perkara ini, penyidik Jampidsus total telah memeriksa lima orang saksi. Tiga saksi lainnya telah diperiksa pada Senin (17/1) lalu.

Baca Juga: Erick Thohir Akan Lakukan Ini untuk Tekan Korupsi di Lingkungan BUMN

Eben menyebut ketiga saksi yang diperiksa masing-masing berinisial PY, RACS, dan AK.

PY merupakan Senior Account Manager PT. Dini Nusa Kusuma. Sedangkan, RACS selaku Promotion Manager PT. Dini Nusa Kusuma.

"AK selaku General Manager PT. Dini Nusa Kusuma," kata Eben kepada wartawan, Senin (17/1/2022) malam.

Kelima saksi, kata Eben, diperiksa guna kepentingan penyidikan. Salah satunya mencari fakta hukum tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan Satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) Kemhan tahun 2015 sampai dengan 2021.

"Bahwa PT DNK sendiri merupakan pemegang Hak Pengelolaan Filing Satelit Indonesia untuk dapat mengoperasikan Satelit atau menggunakan Spektrum Frekuensi Radio di Orbit Satelit tertentu," jelas Eben.

Baca Juga: Rugikan Negara Rp 1, 5 Miliar, GL Akhirnya Ditetapkan sebagai Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Oleh Kejati Kalbar

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD sebelumnya mengungkap adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi di lingkungan Kemhan, pada tahun 2015. Akibat penyalahgunaan kewenangan itu, negara terancam rugi hingga kurang lebih Rp 800 miliar.

Mulanya, Kemhan ingin membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan lalu meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo) untuk bisa mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur sehingga dapat membangun Satkomhan.

Kemhan lantas membuat kontrak dengan PT Avanti Communication Limited untuk menyewa Satelit Artemis pada 6 Desember 2015. Pada saat membuat kontrak itu, Kemhan ternyata tidak memiliki anggaran untuk membayarnya.

"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat Satkumham, satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannnya belum ada," kata Mahfud dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (13/1/2022).

Karena belum ada pembayaran sewa yang masuk, maka PT Avanti menggugat Kemhan ke London Court of International Arbitration pada 9 Juli 2019.

Hasilnya, pengadilan tersebut menjatuhkan putusan negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filling satelit sebesar Rp 515 miliar.

Bukan hanya dengan PT Avanti saja, Kemhan pada saat itu juga melakukan kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016.

Mahfud menerangkan kalau pihak Navayo juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan, menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.

Akhirnya Navayo mengajukan tagihan sebesar 16 juta USD ke Kemhan. Namun pada saat itu pemerintah menolak untuk membayar.

Akibatnya, Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan pada 22 Mei 2021, Pengadilan Arbitrase Singapura memerintahkan Kemhan untuk membayar 20.901.209 USD atau sekitar Rp 299 miliar kepada Navayo.

Kata Mahfud, Kemhan juga bisa berpotensi kembali ditagih pembayaran oleh perusahaan lain yakni Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat karena sudah menandatangani kontrak sewa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI