Suara.com - Pemkab Sintang mengirimkan Surat Peringatan (SP) III Pembongkaran Masjid Miftahul Huda milik komunitas Muslim Ahmadiyah, Desa Balai Harapan, Sintang. Dalam surat tersebut Pemkab Sintang akan merobohkan jika jemaat Ahmadiyah tidak merobohkannya sendiri.
Terkait itu, Tim Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menyampaikan kondisi kekinian di Desa Balai Harapan serta mengecam tindakan Pemkab Sintang. Sebagai informasi, pada 3 September 2021 lalu, masjid tersebut dirusak oleh kelompok intoleran yang berada di sana.
Ketua Tim Advokasi Jamaah Ahmadiyah, Fitria Sumarni, mengatakan SP III terkait pembongkaran Masjid diterima oleh kelompok muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan pada 7 Januari 2022 lalu. Dalam surat tersebut, Pemkab Sintang meminta agar warga membongkar masjid tersebut dengan batas waktu 14 hari.
"Jadi komunitas di sana diminta untuk membongkar masjid dalam waktu 14 hari dan jika itu tidak dilakukan, maka Pemkab yang akan melakukan pembongkaran," kata Fitria di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jumat (14/1/2022).
Baca Juga: Penyerang Masjid Ahmadiyah Divonis Ringan, KontraS: Ironis, Negara Tak Lindungi Minoritas
Fitria mengatakan, sejak terbitnya SP I hingga SP III, Bupati Sintang, Jarot Winarno membuat framing jika Masjid Miftaful Huda sebagai bangunan tanpa izin yang digunakan sebagai tempat ibadah. Padahal, masjid tersebut sudah ada sejak tahun 2007.
Pada tahun 2020, masjid tersebut kembali dibangun karena kondisinya sudah tidak layak. Sebab, bangunan yang selama 13 tahun itu digunakan untuk beribadah itu berbahan dasar kayu -- sehingga kondisi sudah lapuk dan tidak layak.
"Tentu saja selama 13 tahun, kondisinya menjadi tidak layak, kayunya menjadi lapuk, sehingga ada keinginan mempunyai masjid yang layak, yang lebih nyaman digunakan untuk beribadah," beber Fitria.
Selama rentan waktu 13 tahun itu pula, komunitas muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan bisa menggunakan masjid untuk beribadah dengan aman, nyaman. Bahkan, mereka harmonis hidup berdampingan dengan warga sekitar.
"Tidak ada kemudian peringatan dari pemerintah setempat jika masjid ini harus berizin," papar Fitria.
Baca Juga: Respons Banjir Sintang, Pemkab Setempat Siapkan 32 Titik Lokasi Pengungsian
Framing Bupati
Bupati Sintang, Jarot Winarno, dalam pandangan Fitria, sengaja membikin framing jika Masjid Miftahul Huda untuk menghindari penggunaan perselisihan rumah ibadah sebagaimana merujuk pada peraturan bersama dua menteri tahun 2006 tentang rumah ibadah.
"Jadi bupati merasa punya kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada bangunan tak berizin berupa sanksi pembongkaran," ucap Fitria.
Padahal, ihwal perselisihan rumah ibadah, kata Fitria, jalan keluarnya musyawarah. Tidak ada sanksi pembongkaran dan tidak ada peluang untuk bupati melakulan pembongkaran.
"Bahkan jika yang dipermasalahkan adalah izin rumah ibadah berdasarkan pedoman dua menteri, pasal 6 ayat 1, menjadi tugas dan kewajiban bupati untuk kemudian memfasilitasi penertiban IMB atas rumah ibadah yang belum ada IMB," pungkas dia.
Sebelumnya, masjid milik Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kecamatan Tempunak, Sintang, Kalimantan Barat dirusak oleh ratusan massa pada Jumat (3/9) lalu. Peristiwa ini terjadi seusai para jamaah melaksanakan ibadah solat Jumat.
Untuk mengantisipasi terjadinya kericuhan, 300 personel gabungan TNI-Polri langsung dikerahkan ke lokasi.
Aliansi umat islam, massa yang merusak masjid miftaful huda, mereka mempunyai tuntutan dan akan memberikan ultimatum kepada aparat untuk membongkar, merobohkan masjid.