Suara.com - Bibi buyut Gwen Strauss mengungkap bahwa dia dulu memimpin kelompok perlawanan perempuan untuk melarikan diri dari ancaman kematian Nazi pada tahun 1945.
Sejak saat itu Gwen ingin mengetahui lebih banyak tentang kelompok yang terdiri dari sembilan perempuan tersebut.
Dia lalu menelusuri jejak langkah para perempuan itu dan berjuang agar keberanian para pendahulunya itu diakui publik.
- Kisah para perempuan yang menjadi penyiksa di kamp konsentrasi Nazi
- Mima, perempuan Indonesia 'berhati emas' yang menyelamatkan bayi Yahudi dari kejaran Nazi
- Kisah seorang biarawati yang menyembunyikan 83 anak Yahudi dari Nazi
Gwen Strauss kala itu sedang menikmati makan siang yang santai bersama bibi buyutnya yang berusia 83 tahun, Helene Podliasky.
Baca Juga: Australia Nyatakan Organisasi Neo-Nazi The Base Sebagai Organisasi Teroris
Helene berstatus sebagai warga negara Prancis sedangkan Gwen merupakan penulis berpaspor Amerika yang tinggal di Prancis.
Pada momen tahun 2002 itu, percakapan mereka beralih ke masa lalu Helene.
Gwen tahu bibi buyutnya pernah bergabung dalam gerakan Perlawanan di Prancis selama Perang Dunia Kedua. Meski begitu, dia tidak tahu apa-apa tentang kehidupan Helene pada masa itu.
Helene lantas menceritakan kisahnya ditangkap oleh Gestapo, disiksa dan dideportasi ke Jerman dan ditahan di kamp konsentrasi.
Saat pasukan sekutu kala itu mulai mendekat ke Jerman, Helene dan seluruh penghuni kamp dievakuasi. Mereka dipaksa berjalan kaki dalam ancaman kematian Nazi.
Baca Juga: Kisah Pengikut Nazi di AS Berubah Jadi Aktivis Anti Diskriminasi
"Kemudian saya kabur bersama sekelompok wanita," ujar Helene. Gwen tercengang mendengarnya.
"Saat mengungkap cerita itu, dia berada dalam fase akhir hidupnya. Saya pikir dia siap untuk membicarakannya," kata Gwen.
"Seperti banyak penyintas yang memilih diam selama bertahun-tahun, mereka sering tidak membicarakan kisah itu dengan keluarga dekat mereka.
"Mereka memilih menceritakannya pada orang yang agak jauh dari keluarga," tutur Gwen.
Helene Podliasky baru berusia 24 tahun ketika dia ditangkap karena bekerja sebagai agen penghubung untuk kelompok Perlawanan di timur laut Prancis.
Dia saat itu menggunakan nama palsunya Christine. Helene menguasai lima bahasa termasuk Jerman. Dia merupakan insinyur yang sangat mumpuni.
"Posisinya cukup tinggi di Perlawanan," kata Gwen.
"Dia telah bekerja selama lebih dari satu tahun untuk menghubungi agen dan memandu bahan parasut. Dia brilian, orang yang elegan, pendiam, tapi tangguh," ucapnya.
Periode itu merupakan tahun-tahun terakhir perang. Helene ditangkap pada tahun 1944 setelah Nazi mencoba memecah semua jaringan Perlawanan di Prancis.
Delapan perempuan lain turut ditangkap Nazi. Teman sekolah Helene yang bernama Suzanne Maudet alias Zaza adalah salah satunya.
Suzanne adalah perempuan yang optimis, baik hati, dan murah hati, kata Gwen. Sebulan setelah menikah pada usia 22 dengan sesama anggota Perlawanan, René Maudet, keduanya ditangkap Nazi.
Suzane dan suaminya dituduh membantu pemuda Prancis melarikan diri dan menghindari bekerja di pabrik-pabrik Jerman.
"Lalu ada Nicole Clarence, yang bertanggung jawab atas semua agen penghubung di seluruh wilayah Paris," kata Gwen.
Pada umur 22 tahun, Nicole ditangkap. Ketika itu kurang lebih tiga minggu sebelum pembebasan Paris pada Agustus 1944. Nicole dideportasi dengan transportasi terakhir ke luar kota.
Jacqueline Aubery du Boulley alias Jacky juga salah satu tahanan terakhir yang dibawa pergi dari Paris. Berusia 29 tahun, Jacky adalah yang tertua dalam kelompok perempuan itu.
Dia merupakan seorang janda perang dan bagian dari jaringan intelijen kunci dalam Perlawanan.
Jacky dibesarkan oleh bibi dan pamannya karena ayahnya yang bekerja sebagai pelaut sedang berada jauh dari daratan.
"Ketika dia pulang, dia tinggal bersamanya," kata Gwen.
"Jacky sangat pemarah. Dia berbicara seperti seorang pelaut dan dia tidak segan mengungkapkan pikiran. Dia merokok sepanjang waktu, dia memiliki suara serak yang sangat dalam. Dia tangguh."
Gwen juga menggambarkannya sebagai orang yang sangat setia dan perhatian.
Madelon Verstijnen alias Lon dan Guillemette Daendels yang juga dikenal sebagai Guigui berusia 27 tahun 23 ketika mereka ditangkap. Dua teman baik ini berasal dari keluarga kelas atas Belanda.
"Mereka datang ke Paris untuk bergabung dengan jaringan Belanda, tapi segera disapu dan ditangkap saat tiba di sana," kata Gwen.
"Guigui atletis, jauh lebih halus, dan tenang, sedangkan Lon adalah tipe orang yang keras kepala, orang yang memilih berada di tengah," ucapnya.
Ada juga Renee Lebon Chatenay alias Zinka yang disebut Gwen sangat berani. Disebut boneka kecil oleh Lon, Zinka bertubuh pendek dengan rambut ikal pirang dan celah di antara gigi depannya.
Dipisahkan dengan bayinya
Bersama suaminya, Zinka bekerja untuk jaringan yang membantu penerbang Inggris melarikan diri kembali ke Inggris.
Zinka ditangkap pada usia 29 tahun. Dia melahirkan saat berada di penjara. Dia memberi nama bayinya France.
Zinka hanya diizinkan untuk menjaga bayinya selama 18 hari sebelum dia dibawa pergi dan dideportasi ke Jerman. Dia selalu berkata bahwa dia harus bertahan hidup untuk putrinya.
Perempuan lain dalam kelompok ini adalah Yvonne Le Guillou alias Mena. Gwen menyebutnyanya sebagai gadis kelas pekerja yang gemar jatuh cinta.
Dia bekerja dengan jaringan Belanda di Paris dan jatuh cinta pada laki-laki Belanda pada saat itu. Dia ditangkap pada usia 22 tahun.
Yang termuda dari sembilan perempuan ini adalah Josephine Bordanava alias Josee, yang baru berusia 20 tahun ketika dia ditangkap di Kota Marseille. Dia berasal dari Spanyol dan memiliki suara indah.
Josee, kata Gwen, dapat menenangkan anak-anak dengan bernyanyi untuk mereka.
Sembilan perempuan tadi dipindahkan ke Ravensbruck, sebuah kamp konsentrasi untuk perempuan di Jerman utara. Mereka kemudian dikirim untuk bekerja di sebuah kamp kerja paksa di Leipzig untuk membuat persenjataan.
Di kamp terakhir itulah mereka menjalin persahabatan yang kuat.
Kondisi di kamp itu mengerikan. Mereka kelaparan, disiksa, ditelanjangi dan dipaksa berdiri di atas salju yang dingin untuk diperiksa.
Mereka bertahan dengan menciptakan jaringan pertemanan. Di kamp mereka memiliki tradisi membagikan semangkuk solidaritas. Setiap dari mereka menyumbang sesendok sup dan memberikannya kepada salah satu dari mereka yang paling membutuhkan.
Rasa lapar itu menyakitkan, tapi kata Gwen, mereka merasa berbicara tentang makanan yang menenangkan.
Setiap malam Nicole membacakan resep krim kastanye atau bavarois dengan stroberi yang direndam dalam kirsch. Dia akan menuliskannya di secarik kertas yang berhasil mereka curi dari kantor pengurus kamp.
Nicole membuatnya menjadi buku resep. Dia memakai sebagian kasurnya membentuk sampul buku itu.
Ketika Gwen mencatat kisah lengkap Helene tentang apa yang terjadi, bibi buyutnya menekankan meskipun mereka dipenjara, mereka tetaplah tentara.
Para perempuan itu bekerja sama menyabotase pembuatan cangkang untuk senjata yang disebut panzerfaust.
Kelaparan dan kelelahan
Pada April 1945, sekutu membombardir kamp itu berkali-kali. Nazi lalu memutuskan mengevakuasi penghuni kamp.
Situasi itu menyebabkan sekitar 5.000 perempuan di dalam kamp mengalami kelaparan dan kelelahan.
Dengan pakaian tipis dan kaki berdarah serta melepuh, mereka berjalan ke Jerman timur melintasi pedesaan.
Gwen mengatakan, bibi buyutnya dan delapan kawannya menyadari betapa berbahayanya dampak pawai menuju timur tersebut.
"Mereka benar-benar tahu bahwa mereka punya satu pilihan: mereka harus melarikan diri atau mereka akan dibunuh atau mati kelaparan," ujar Gwen.
"Jadi mereka menemukan momen ketika ada semacam kekacauan. Mereka melompat ke parit dan berpura-pura mati di atas tumpukan mayat. Saat itu ada begitu banyak tumpukan mayat, tapi perjalanan mereka tetap berlanjut."
Selama 10 hari berikutnya, para perempuan itu mencari tentara Amerika di garis depan. Jacky menderita difteri, Zinka mengidap TBC, Nicole pulih dari pneumonia, Helene menderita sakit pinggul kronis. Mereka patah tulang dan kelaparan, tapi mereka bertekad untuk menemukan kebebasan bersama.
Butuh banyak penyelidikan dan tiga perjalanan ke Jerman untuk menemukan rute yang dilalui para perempuan tersebut. Yang mengejutkan Gwen, setiap hari para perempuan itu ternyata hanya menempuh jarak yang begitu pendek.
"Kadang-kadang mereka hanya menempuh lima atau enam kilometer," kata Gwen.
"Ironisnya, mereka kelaparan sehingga membutuhkan makanan dan tempat untuk tidur dengan aman. Mereka perlu pergi ke desa dan berbicara dengan orang-orang, tapi setiap pergi ke desa, mereka justru menghadapi situasi yang paling berbahaya karena mereka bisa masuk ke perangkap atau dibunuh oleh penduduk desa."
Helene dan Lon, yang sama-sama menguasai bahasa Jerman, selalu pergi ke depan untuk meminta izin kepala desa agar diperbolehkan tidur di lumbung atau mendapatkan makanan sisa apa pun.
"Mereka segera memutuskan bahwa strategi terbaik adalah bertindak seolah-olah tidak ada yang salah dengan mereka berada di desa dan berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja dan mereka tidak takut," kata Gwen.
Ketika mereka menyadari bahwa pasukan Amerika di garis depan berada sisi lain dari sungai Mulde di Saxony, Jerman, wilayah itu adalah rintangan terakhir yang harus mereka lewati.
"Bagi saya yang paling pedih adalah berdiri di jembatan di Mulde dan melihat sungai," kata Gwen.
Gwen menemukan informasi tentang para perempuan dari arsip militer, dari beberapa catatan tertulis tentang pelarian mereka. dari pembuat film yang telah meneliti cerita Lon dan dengan berbicara dengan keluarga perempuan.
Dia telah menemukan bahwa menyeberangi sungai adalah salah satu momen paling mengerikan bagi para perempuan selama pelarian.
Setelah berhasil sampai ke seberang sungai, beberapa dari mereka cemas tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Jacky berjuang untuk bernapas, namun rekan-rekannya bertekad tidak meninggalkan satu orang pun. Saat itu sebuah Jeep meraung ke arah mereka dan dua tentara Amerika melompat keluar, menawarkan keselamatan dan sebatang rokok kepada mereka.
Selama penelitiannya, Gwen menemukan betapa sulitnya sembilan perempuan itu kembali ke kehidupan normal setelah perang.
"Mereka tampak kurus dan mengerikan, dan ada semacam rasa malu menjadi seorang perempuan yang pernah berada di kamp dan ada juga semacam rasa kesepian," kata Gwen.
"Mereka sangat dekat sebagai sebuah kelompok dan tiba-tiba mereka dibubarkan dengan orang-orang yang tidak dapat mereka ajak bicara, orang-orang yang tidak ingin mendengarnya.
"Jadi saya pikir itu pasti benar-benar mengisolasi secara psikologis. Saya pikir itu seperti PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), tapi situasi itu tidak dianggap ada karena mereka tidak dianggap tentara," ujar Gwen.
Teman seumur hidup
Sebagai perempuan muda, mereka sering diberitahu untuk merahasiakan cerita mereka, sehingga kepahlawanan mereka tidak diakui.
"Dari 1.038 Compagnons de la Liberation, kelompok yang dianggap Presiden Charles de Gaulle sebagai pemimpin Perlawanan, ada enam perempuan dan empat di antaranya sudah tewas," kata Gwen.
"Jadi itu menggelikan karena sebenarnya setengah anggota Perlawanan adalah perempuan," ujarnya.
Beberapa perempuan memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan masa lalu itu dan melanjutkan kehidupan pasca perang. Namun Guigui dan Mena tetap berteman seumur hidup dan satu sama lain menjadi ibu baptis bagi anak-anak mereka.
"Para perempuan itu berkumpul lagi belakangan ini, tak lama setelah bibi saya menceritakan kisah itu. Mereka melakukan reuni," kata Gwen.
Tapi apa yang terjadi dengan bayi yang dilahirkan Zinka?
Gwen mengatakan telah mencari France selama sekitar tiga tahun.
"Secara kebetulan yang aneh, saya benar-benar menemukannya dan ketika saya pergi menemuinya, dia tinggal tidak jauh dari tempat saya tinggal di Prancis selatan," kata Gwen.
"Dia berkata, 'Bayangkan kondisi saya setelah selama 70 tahun mempelajari semua ini tentang ibu saya," kata Gwen.
France telah dipersatukan kembali dengan ibunya setelah perang. Zinka kini sakit parah dan harus menjalani beberapa operasi karena tuberkulosis yang dia dulu derita di kamp.
Zinka terkadang terlalu lemah untuk menjaga putrinya ketika dia tumbuh dewasa, kata Gwen. Dia sering dikirim untuk tinggal bersama anggota keluarga lainnya.
Zinka meninggal pada tahun 1978, tetapi France tidak tahu tentang kisah pelarian ibunya.
"Dia tidak tahu betapa pentingnya dia bagi ibunya," kata Gwen.
Adapun Helene meninggal pada tahun 2012. Menjelang akhir hidupnya, ada saat-saat ketika Helene masih dihantui oleh masa lalu.
"Perempuan menanggung beban perang dengan cara yang tidak diakui, cara yang mendalam, dan saya ingin itu diakui dan diketahui," kata Gwen.
Namun Gwen juga ingin "tindakan kebaikan dan kemurahan hati yang luar biasa" juga diakui.
"Semua cara kecil mereka untuk saling berpegangan ini sangat indah, saya pikir itu harus dirayakan juga."
---
Gwen menulis kisah bibi buyutnya ini dalam buku berjudul The Nine