Suara.com - Raja Belanda, Willem-Alexander, telah mengumumkan bahwa pihak kerajaan berhenti menggunakan kereta emas bersejarah, yang mengundang perdebatan karena dikaitkan dengan perbudakan di masa lalu.
Kritikus mengatakan bahwa kereta kuda itu, yang disebut De Gouden Koets, salah satu sisinya dihiasi dengan lukisan bergambar orang-orang wilayah jajahan yang mengagungkan masa kolonial Belanda.
Di antara berbagai karakter dalam lukisan tahun 1896 itu, terdapat sejumlah orang berkulit cokelat yang identik dengan individu asal Hindia Belanda--kini Indonesia.
Adapun kereta tersebut biasanya dipakai untuk membawa raja Belanda ke pembukaan sidang parlemen, namun sejak 2015 tidak digunakan.
Baca Juga: Perbudakan Modern: Pengakuan Pekerja Migran yang Dieksploitasi di Australia
Baca juga:
- Pameran 'Revolusi! Kemerdekaan Indonesia' di Belanda dan istilah periode 'Bersiap' yang memantik polemik
- Ketika Belanda menghadapi masa lalu mereka sebagai penjajah
- Mengapa film Belanda tentang aksi pembantaian Westerling di Indonesia picu kontroversi?
Selama bertahun-tahun kendaraan tersebut mengundang perdebatan karena lukisan di salah satu sisi kereta itu - yang berjudul Penghargaan dari Wilayah-wilayah Koloni - menggambarkan sejumlah orang kulit hitam dan Asia sedang mempersembahkan barang-barang hasil bumi, termasuk kakao dan tebu, kepada seorang wanita muda kulit putih yang duduk - melambangkan Belanda.
Di sebelah kanan gambar perempuan itu terdapat beberapa orang yang berpakaian adat Jawa sambil membawa persembahan dengan menundukkan kepala. Ada pula yang sambil duduk bersimbuh sambil menghaturkan sembah.
https://twitter.com/Geluidjager/status/1481670150948593665/photo/2
Di sebelah kiri adalah seorang pria yang menawarkan sebuah buku kepada seorang anak laki-laki. Adegan itu, menurut pelukisnya, Nicolaas van der Waay, menggambarkan hadiah "peradaban" Belanda kepada koloni-koloninya.
Baca Juga: UMK 2022 Tak Sampai Rp 2 Juta, Buruh Sebut Pemkot Banjar Ciptakan Perbudakan
Kontroversi kereta kerajaan itu juga sempat ramai diberitakan media-media massa Indonesia pada 2010.
Salah satunya Kompas.com, yang mengabarkan hangatnya perbincangan soal lukisan kereta tersebut di media sosial karena "gambar tersebut seolah-olah menyiratkan kebanggaan zaman kolonial."
Lalu muncul petisi secara online di Belanda yang meminta kereta kuda emas itu dimuseumkan saja "untuk mendidik masyarakat agar bersikap kritis atas sejarah kolonial kita."
Dalam sebuah video resmi yang mengumumkan langkah tersebut, Raja Willem-Alexander menerima bahwa kereta itu menyinggung sejumlah besar pihak dan meminta negaranya untuk bersama-sama menghadapi warisan sejarah kolonial tersebut.
"Tidak ada gunanya mengutuk dan mendiskualifikasi apa yang telah terjadi melalui kaca mata di era kita," katanya.
"Melarang benda dan simbol sejarah saja tentu juga bukan solusi. Justru diperlukan upaya bersama yang lebih mendalam dan memakan waktu lebih lama. Sebuah upaya yang menyatukan kita ketimbang memecah belah.
"Selama ada orang yang tinggal di Belanda yang merasakan sakitnya diskriminasi setiap hari, masa lalu itu akan tetap membayangi zaman kita," tambahnya.
Kereta itu dalam beberapa tahun terakhir sudah tidak digunakan dan telah berada di Museum Amsterdam setelah selesai dipugar.
Juru kampanye anti-rasisme di Belanda menyambut baik langkah tersebut, tetapi juga telah meminta raja untuk mengambil tindakan lebih lanjut untuk menghadapi warisan kolonialisme.
"Dia mengatakan masa lalu tidak boleh dilihat dari perspektif dan nilai-nilai masa kini," kata Mitchell Esajas, salah satu pendiri The Black Archives di Amsterdam.
"Saya pikir itu keliru karena juga dalam konteks sejarah perbudakan dapat dilihat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan sistem kekerasan."
Baca juga:
- Anak-anak korban eksekusi tentara Belanda tolak tawaran ganti rugi
- Belanda tawarkan ganti rugi Rp86 juta kepada anak-anak korban pembantaian setelah Proklamasi
- Raja Belanda minta maaf atas 'kekerasan berlebihan' di masa lalu tapi tak cakup seluruh masa penjajahan
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak warga Belanda telah mendesak negara mereka untuk menyadari masa lalu kolonialnya.
Selama abad ke-17, Belanda menaklukkan sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, Afrika Selatan, Curaçao, dan Nugini. Saat itu Belanda menjadi pemain kunci dalam perdagangan budak transatlantik.
Tahun lalu, Wali Kota Amsterdam, Femke Halsema, secara resmi meminta maaf atas peran kota tersebut dalam perdagangan budak di masa lalu.
Langkah itu membuatnya berselisih dengan Perdana Menteri Mark Rutte, yang telah menolak seruan permintaan maaf resmi dari pemerintah.