Suara.com - Seorang anak perempuan di Kota Bogor menjadi pelampiasan nafsu seksual tiga lelaki baru-baru ini.
Dua pelaku yang merupakan mahasiswa dan seorang wiraswasta kemudian ditangkap polisi Kota Bogor. Mereka sudah ditetapkan menjadi tersangka, dijerat dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Kasus itu menambah panjang daftar anak menjadi korban kekerasan seksual sekaligus (seharusnya) menjadi momentum Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus lebih cepat disahkan DPR.
Beberapa hari sebelum terjadi kasus di Kota Bogor, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban baru saja merilis 288 korban anak korban pelecehan seksual di lingkungan pendidikan mengajukan permohonan ke LPSK.
Anak korban kekerasan seksual di Kota Bogor masih berusia 15 tahun 10 bulan. Dia dipaksa melayani nafsu seksual para pelaku pada Kamis, 6 Januari 2022, malam, di sebuah rumah kontrakan yang terletak di Kecamatan Tanah Sareal.
"Perbuatan cabul dengan cara secara bergiliran pelaku mencabuli korban," kata Kepala Sub Seksi Penerangan Masyarakat Polresta Bogor Kota Inspektur Polisi Satu Rahmat Gumilar, Senin (17/1/2022).
Dua mahasiswa pelaku berinisial FMM (21) dan MF (21), sedangkan wiraswasta pelaku berinisial IM (23).
Mereka dibekuk di rumah masing-masing pada Minggu, 9 Januari 2022.
"Tanpa perlawanan dan selanjutnya dilakukan penyidikan lebih lanjut," kata Rahmat.
Baca Juga: Baleg Yakin Pembahasan RUU TPKS Berjalan Berkesinambungan
Belum lama ini, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur juga terjadi di Jakarta Selatan. Pelakunya Edi Warman (60), paman korban. Edi Warman sudah ditangkap polisi dan sekarang bersiap menghadapi pengadilan.
Untuk mendorong penanganan kasus itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengunjungi Polsek Setiabudi dan menemui orang tua korban.
Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Jasra Putra mengatakan korban kekerasan seksual seringkali berhadapan dengan kondisi multidimensi.
Itu sebabnya, kata dia, dibutuhkan keberpihakan dan pengarusutamaan korban dalam penyelesaian hukum.
Dampak yang dirasakan korban kekerasan seksual sangat besar, katanya. Misalnya, tidak adanya saksi mata (kecuali pelaku) sehingga sulit memenuhi unsur bukti. Bila pelaku memiliki akses lebih pada alat hukum, pelaku bisa merasa memiliki hak impunitas.
"Seolah relasi kuasa berlebih ini, sulit ditembus para korban," kata Jasra saat dihubungi Suara.com, Senin (10/1/2022).
RUU TPKS, kata Jasra, merupakan alat perjuangan para korban dan penyintas dalam memutus relasi kuasa para pelaku. RUU TPKS bisa menghadirkan keadilan bagi para korban, terutama rehabilitasi yang berkeadilan, katanya.
Pengesahan RUU TPKS, kata Jasra, menjadi harapan mendapatkan keadilan bagi para korban.
Situasi kejahatan seksual yang sering menyembunyikan hak-hak korban karena saksinya pelaku kejahatan seksual itu sendiri sehingga korban membutuhkan pembuktian yang kondusif dengan didukung dari lintas profesi di luar korban.
"Kita membayangkan kalau korbannya anak anak, mereka tidak sekuat orang dewasa. Apalagi kejadian belum lama di Setiabudi, paman memaksa anak kecil 9 tahun, yang ibunya tidak kuat menahan derita anak," katanya.
Payung hukum untuk penanganan para korban kekerasan seksual perlu diperkuat karena selama ini keberpihakan kepada para korban masih sangat jauh, kata Jasra.
"Tetapi keberpihakan untuk para korban terasa masih jauh, apalagi bila korbannya anak, tentu perlu upaya lebih lagi dari negara, karena derita panjang dalam memahami kekerasan seksual yang tidak akan terus berproses dipahami anak dengan penuh luka batin dan emosional dan bahkan harus menanggung yang tidak pernah dibayangkan oleh anak. Tetapi harus diterimanya seumur hidup." [rangkuman laporan Suara.com]