Suara.com - Pemerintah Indonesia berencana memulai vaksinasi dosis ketiga atau booster bagi penduduk berusia 18 tahun ke atas pada 12 Januari 2022, di tengah penyebaran varian Omicron dan kekhawatiran akan efektivitas vaksin tertentu terhadap varian tersebut.
Tetapi, sejumlah studi menunjukkan bahwa penyuntikan satu dosis booster bagi penerima vaksin Sinovac ternyata tidak cukup untuk menghadapi varian Omicron. Padahal, Sinovac merupakan jenis vaksin yang paling banyak digunakan di Indonesia.
Berapa dosis booster yang dianjurkan?
Studi terbaru dari Universitas Yale dan Kementerian Kesehatan Republik Dominika - yang belum melalui proses telaah sejawat (peer-review) - menunjukkan penerima vaksin Sinovac membutuhkan dua dosis booster untuk bisa menetralisasi varian Omicron, seperti dikutip dari kantor berita Reuters.
Peneliti dari studi tersebut, Akiko Iwasaki, menuturkan dua dosis vaksin Sinovac ditambah satu dosis vaksin Pfizer ternyata hanya menghasilkan respons antibodi yang setara dengan penyuntikan dua dosis vaksin jenis Pfizer tanpa booster.
Baca Juga: CDC Dukung Suntikan Booster Vaksin Pfizer untuk Remaja 12-15 Tahun
Vaksin Sinovac dan Pfizer dikembangkan dengan cara yang berbeda. Sinovac, yang diproduksi oleh China, dikembangkan dengan metode inaktivasi virus.
Sementara vaksin Pfizer dikembangkan menggunakan metode mRNA, di mana kode genetik virus corona diinjeksi ke tubuh sehingga memicu produksi protein virus yang cukup untuk sistem kekebalan tubuh.
Lebih jauh, dalam sebuah utas di Twitter, Iwasaki mengatakan bahwa pada tubuh orang yang telah divaksinasi dua kali dengan vaksin Sinovac, tidak terdeteksi titer antibodi yang dapat mengalahkan Omikron.
https://twitter.com/VirusesImmunity/status/1476549087642140677
Para peneliti juga menemukan bahwa pada orang yang sudah pernah terinfeksi virus Covid-19, dua dosis vaksin Sinovac ditambah satu dosis vaksin Pfizer tidak berpengaruh pada kapasitas antibodi untuk mengalahkan Omicron. Ini berarti orang yang sudah pernah terinfeksi pun tidak diuntungkan.
Baca Juga: Pemerintah Daerah Diminta Siapkan Skenario Perhitungan Penerima Vaksin Booster
"Secara imunologi, perbedaan ini menarik. Infeksi sebelumnya hanya bersinergi dengan vaksin mRNA untuk meningkatkan antibodi penetral tapi tidak dengan vaksin inaktivasi," kata Iwasaki.
Baca juga:
- Pengakuan warga dapat vaksin booster 'dibantu kantor yang mengubah status jadi nakes'
- Vaksin booster Covid di Indonesia dimulai 12 Januari 2022, gratis atau berbayar?
- Vaksin 'booster' Covid setidaknya 80% efektif mencegah sakit parah akibat Omicron
Studi sebelumnya menemukan bahwa vaksin mRNA menimbulkan respons sel B memori, bagian dari sistem pertahanan tubuh yang 'mengingat' ancaman, yang persisten sehingga memberikan perlindungan yang lebih kuat.
Menanggapi hasil studi tersebut, Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan vaksin mRNA secara umum memang terbukti memiliki efektivitas yang lebih tinggi setelah diberi booster dibanding vaksin dengan metode inaktivasi seperti Sinovac terhadap varian Omicron.
"Tapi untuk diketahui, kurang itu bukan berarti tidak bermanfaat. Tetap jauh lebih bermanfaat, lebih memiliki keuntungan proteksi bagi orang dengan dua dosis Sinovac yang diberi Pfizer dibanding tidak dikasih booster, apalagi kalau nggak divaksin sama sekali," kata Dicky kepada BBC News Indonesia.
Meskipun dua dosis booster dianggap lebih ideal menurut studi-studi tersebut, Dicky menilai hal itu sulit diterapkan mengingat terbatasnya stok vaksin yang tersedia di dunia maupun di Indonesia.
Pemberian booster saja sudah menimbulkan pro dan kontra mengingat cakupan vaksinasi dosis pertama dan kedua belum tercapai sepenuhnya di Indonesia.
Pada dasarnya, penyuntikan booster dilakukan mengingat kadar antibodi terhadap virus corona di dalam tubuh disebut menurun dalam kurun enam bulan pasca-penyuntikan dosis kedua. Namun hal itu bukan berarti dua dosis awal yang diberikan tidak menyisakan perlindungan sama sekali.
Oleh sebab itu, Dicky menuturkan penyuntikan satu dosis booster saja sudah cukup untuk kelompok-kelompok rentan di Indonesia. Bahkan untuk jenis vaksin tertentu seperti Moderna, tidak menutup kemungkinan dosis yang diberikan cukup setengahnya saja.
"Tentu kalau bicara konteks Indonesia kalau bisa menggunakan setengah dosis itu lebih efektif, lebih banyak orang yang bisa ter-cover," ujar Dicky.
Mungkinkah vaksin booster hanya diberikan setengah dosis?
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap kemungkinan bahwa vaksin booster bisa diberikan hanya setengah dosis ketika mengumumkan kebijakan ini pada Senin (3/1).
Dia merujuk pada rekomendasi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat yang mengizinkan penyuntikan booster menggunakan setengah dosis vaksin Moderna.
"Kalau kemudian untuk vaksin Pfizer dan Moderna half dose atau full dose tidak ada beda dari sisi efektivitasnya, kita bisa menggunakan half dose. Maka kemungkinan besar seluruh kebutuhan vaksin booster bisa dipenuhi dari yang gratis.
"Tapi ini masih dalam diskusi yang nanti hasilnya akan keluar sesudah laporan dari tim profesor-profesor di ITAGI saat menyampaikan hasilnya pada 10 Januari," kata Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, merujuk Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI).
Opsi setengah dosis tersebut bisa menjadi penyelamat di tengah terbatasnya stok vaksin di tengah kebutuhan yang meningkat akibat kebijakan booster. Sebab, Indonesia membutuhkan 230 juta dosis vaksin sebagai booster dan baru mengamankan 113 juta dosis di antaranya.
Baca juga:
- Kasus varian Omicron di Indonesia menjadi 254 orang, didominasi dari luar negeri
- Peleburan Eijkman ke BRIN: Deteksi Covid-19 bisa ‘terganggu’, pengembangan vaksin Merah Putih juga ‘terhambat’
- Kematian anak di Jombang 'tidak terkait vaksin', tapi penyebab sesungguhnya 'perlu ditelusuri'
Pakar imunisasi Elizabeth Jane Soepardi mengatakan efektivitas penyuntikan setengah dosis booster dari berbagai jenis vaksin itu lah yang saat ini tengah dibuktikan melalui studi dipelajari melalui studi di Indonesia.
Studi tersebut dipimpin oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bersama Tim peneliti vaksin dari Universitas Padjadjaran yang akan menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan skema pemberian booster.
Menurut dia, studi serupa juga sedang berlangsung di empat negara lainnya yakni Afrika Selatan, Australia, Chile, dan Vietnam untuk mengetahui apakah pemberian setengah dosis booster vaksin jenis lain selain Moderna bisa memberikan efek yang sama dengan satu dosis.
Pasalnya, rekomendasi yang diterbitkan CDC belum tentu sama efektifnya apabila diterapkan di negara seperti Indonesia, yang mayoritas tidak menggunakan vaksin mRNA seperti di Amerika Serikat.
"Kalau setengah dosis itu ternyata efektif, itu akan menjadi berita yang ditunggu-tunggu dunia karena banyak negara kekurangan vaksin. Selain itu, risiko KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)-nya pun akan kecil," tutur Elizabeth.
Kombinasi vaksin apa yang efektif sebagai booster?
Studi yang sedang berjalan itu, kata Elizabeth, juga bertujuan mencari tahu kombinasi jenis vaksin yang paling efektif sebagai booster.
Kombinasi itu bisa merupakan vaksin dan booster yang sejenis (homologus) maupun berbeda jenis (heterologus), mencakup vaksin Sinovac, Pfizer, dan AstraZeneca.
"Dari penelitian itu kita akan dapat gambaran mana yang efektif meningkatkan titer antibodi, sehingga keputusan yang dibuat bisa berdasarkan bukti," kata Elizabeth.
Sedangkan epidemiolog Dicky Budiman mengatakan dari praktik dan studi yang ada di berbagai negara saat ini menunjukkan bahwa vaksin mRNA seperti Moderna dan Pfizer yang paling berpotensi dikombinasikan dengan vaksin Sinovac.
Di Indonesia sendiri, praktik penyuntikan booster baru dilakukan terhadap tenaga kesehatan yang mulanya mendapat dua dosis vaksin Sinovac, lalu ditambah satu dosis vaksin Moderna.
Studi yang dilakukan oleh dosen Fakultas Kedokteran UI dr Robert Sinto dan timnya terhadap 304 tenaga kesehatan di Jakarta menunjukkan bahwa titer antibodi mereka meningkat rata-rata 9,3 kali lipat setelah menerima satu dosis booster Moderna.
Peningkatan itu juga terjadi pada tenaga kesehatan yang kadar antibodinya rendah sebelum mendapat booster. Namun sebagai catatan, studi tersebut dilakukan dalam konteks penanganan varian Delta, bukan varian Omicron.
"Tapi secara data di lapangan pun kita sudah melihat kecil sekali kasus infeksi pada tenaga kesehatan. Itu sudah menunjukkan bahwa perpaduan booster itu efektif," kata Dicky.
Bisakah vaksin booster mencegah lonjakan Omicron?
Pakar imunisasi Elizabeth Jane Soepardi meyakini bahwa vaksinasi primer maupun booster bisa membantu memutus transmisi varian Omicron, yang sejauh ini telah menular secara lokal di Indonesia.
Menurut dia, penting untuk memprioritaskan booster bagi kelompok rentan seperti lansia dan orang dengan gangguan imunitas sesuai anjuran WHO, untuk mencegah fatalitas atas penyebaran varian ini yang sangat cepat.
"Meskipun varian Omicron disebut-sebut lebih lemah dari varian Delta, tetapi varian ini tetap saja lebih kuat dari virus awalnya yang berasal dari Wuhan," kata Elizabeth.
"Ketika varian itu kebetulan menginfeksi yang kondisinya buruk, sudah tua, rentan, punya komorbid, ya bisa berakibat fatal. Kita sudah dengar ada kasus kematian akibat Omicron meskipun tidak sebanyak varian Delta," lanjut dia.
Senada dengan Elizabeth, Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan penentuan prioritas itu tetap diperlukan meski pemerintah kini memungkinkan booster diberikan pada masyarakat umum.
Selain dua kelompok tersebut, Dicky menilai petugas yang berisiko terpapar varian Omicron seperti di pintu masuk negara dan fasilitas karantina juga penting untuk diprioritaskan sebagai penerima booster.
"Ketika cakupan vaksinasi dua dosis belum merata, tapi di sisi lain ancaman varian Omicron ini mengancam kelompok berisiko tinggi sehingga membebani fasilitas kesehatan dan menimbulkan fatalitas, maka booster menjadi sebuah keharusan," papar Dicky.
Sementara itu, virolog dari Universitas Udayana, I Gusti Ngurah Kade Mahardika berpendapat pemerintah sebaiknya fokus pada pemenuhan cakupan vaksinasi dosis pertama dibanding booster.
Kebijakan itu muncul di saat cakupan vaksinasi dosis kedua secara nasional baru mencapai 55 persen dari total 208,26 juta sasaran vaksinasi.
Mahardika mengatakan vaksinasi dosis pertama dan kedua masih cukup untuk melindungi dari potensi gejala yang buruk akibat varian Omicron sekali pun.
"Kalau pun dalam enam bulan antibodi kita mulai hilang, tetapi tubuh kita memiliki sel memori, sehingga ketika terpapar virus lagi pun mampu mengenali virusnya lebih cepat sehingga masih kebal," tutur Mahardika.
"Jadi bagi saya jauh lebih strategis untuk mencapai lingkup vaksinasi pokok yang lebih banyak dibanding menambah booster," lanjut dia.