Suara.com - Kasus dugaan penyalahgunaan wewenang untuk pengadaan satelit di ranah Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 diduga melibatkan anggota TNI. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa masih menunggu daftar nama anggota TNI yang memang diduga terlibat pada kasus tersebut.
"Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami," kata Andika di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (14/1/2022).
Hal tersebut disampaikannya sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah untuk mengusut kasus dugaan penyalagunaan wewenang tersebut. Lebih lanjut, Andika menyebut kalau dirinya sudah bertemu dengan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk membahas kasus itu.
Dalam laporan yang disampaikan Mahfud, pemerintah akan segera memulai proses hukumnya. Selain itu Mahfud juga menyampaikan adanya sejumlah anggota TNI yang memang terindikasi kuat terlibat dalam kasus penyalahgunaan wewenang untuk pengadaan satelit tersebut.
Baca Juga: Pasukan Gabungan TNI dan Polisi Mendadak Jaga Ketat Kilang Pertamina Balikpapan, Ada Apa?
"Memang beliau menyebut ada indikaasi awal, indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum," ujarnya.
"Oleh karena itu saya siap mendukung keputusan dari pemerintah untuk melakukan proses hukum."
Dugaan Penyalagunaan Wewenang di Kemhan 2015, Negara Telan Kerugian Nyaris Rp 1 Triliun
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015. Akibat penyalahgunaan kewenangan itu, negara terancam rugi hingga kurang lebih Rp 800 miliar.
Mulanya, Kemhan ingin membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan lalu meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo) untuk bisa mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur sehingga dapat membangun Satkomhan.
Baca Juga: Dikunjungi Danjen Kopassus, Kapolda Jateng: Sinergitas TNI-Polri di Jateng Sangat Baik
Kemhan lantas membuat kontrak dengan PT Avanti Communication Limited untuk menyewa Satelit Artemis pada 6 Desember 2015. Pada saat membuat kontrak itu, Kemhan ternyata tidak memiliki anggaran untuk membayarnya.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat Satkumham, satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannnya belum ada," kata Mahfud dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (13/1/2022).
Karena belum ada pembayaran sewa yang masuk, maka PT Avanti menggugat Kemhan ke London Court of International Arbitration pada 9 Juli 2019. Hasilnya, pengadilan tersebut menjatuhkan putusan negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filling satelit sebesar Rp 515 miliar.
Bukan hanya dengan PT Avanti saja, Kemhan pada saat itu juga melakukan kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016.
Mahfud menerangkan kalau pihak Navayo juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan, menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.
Akhirnya Navayo mengajukan tagihan sebesar 16 juta USD ke Kemhan. Namun pada saat itu pemerintah menolak untuk membayar,
Akibatnya, Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan pada 22 Mei 2021, Pengadilan Arbitrase Singapura memerintahkan Kemhan untuk membayar 20.901.209 USD atau sekitar Rp 299 miliar kepada Navayo.
Kata Mahfud, Kemhan juga bisa berpotensi kembali ditagih pembayaran oleh perusahaan lain yakni Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat karena sudah menandatangani kontrak sewa.