Suara.com - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan, pada tahun 2024, angka stunting di Indonesia turun 14 persen.
Pernyataan tersebut disampaikan Budi, usai mengikuti rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Jokowi terkait Strategi Percepatan Penurunan Stunting pada Selasa (11/1/2022).
"Bapak Presiden (Jokowi) memberikan target yang jelas yaitu menurunkan stunting-nya kita (Indonesia). Per tahun 2021 ini kan ada di angka 24,4 persen, beliau (Jokowi) mengharapkan bisa mencapai angka 14 persen di tahun 2024," ujar Budi dalam jumpa pers dari Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (11/1/2022).
Budi menuturkan, menurut perhitungan Kemenkes, penurunan stunting per tahun sebanyak 2,7 persen untuk mencapai target 14 persen di tahun 2024.
Baca Juga: Amsakar Sebut Angka Stunting di Batam Kecil Berbeda dengan Data BPS
Namun, Jokowi berharap agar penurunan stunting turun tiga persen di tahun 2023.
"Bapak Presiden meminta agar tahun depan kalau bisa turun tiga persen. Rata-rata memang harus turun 2,7 persen kalau mau mencapai angka 14 persen," ucap Budi.
Karena itu, ia menyarankan, perlu intervensi untuk menuturkan angka stunting. Intervensi tersebut melalui penerapan gizi spesifik dan gizi sensitif.
"Semua ini pak Kepala BKKBN yang pegang untuk mengorkestrasikan karena kalau nggak salah, tadi ada 15 kementerian/lembaga yang bergerak melakukan program intervensi ini," ujarnya.
Tak hanya itu, Budi menjelaskan untuk menurunkan stunting, 30 persen bergantung pada intervensi gizi spesifik, 70 persen bergantung pada intervensi gizi sensitif.
Baca Juga: Kasus Stunting Selama 2021 di Jatim, Bangkalan Tertinggi Kota Mojokerto Terendah
"Kami di Kemenkes membangun konsentrasi di Intervensi yang spesifik yang 30 persennya saja, kepala BKKBN menkoordinasikan kementerian kami dan lain yang itu 70 persen dari stunting ini," kata Budi.
Mantan Wamen BUMN itu juga mengatakan, pihaknya juga melakukan analisa bahwa untuk intervensi gizi spesifik, ada dua penyebab utama tingginya angka stunting.
Pertama, intervensi spesifik sebelum lahir dan intervensi setelah lahir.
Intervensi sebelum lahir kata Budi, sekitar 23 persen anak lahir dengan kondisi yang sudah stunted akibat kurang gizi selama kehamilan.
Sementara intervensi setelah lahir, stunting meningkat signifikan pada 6 sampai 23 bulan, akibat kurang protein hewani pada makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang mulai diberikan sejak enam bulan.
"Setelah lahir kita amati kenaikan paling tinggi sesudah menyusui, setelah menyusui masih bagus, begitu selesai ASI dia kan harus dikasi makanan tambahan, di situ banyak meleset, banyak kekurangannya," tuturnya.
Karenanya itu, Kemenkes akan fokus pada intervensi gizi spesifik.
"Sehingga stuntingnya naik lagi ke atas. Nah, dua titik lemah inilah yang kita fokuskan diintervensi spesifik yang menjadi tanggungjawab Kemenkes," katanya.