Suara.com - INI kisah tentang seorang ibu rumah tangga yang terpapar HIV. Dia terinfeksi virus dari suaminya yang dulu sering memakai narkoba dengan jarum suntik. Keinginannya pada suami sederhana saja, bersedia saling menguatkan satu sama lainnya. Mau saling memotivasi supaya kualitas hidup menjadi lebih baik sehingga umur makin panjang dan dapat mendampingi anak hingga dewasa.
"Mari makan bu," kataku kepada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu pengambilan obat sebuah rumah sakit umum di Jakarta.
Tempat pengambilan obat dijaga seorang perempuan tua yang selalu datang tepat jam 07.00 WIB.
Tanganku sambil membuka ransum makanan bekal dari rumah.
Baca Juga: Kisah Sopir Bajaj Perempuan: Berani Lawan Pelecehan, Berteman dengan Preman
"Terimakasih, saya juga bawa makanan tadi," kata perempuan berjilbab yang duduk tak jauh dari tempat dudukku.
Kulihat perbekalan makanannya sudah habis. Bekas tempat makanan dan minuman masih ditaruh di atas dinding tempat dia menyandarkan punggung.
"Sekarang kalau beli makanan di luar (rumah) mahal-mahal," katanya lagi.
Sesekali matanya menatap ke arah layar ponsel. Melihat berita-berita terbaru dari sebuah portal media nasional.
Di awal tahun 2022, harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik. Harga cabai, harga minyak goreng, bawang merah, semuanya hampir semakin tak terbeli bagi masyarakat berekonomi lemah.
Baca Juga: Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya
Ekonomi yang serba sulit, apalagi dimasa pandemi Covid-19, menjadi alasan utama bagi dia selalu bawa bekal makanan dari rumah setiap kali bepergian.
Saat kami sedang ngobrol, seorang petugas rumah sakit datang dan berbicara kepada perempuan berjilbab di sebelahku. "Tidak ada keluhan kan bu?"
"Tidak ada, pak," jawab ibu berjilbab.
Petugas lelaki tadi pergi lagi dan selanjutnya masuk ke dalam ruang pelayanan.
Sambil menoleh ke arahku, ibu berjilbab berkata "keluhannya susah uang."
Dia tertawa. Aku ikut terkekeh mendengarnya. Pandai melawak juga, batinku.
Dia berasal dari Jakarta Selatan. Usianya 33 tahun. Seorang ibu dari satu anak yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP.
"Ibu pasien apa di RS ini," kataku.
"Itu ada tulisannya." Matanya melihat ke papan yang digantung di lorong. Tertulis di sana: unit pelayanan HIV.
Aku ragu dengan apa yang baru saja kudengar dari perempuan itu dan mengonfirmasi lagi. "HIV bu?"
"Iya HIV," katanya.
"Sama seperti abang kan?"
Dia mengira aku seorang pasien HIV, mungkin karena ikut duduk di bangku ruang tunggu pengambilan obat yang biasa dipakai pasien HIV.
"Saya pasien poli hematologi dan gastroenterologi, cuma numpang duduk di sini."
Tempat tunggu itu memang berada di depan unit layanan HIV. Tapi aku yakin tidak semua orang yang duduk di sana pasien kasus HIV. Seperti halnya aku sendiri, pagi-pagi setiap ke RS ini sering duduk di situ hanya untuk numpang tempat sarapan sambil menunggu poli di lantai bawah dibuka petugas. Tempatnya tenang dan jarang terjadi kerumunan.
"Saya sudah empat tahun, mas, berobat di sini," ujarnya, seolah-olah dapat membaca pikiranku.
Dia terdeteksi menderita HIV tahun 2017.
Dari keluarga baik-baik
Kenyataan hidup yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya.
Perilaku pribadinya jauh dari risiko terjangkit HIV. Dia tidak pakai narkoba, apalagi konsumsi narkoba suntik secara bergantian. Tidak pula melakukan free sex.
Ibu berjilbab berasal dari keluarga baik-baik. Taat agama.
Itu sebabnya, dia yakin seyakinnya tidak mungkin tertular HIV karena faktor penyimpangan perilaku pribadi.
Ingatan ibu berjilbab kembali ke masa lalu.
Sambil makan, aku mendengarkan baik-baik semua ceritanya. Sesekali aku menganggukkan kepala.
Sebelum menikah, dia tidak banyak mengetahui latar belakang kehidupan calon suaminya.
Ketika dia dijodoh-jodohkan dengan lelaki itu, sebenarnya dia sedang dekat dengan anggota TNI.
Dua bulan setelah perkenalan, dia dinikahkan. Dia rela meninggalkan seorang anggota TNI yang sudah lebih dulu dekat dengannya.
Dia bercerita bagaimana peran orang tua calon suami yang terus-menerus menjodoh-jodohkan dan ingin pernikahan dilangsungkan lebih cepat. Mengingat itu, sekarang dia merasa menyesal mau begitu saja dijodohkan tanpa mengetahui lebih jauh siapa calon pasangan.
Kehidupan setelah menikah awalnya berlangsung baik-baik saja. Seperti halnya sinetron yang diputar di televisi swasta Semuanya indah. Ibu berjilbab kemudian mengandung.
Setelah menikah dan hamil, ibu berjilbab dilarang pergi bekerja oleh suaminya.
Suami berjanji yang akan menjadi tulang punggung rumah tangga.
Mereka tinggal menumpang di rumah orang tua dari ibu berjilbab.
Dia menerima menjadi ibu rumah tangga secara total. Walau sebenarnya hati kecil berontak ingin tetap aktif bekerja, untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Sampai suatu hari, di atas meja kamar ditemukan sebuah berkas hasil pemeriksaan medis. Berkas itu memancing rasa penasaran dan ibu berjilbab tak tahan untuk melihatnya.
"Di situ tertulis HIV. Waktu itu saya nggak tahu itu apa. Setelah saya googling, saya baru ngeh soal HIV," katanya.
HIV artinya kurang lebih virus yang memperlemah sistem kekebalan tubuh.
Tapi dia tidak tahu itu berkas milik siapa. Bagian nama pasien telah dihilangkan. Disobek-sobek.
Semula di kepalanya sama sekali tidak terbayang suaminya yang menjadi penderita HIV. Dia tanya suaminya sepulang kerja soal hasil pemeriksaan medis yang ditaruh di meja.
Tanpa diduganya, suami menjawab dengan tiba-tiba sujud-sujud sambil minta maaf.
Suami mengakui telah terinfeksi HIV.
Dia juga bercerita mengenai kemungkinan darimana virus menyasar tubuhnya.
Pikiran ibu berjilbab digelayuti kekhawatiran semenjak hari itu.
Dia menjadi kepikiran juga jangan-jangan dirinya juga telah tertular virus dari suami. Dia teringat tidak pernah menggunakan alat pengaman tiap kali berhubungan badan.
Mula-mula ibu berjilbab tak segera periksa ke dokter.
Tapi kemudian suaminya menjadi sering sakit-sakitan -- tak semua kasus sering sakit-sakitan. Sering lemas di rumah.
Baru setelah itu, ibu berjilbab memberanikan diri untuk konsultasi dengan dokter dan menjalani tes HIV.
"Saya ternyata tertular dari suami," katanya.
Suaminya dulu seorang peminum minuman beralkohol dan mengonsumsi narkoba dengan cara suntik. Dia juga perokok berat. Bahkan hingga bertahun-tahun setelah dinyatakan positif HIV, tetap menghisap rokok.
Ibu berjilbab menggambarkan perasaan pilu ketika pertamakali dirinya dipastikan menjadi orang dengan HIV.
Rasa-rasanya ingin mengakhiri hidup. Tapi dia ingat anaknya yang masih kecil.
Dia merasa umurnya tidak akan panjang. Sepengetahuannya HIV belum ada obatnya. Dia membayangkan kalau meninggal dunia duluan dengan siapa anaknya nanti hidup.
Dia ingin marah. Terutama marah kepada suami yang membawa virus.
Dia menyesal baru belakangan menyadari ternyata suaminya pecandu narkoba. Mengapa suami tak pernah cerita. Konsumsi narkoba dengan jarum suntik berganti-gantian ialah faktor risiko orang terinfeksi HIV.
Tapi rasanya sia-sia kalau marah dan menyalahkan. Semua sudah terjadi.
Tidak harmonis
Kehidupan rumah tangga mereka semakin lama semakin tidak harmonis.
Hingga bertahun-tahun setelah menjadi orang dengan HIV, suami bukannya menjadi pribadi yang bijak, tapi semakin egois.
Ibu berjilbab menyebut suaminya sering marah tanpa alasan yang jelas.
Selalu merasa paling benar, walaupun sebenarnya sikap dan tindakannya sering menyakiti istri.
Suami yang tidak peduli dengan istri. Suami yang posesif dan semakin mengekang kebebasan istri. Setiap akhir pekan, ponsel istri ditahan. Akun di media sosialnya dihapus semua.
"Dia pernah bilang, kalau dia nanti meninggal, saya tidak boleh nikah lagi," kata ibu berjilbab.
Ibu berjilbab heran dengan tindak-tanduk suaminya. Padahal dia tidak pernah kepikiran untuk mendua, seperti yang mungkin dipikirkan suami.
Makin lama ibu berjilbab makin tertekan. Yang dia inginkan dari suaminya tidak banyak. Cuma menjadi suami yang lebih sabar dan sayang istri.
Dia sudah berusaha menyampaikan isi hatinya, tapi rasa-rasanya tak berdampak pada suami.
Dengan watak suaminya yang seperti itu, dia mengaku siap jika sewaktu-waktu diajak cerai.
Dia merasa sudah tidak ada cinta lagi dalam kehidupan rumah tangganya.
Jika pikirannya sedang liar, dia menunggu suami melakukan KDRT agar bisa menjadi alasan mengusirnya dari rumah dan melaporkannya kepada polisi.
Kadang-kadang ketika sedang gundah, dia menyesal kenapa dulu mau dijodohkan dengan lelaki yang kini jadi suaminya. Dia teringat anggota TNI yang dekat dengannya. Teringat masa mudanya yang sehat dan aktif.
Jika sedang bimbang, dia berusaha mengingat pengalaman hidup ibu C sesama orang dengan HIV yang pernah curhat di ruang tunggu RS.
Ibu C menyimpan ketakutan jika membayangkan masa hari tuanya nanti. Sampai di atas usia 40 tahun dia belum punya anak. Siapa yang akan merawatnya kelak.
Ibu C sudah tiga kali kawin. Suami pertama yang menularkan HIV sudah meninggal dunia. Suami kedua juga meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas.
Sekarang dia hidup dengan lelaki ketiga -- seorang duda dengan dua anak. Suami ketiga ini tidak bekerja dan menggantungkan semuanya kebutuhan ekonomi kepada penghasilan ibu C.
Ibu berjilbab berusaha menguatkan hati ibu C. Apapun yang terjadi harus tetap tegar. Tetap berjuang untuk semangat agar daya tahan tubuh ikut kuat.
Banyak lagi pengalaman hidup dari orang dengan HIV yang didapatkan ibu berjilbab.
Pengalaman-pengalaman itu biasanya didapat setiap kali antre mengambil obat di RS. Sesama orang dengan HIV suka berbagi cerita.
Dengan berbagi cerita dan mendengarkan perjuangan yang lain serta bagaimana mereka bangkit, memberikan semangat tersendiri.
Pengalaman ibu C menjadi suntikan semangat bagi ibu berjilbab.
Dia ingin anaknya merasa selalu mendapatkan pendampingan. Dia berharap kelak anaknya berhasil dalam studi.
Maka itu dia memelihara kesehatan sebaik-baiknya untuk memperpanjang hidup.
Hanya dia dan suami yang tahu
Sampai bertahun-tahun, ibu berjilbab menutup-nutupi keadaan rumah tangganya di hadapan ibunda yang sudah menua.
Dia dan suami juga merahasiakan jika mereka positif HIV.
Mereka selalu dibebani berbagai macam kekhawatiran jika sampai ketahuan orang sekitar.
Ibu berjilbab tidak ingin terjadi kegemparan di tengah keluarga dan lingkungan ketika menyadari di antara mereka ada yang mengidap HIV.
"Nanti apa orang pikir tentang saya, dikira bukan wanita baik-baik," katanya.
Dia juga dibebani kekhawatiran jika keadaannya sekarang diketahui orang lain, akan mendapat diskriminasi dan pengucilan.
Dia takut sekali stigma negatif dari warga sekitar rumah terhadap orang dengan HIV yang menurutnya masih kuat.
Anak yang setiap hari tidur sekamar pun sampai sekarang tak diberitahu.
Sampai kapan akan menutupi masalah. Ibu berjilbab mengatakan suatu hari nanti setelah anaknya dewasa dan siap, dia akan menceritakan semuanya. Mungkin setelah anaknya SMA.
Dia khawatir kalau sekarang diceritakan, anak akan salah paham.
Berobat
Ibu berjilbab dan suaminya berobat di salah satu rumah sakit umum di Jakarta.
Walaupun mereka merahasiakan kondisi yang sebenarnya dari keluarga karena takut tak diterima, bagus sekali mereka masih bersedia untuk konseling dan memeriksakan diri ke pusat layanan masyarakat.
Ibu berjilbab bahkan selalu menjaga pola hidup untuk memperpanjang usia dan mencegah penyebaran.
Setiap bulan, salah satu dari mereka datang ke pusat layanan masyarakat untuk mengambil obat.
Dia ingin kekebalan tubuhnya semakin baik.
Dia bercerita ketika pertamakali meminum obat untuk HIV, "rasanya seperti ngefly gitu."
Obat-obatan dari dokter harus diminum setiap hari tidak boleh terputus. Seumur hidup.
Ketika dokter pertamakali mengatakan dia harus mengonsumsi obat tiap hari selama seumur hidup, "rasanya sudah selesai hidup ini."
Bagaimana mungkin orang yang tadinya sehat walafiat, sekarang harus tergantung obat-obatan.
Dia teringat suatu kali setelah selesai diperiksa dokter.
Paru-paru, jantung, liver, ginjal, sehat semua. Tidak ada gula dan lain-lain. "Cuma ibu kena HIV aja ini," kata dokter ketika itu.
Setelah sekian lama berjuang realistis hidup dengan HIV, semangat ibu berjilbab semakin kuat.
Sekarang menjalani rutinitas mengambil obat, konsultasi, minum obat tiap hari, menjadi hal yang biasa. Tanpa beban. Kehidupannya pun menjadi lebih rileks.
Aku masih mendengarkan semua ceritanya, meskipun seharusnya aku pergi ke lab untuk mengambil hasil swab PCR.
Dengan bercerita dan didengarkan, barangkali menjadi terapi untuk semakin menguatkan diri ibu berjilbab.
Pagi itu setelah cukup lama duduk menunggu, nama suami ibu berjilbab dipanggil petugas RS yang berada di balik kaca.
Ibu berjilbab bergegas menuju depan loket. Diambilnya sebotol obat. Lalu tanda tangan di atas kertas lewat sebuah lubang pembatas antara pasien dan petugas.
Selesai pengambilan obat, dia kembali duduk di sebelahku.
Diperlihatkannya botol obat itu sebelum dimasukkan ke dalam tas.
Itulah obat yang setiap bulan sekali mesti diambil dari RS. Obat itu yang harus diminum sepanjang hayat.
Hari itu, suami dari ibu berjilbab tidak bisa datang ke RS.
Suaminya yang bekerja di sebuah bengkel kendaraan sedang sakit di rumah.
Ibu berjilbab beruntung daya tahan tubuhnya tetap terjaga karena dia selalu menjaga pola hidup. Ketika suami sakit, dia bisa diandalkan untuk pergi-pergi.
Satu lagi yang dapat dipetik dari pengalaman ibu berjilbab, HIV tidak hanya bisa menular ke orang yang melakukan free sex, pengguna narkoba jarum suntik secara bergantian atau hal-hal berisiko lainnya, tapi juga bisa menyebar ke ibu rumah tangga yang berperilaku baik. Maka setiap orang hindarilah aktivitas berisiko tertular supaya tidak menyebarkan lagi kepada orang baik.