Suara.com - Kejaksaan Agung terus melakukan pendalaman terkait adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang terjadi di Kementerian Pertahanan pada 2015 lalu soal pengadaan satelit.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut pengusutan kasus akan memasuki tahap penyidikan. Ia mengatakan, pihaknya sudah melakukan pendalaman sejak lama. Kini pendalaman tersebut sudah masuk ke tahap penyelidikan dan akan terus berjalan.
"Kami sudah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini dan sekarang sudah hampir mengerucut, insyaallah dalam waktu dekat kami akan, perkara ini naik ke penyidikan," kata Burhanuddin dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (13/1/2022).
Kendati demikian, Burhanuddin belum bisa mengungkapkan berapa total kerugian yang ditelan negara akibat adanya dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut. Pun ia belum bisa menyebut siapa saja yang terlibat pada pengadaan satelit untuk pembangunan satuan komunikasi pertahanan (Satkomhan).
Baca Juga: Dugaan Penyalahgunaan Kewenangan di Kemhan 2015, Mahfud: Negara Rugi Rp800 Miliar
"Ini masih pendalaman, artinya kami belum menentukan, penyidikan baru akan ditentukan sehari, dua hari ini ya. Pasti kerugian-kerugian sudah dilakukan pendalaman tetapi nanti finalnya ada di BPK atau BPKP," katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015. Akibat penyalahgunaan kewenangan itu, negara terancam rugi hingga kurang lebih Rp 800 miliar.
Mulanya, Kemhan ingin membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan lalu meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo) untuk bisa mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur sehingga dapat membangun Satkomhan.
Kemhan lantas membuat kontrak dengan PT Avanti Communication Limited untuk menyewa Satelit Artemis pada 6 Desember 2015. Pada saat membuat kontrak itu, Kemhan ternyata tidak memiliki anggaran untuk membayarnya.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat Satkumham, satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannnya belum ada," kata Mahfud dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (13/1/2022).
Baca Juga: Penjelasan Kejagung Soal Korupsi Pengadaan Pesawat ATR Di Garuda
Karena belum ada pembayaran sewa yang masuk, maka PT Avanti menggugat Kemhan ke London Court of International Arbitration pada 9 Juli 2019. Hasilnya, pengadilan tersebut menjatuhkan putusan negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filling satelit sebesar Rp 515 miliar.
Bukan hanya dengan PT Avanti saja, Kemhan pada saat itu juga melakukan kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016.
Mahfud menerangkan kalau pihak Navayo juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan, menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.
Akhirnya Navayo mengajukan tagihan sebesar 16 juta USD ke Kemhan. Namun pada saat itu pemerintah menolak untuk membayar,
Akibatnya, Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan pada 22 Mei 2021, Pengadilan Arbitrase Singapura memerintahkan Kemhan untuk membayar 20.901.209 USD atau sekitar Rp 299 miliar kepada Navayo.
Kata Mahfud, Kemhan juga bisa berpotensi kembali ditagih pembayaran oleh perusahaan lain yakni Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat karena sudah menandatangani kontrak sewa.