Suara.com - WALHI mengapresiasi langkah pemerintah yang mencabut sebanyak 2078 izin pertambangan, 192 izin di sektor kehutanan dan 137 izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.
Namun, pemerintah disebut menjadikan momentum itu sebagai langkah penyelesaian konflik-konflik agraria yang selama ini terjadi antara rakyat dan perusahaan baik milik negara maupun swasta.
Pengkampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, mengatakan agar pencabutan izin itu dapat menjadi resolusi konflik, maka yang pertama harus dilakukan oleh pemerintah adalah membuka informasi terkait perusahaan-perusahaan apa serta dimana saja yang telah dicabut.
Sehingga, tanah-tanah tersebut dapat dikembalikan kepada rakyat sebagai bentuk Pemulihan terhadap hak Rakyat yang selama ini di rampas oleh Negara melalui skema Perizinan.
Baca Juga: Banjir Terus Merugikan Warga, Walhi Gugat Pemkot Palembang
WALHI juga menilai, pencabutan izin itu tidak boleh serta merta menghilangkan tanggung jawab korporasi terhadap kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkannya, merujuk pada pertanggungjawaban mutlak, baik terhadap kerugian kerusakan lingkungan hidup yang timbul ataupun upaya pemulihan lingkungan hidup.
"Izin-izin di sektor kehutanan misalnya, pemerintah harus memastikan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pemulihan ekosistem hutan dengan mengembalikan fungsi hutan sebagaimana mestinya. Jika perusahaan sektor kehutanan tersebut selama ini berkonflik dengan rakyat, maka negara harus memastikan pengakuan serta pengembalian wilayah Kelola rakyat tersebut kepada rakyat," tutur Uli dalam keterangannya sebagaimana dikutip hari ini, Jumat (7/1/2021).
Uli menambahkan, selain izin-izin di sektor kehutanan dan izin HGU perkebunan yang telah dicabut dan selama ini berkonflik dengan rakyat, maka harus dikembalikan kepada rakyat. Jika konsesi izin tersebut berada di Kawasan penting dan genting maka harus dipulihkan.
Tri Jambore, selaku Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI, menyampaikan, terkait pencabutan izin tambang yang tidak pernah menyampaikan rencana kerja hal ini sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No.7 tahun 2020.
Hal tersebut dinilai sebagai langkah awal baik untuk menata pertambangan mineral dan batubara. Tanpa sikap tegas seperti itu, justru pemerintah akan dihadapkan pada pengelolaan tambang yang bahkan belum tentu akan memberikan manfaat optimal sesuai amanah undang-undang.
Baca Juga: Anggota DPRD Sulsel Dilaporkan ke Polisi, Diduga Rusak Hutan Lindung Toraja
"Pemerintah seharusnya juga menegakkan regulasi secara komprehensif. Kewajiban pemegang izin pertambangan diantaranya juga adalah menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan juga menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah," kata Tri.
Sehingga, lanjut Tri, evaluasi terhadap izin pertambangan yang ada juga diharapkan menyasar kepatuhan pemegang izin terhadap kewajiban terhadap lingkungan. Sebab, jika tidak ada jaminan, maka perbaikan lingkungan wilayah operasi pertambangan akan terabaikan.
"Lebih lanjut, pemerintah juga tidak hanya melakukan evaluasi izin usaha pertambangan berbasis pada aspek administratif semata, namun juga mempertimbangkan kapasitas daya dukung dan daya tampung wilayah selaras dengan kesesuaian tata ruang serta kerawanan bencana akibat aktivitas pengubanahn bentang lahan dalam pertambangan," jelas Tri.
Sementara itu, Parid Ridwan selaku Pengkampanye Pesisir dan Pulau-Pulau kecil Eksekutif Nasional WALHI mengatakan, pemerintah harus memastikan telah mencabut seluruh IUP di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang selama ini telah terbukti melanggengkan krisis sosial-ekologis serta memicu konflik dengan masyarakat.
Merujuk pada data tahun 2018 lalu, tercatat sebanyak 1895 IUP berada di kawasan pesisir yang tersebar di 23 Provinsi di Indonesia dan berdampak pada lebih dari 35 ribu keluarga nelayan serta 6081 desa pesisir yang kawasan perairannya tercemar limbah pertambangan.
Pada tahun 2019, tercatat 164 konsesi pertambangan mineral dan batu bara yang terdapat di di 55 pulau kecil.
"Keberadaan tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akan mempercepat krisis ekologis dan kehancuran kehidupan masyarakat di dua kawasan penting ini, setelah sebelumnya hancur oleh dampak buruk krisis iklim," ucap Parid.
Cabut Ribuan Izin
Sebelumnya Pemerintah mencabut ribuan izin usaha di sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan karena tidak sesuai dengan peruntukan awal.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, ribuan izin itu dicabut karena tidak dijalankan dan tidak sesuai peruntukan dan peraturan.
"Izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan kita cabut," kata Presiden Jokowi, di Istana Kepresidenan Bogor seperti dalam video di kanal Sekretariat Presiden Jakarta, Kamis (6/1/2022) dikutip dari ANTARA.
Saat menyampaikan hal tersebut, Presiden Jokowi didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia.