Proyek Strategis Nasional Infrastruktur Sebabkan 38 Konflik Agraria Sepanjang 2021

Kamis, 06 Januari 2022 | 15:43 WIB
Proyek Strategis Nasional Infrastruktur Sebabkan 38 Konflik Agraria Sepanjang 2021
konflik agraria ntt. [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2021 dengan tema 'Penggusuran Skala Nasional' menyebutkan terjadi lonjakan sebanyak 123 persen konflik agraria buntut Proyek Strategis Nasional (PSN) infrastruktur jika dibandingkan dengan tahun 2020.

Jika pada 2020 terdapat 17 konflik agraria, sepanjang 2021 terjadi 38 konflik. KPA menyatakan, tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah riil konflik di lapangan bisa jadi lebih banyak daripada catatan tersebut.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mengatakan jenis pembangunan infrastruktur penyebab terjadinya konflik sangat beragam. Mulai dari pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol, bendungan, pelabuhan, kereta api, kawasan industri, pariwisata, hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK).

"Dengan begitu, konflik agraria infrastruktur akibat PSN ini mengalami lonjakan tinggi sebesar 123 persen dibandingkan tahun 2020. Dari 17 kasus menjadi 38 kasus," ungkap Dewi dalam diskusi secara daring, Kamis (6/1/2021).

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun 2021, KPA: Ada 207 Letupan Konflik Agraria Di 32 Provinsi

Merujuk catatan tahunan KPA, Dewi menyebut jika meningkatnya konflik agraria akibat PSN infrastruktur dipicu oleh target percepatan eksekusi proyek yang dijamin oleh regulasi pemerintah. Regulasi tersebut, ucap dia, mempermudah proses pengadaan dan pembebasan tanah, yang berujung pada praktik-praktik perampasan tanah warga.

Bahkan, proyek tersebut juga diberi label 'kepentingan umum'. Meski pada praktiknya, pengusaha kelas kakap dan perusahan- multinasional turut menjadi aktor utama.

"Problem utamanya adalah tanah-tanah yang menjadi target pengadaan tanah untuk 'kepentingan umum' infrastruktur tersebut tumpang tindih dengan tanah dan lahan pertanian masyarakat," papar Dewi.

Dewi menambahkan, ambisi percepatan pembangunan itu membikin PSN berjalan dalam proses yang tergesa-gesa, tidak transparan dan partisipatif. Bahkan, abai dalam menghormati dan melindungi hak konstitusional warga terdampak.

Polisi Aktor Utama Kekerasan

Baca Juga: Sepanjang 2021, 2.560 Warga Sumsel Korban Konflik Agraria

Polisi masih nyaman di pucuk klasemen sebagai pelaku kekerasan yang berkaitan dengan konflik agraria di Tanah Air. Dalam kasus sepanjang 2021 yang berlangsung di 32 provinsi di Indonesia, total ada 33 kasus kekerasan dalam penanganan konflik agraria yang dilakukan Korps Bhayangkara.

Pada urutan kedua, ditempati oleh perewa atau centeng dengan total sebanyak 11 kasus. Pada urutan ketiga ditempati oleh TNI dengan total sebanyak tiga kasus kekerasan penanganan konfik agraria, dan terakhir Satuan Polisi Pamong Praja dengan total dua kasus.

Dalam pandangannya, KPA menyebutkan bahwa polisi masih konsisten melakukan cara-cara represif dalam penanganan konflik agraria. Padahal, banyak komitmen yang disampaikan kepada publik, baik oleh Presiden maupun Kapolri yang menyatakan, 'polisi akan mendukung penyelesaian konfik dan memberi perlindungan.'

"Tapi kenyataannya masih banyak kekerasan, pelanggaran HAM, pelanggaran protap kepolosian juga di dalam proses penanganan konflik agraria di mana perusahaan dan masyarakat. Bahkan bersikap netral saja belum bisa," ucap Dewi.

Korban Kekerasan Konflik Agraria

Dalam catatan KPA, kriminalisasi yang begitu massif dari para aparat keamanan turut dialami oleh para pejuang hak atas tanah atau land rights defender. Bahkan, kriminalisasi dan kekerasan mereka alami saat sedang memperjuangkan hak-haknya, misalnya melalui aksi massa yang telah mengikuti prosedur yang diatur oleh perundang-undangan.

Dewi menyampaikan, sepanjang 2021 ada 150 kasus kriminalisasi dan kekerasan yang dialami oleh land rights defender. Korbannya beragam, mulai dari pejuang tanah, petani, hingga masyarakat adat.

"KPA mencatat sedikitnya terjadi 150 kasus kriminalisasi yang menimpa pejuang hak atas tanah di Indonesia, mulai dari petani, masyarakat adat hingga aktivis agraria," tegas Dewi.

Dari total 150 korban, rinciannya ada sebanyak 125 laki-laki dan 25 perempuan. Dari 150 korban itu pula, KPA mencatat ada 51 orang yang turut mengalami penganiayaan dengan rincian 44 laki-laki dan tujuh perempuan.

Kata Dewi, dua orang sepanjang 2021 dilaporkan tertembak buntut dari konflik agraria. Kemudian tiga orang tewas, mereka adalah Armanto Damopolli ( ditembak di Sulawesi Utara), Uyut Suhendra (dibacok di Jawa Barat), dan Yayat (dibacok di Jawa Barat).

"Dibandingkan tahun 2020, terdapat kenaikan kasus kriminalisasi dibanding tahun sebelumnya, dari 139 kasus naik menjadi 150 kasus," papar Dewi.

Ratusan Letupan Konflik

KPA mencatat terjadi 207 letusan konflik agraria yang bersifat struktural. Ratusan konflik itu berlangsung di 32 provinsi dan tersebar di 507 desan dan kota serta berdampak pada 198.895 kepala keluarga (KK) dengan luasan tanah berkonflik seluas 500.062,58 hektar.

"Dari sisi jumlah, memang ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 241," kata Dewi.

Meski secara jumlah konflik agraria menurun, kata Dewi, laporan KPA mencatat terjadi kenaikan konflik agraria yang sangat siginifikan di sektor pembangunan infrastruktur. Kenaikan itu sebesar 73 persen.

Tidak hanya di sektor pembangunan infrastruktur, pada sektor pertambangan jumlah konflik juga mengalami peningkatan yang cukup drastis. Jumlah kenaikan itu mencapai 167 persen.

Dewi menambahkan, kenaikan signifikan situasi konflik agraria juga terjadi dari sisi korban terdampak. Dibanding tahun 2020 yang berjumlah 135.337 KK, di tahun 2021 menjadi 198.859 KK.

"Situasi ini menandakan bahwa konflik agraria semakin menyasar area-area dimana masyarakat bermukim, wilayah padat penduduk dan wilayah di mana masyarakat telah menguasai, mengusahakan dan mengelola tanah," jelasnya.

Kata dia, jika diakumulasi, selama dua tahun pandemi, yakni 2020 sampai 2021, telah terjadi 448 kejadian konflik di 902 kampung dan desa di Indonesia. Jika dirata-rata, maka terjadi 18 letusan konflik setiap bulannya.

KPA menyimpulkan, dua tahun tahun krisis pandemi tidak menghentikan praktik perampasan tanah di lapangan. Bahkan, pandemi Covid-19 menjadi alasan pemerintah memperluas ekspansi bisnis dan pembangunan berbasis sumber-sumber agraria dengan dalih pemulihan ekonomi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI