Suara.com - Desakan agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) agar segera disahkan terus bermunculan dan disuarakan oleh kaum perempuan. Pasalnya, hingga kekinian, perspektif kesetaraan gender seringkali belum dipahami secara utuh -- khususnya di lingkungan kerja.
Perwakilan Maju Perempuan Indonesia (MPI), Ninik Rahayu menyampaikan, pengesahan RUU PPRT menjadi sangat strategis jika dikaitkan dengan pola diskriminasi gender. Dalam pandangan dia, diskriminasi gender yang belum dipahami secara utuh -- terutama kesetaraan substantif.
Sehingga, perdebatan ihwal diskriminasi gender lebih pada "side effect" saja. Artinya, tidak memberikan kontribusi pada upaya mewujudkan kesetaraan dan penghapusan diskriminasi.
"Kalau kesetaraan substanstif ini tidak digunakan, akan mempengaruhi pembangunan nasional dan itu artinya akan berpengaruh pada ketahanan nasional kita sebagai bangsa," kata Ninik dalam diskusi daring, Kamis (13/1/2022).
Ninik lantas merujuk pada indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia tahun 2010 sampai 2020 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2021 kemarin. Kata dia, ada sebuah kondisi yang berbeda ihwal IPM perempuan yang berada di bawah IPM laki-laki.
IPM perempuan, kata Ninik, berada pada posisi sedang. Sedangkan, IPM laki-laki sudah tinggi -- yang artinya berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia kita.
"Tentu akan mempengaruhi IPM nasional kita. IPM perempuan sedang, IPM laki-laki sudah tinggi," sambungnya.
Ninik yang juga merupakan dosen Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah Malang juga merujuk pada indeks pembangunan gender di indonesia. Dalam lima tahun terakhir, kata dia, tidak ada perubahan yang signifikan.
Indeks pembangunan gender ini, jelas Ninik, merupakan rasio antara indeks pembangunan manusia laki-laki dan perempuan. Jika semakin mendekati angka 100, sebetulnya akan membaik.
Baca Juga: Cara Membuat Paspor TKI untuk Kerja di Luar Negeri, Bukan Hanya Jadi PRT
"Di tahun 2015, 91,03 persen, 2020 kenaikannya sekitar 91,06 persen, artinya hanya kenaikan 0,3 persen," papar Ninik.
Ninik berpendapat, pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga harus diakui sebagai sebuah pekerjaan yang layak. Artinya, menjadi pekerjaan yang menjadi alternatif di sektor informal, yang dipilih sebagian besar perempuan indonesia -- yang akses pendidikannya masih sangat terbatas.
Dalam pandangannya, Ninik menyebut jika setiap orang punya kebebasan yang sama, dan mendapat perlakuan yang sama. Artinya, tidak boleh ada diskriminasi untuk mendapatkan perlindungan.
"Artinya pekerjaan sebagai PRT juga sebaiknya diakui dan mendapat perlindungan negara," ucap dia.
Ninik lantas melempar pertanyaan: "Lalu apa kegagapan pemangku kebijakan di negara kita?" Kegagalan itu adalah untuk menggunakan kesetaraan substantif untuk parameter.
Kesetaraan substantif, kata Ninik adalah bahwa setiap orang harus mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mendapatkan keadilan.
Dalam proses penyusunan produk hukum dan kebijakan, perlu dilakukan upaya secara khusus dalam melihat kekhususan-kekhususan perempuan dalam kesulitan yang dialami untuk mendapatkan pekerjaan.
Poin kedua adalah muatan materi RUU PPRT harmonis disesuikan dengan Undang-Undang Dasar.
"RUU PPRT adalah RUU yang kalau kita perhatikan secara subtantif, harmonis dengan perintah dalam pasal 27 maupun 28 UUD 45 serta UU Nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan," jelas dia.
Berkaitan Dengan Ketahanan Nasional
Ninik mengatakan, ada sebuah situasi yang progresif, dinamis, dan sangat digantungkan pada komponen-komponen, apa yang ikut mempengaruhi ketahanan nasional kita. Apa itu di bidang ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
Selanjutnya, ada pula ketimpangan relasi gender yang mengakibatkan posisi perempuan masih sangat direndahkan. Hal itu, kata Ninik, mempengaruhi terhadap pendidikan SDM Indonesia, terutama perempuan.
Ninik melanjutkan, SDM yang rendah tidak ada pilihan dan akses yang masih rendah menjadi alasan tidak ada pilihan bagi perempuan kecuali memilih pekerjaan lain. Imbasnya mereka kemudian memilih pekerjaan yang paling dekat dengan pengalaman hidupnya, yakni sebagai PRT.
"Sampai dengan saat ini mereka mengais-ngais mengikuti pendidikan secara organisasi yg mereka lakukan, karena tidak ada pendidikan dari pemerintah," katanya.
Hal-hal semacam itu, ucap Ninik, akan sangat berpengaruh terhadap ketahanan nasional. Hal itu akan terus menurun karena digantungkan pada SDM dan sumber daya ekonomi yang seharusnya bisa dilakukan perempuan.
"RUU PPRT diharapkan mampu menguatkan ketahanan nasional kita melalui partisipasi perempuan terutama yang berprofesi sebagai PRT."