Hikmahanto: Dugaan Korupsi Alibi Pemerintah Buat Hindari Keputusan Arbitrase Pengadaan Satelit

Senin, 17 Januari 2022 | 18:15 WIB
Hikmahanto: Dugaan Korupsi Alibi Pemerintah Buat Hindari Keputusan Arbitrase Pengadaan Satelit
Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani Hikmawanto Juwana. [Suara.com/Stephanus Aranditio]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, Hikmahanto Juwana meminta pemerintah untuk tidak menggunakan alibi adanya dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan satelit oleh Kementerian Pertahanan pada 2015 untuk menghindari eksekusi dari putusan arbitrase. Justru menurutnya pemerintah mesti fokus pada bagaimana bisa membatalkan putusan arbitrase itu.

Secara singkat, PT Avanti Communication Limited menggugat Kemhan ke London Court of International Arbitration pada 9 Juli 2019 karena dianggap melanggar kontrak sewa Satelit Artemis. Pengadilan memutuskan kalau Indonesia harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filling satelit sebesar Rp515 miliar.

Selain itu, perusahaan Navayo juga menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan pada 22 Mei 2021, Pengadilan Arbitrase Singapura memerintahkan Kemhan untuk membayar 20.901.209 USD atau sekitar Rp299 miliar kepada Navayo.

Namun, menurut kaca mata Hikmahanto, pemerintah saat ini justru tengah mencoba untuk menghindari penanggungjawaban atas keputusan pengadilan itu. Caranya ialah dengan mengungkap adanya dugaan tindak pidana korupsi.

"Kalaupun ada indikasi tindak pidana korupsi maka hal tersebut perlu untuk terus diproses namun tidak seharusnya digunakan sebagai strategi untuk menghindari eksekusi atas putusan arbitrase," kata Hikmahanto melalui keterangan tertulisnya, Senin (17/1/2022).

Mengungkap tindak pidana korupsi tersebut dianggap Hikmahanto sebagai strategi pemerintah supaya bisa menolak putusan arbitrase yang diminta.

"Strategi seperti ini bisa saja berhasil atas dasar putusan yang hendak dieksekusi melanggar ketertiban umum di Indonesia," ujarnya.

Hikmahanto lantas menjelaskan soal logikanya melihat dua putusan yang berbeda tersebut. Menurutnya, inti dari proses hukum itu bukan lah banding sehingga tidak memasalahkan substansi yang diperkarakan. Tetapi proses hukum tersebut terkait dengan prosedural dalam berarbitrase.

Upaya hukum itu harus dilakukan di Pengadilan di mana putusan arbitrase diputus. Jika arbitrase diputus di London maka harus diajukan ke Pengadilan London. Dengan demikian, alasan untuk membatalkan pun harus berdasarkan hukum Inggris.

Baca Juga: Tegas! Mahfud MD Sebut Jaksa Agung Siap Tangani Dugaan Korupsi Proyek Satelit Kementerian Pertahanan

Namun karena putusan telah dijatuhkan di tahun 2018 menjadi permasalah apakah hukum Inggris memungkinkan untuk melakukan proses pembatalan saat ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI